KETIKA saya membaca berita minggu ini bahwa Ross Perot sedang mengaktifkan kembali organisasi para pendukungnya, United We Stand, saya langsung teringat pada Pak A.R. Fachruddin. Yakni ketika Beliau, sebagai Ketua Umum Muhammadiyah, menyambut kedatangan Sri Paus di Indonesia. Sambut Pak A.R. Fachruddin waktu itu: Sugeng Rawuh lan Sugeng Kundur. Selamat datang dan selamat jalan. Sebagai pemimpin agama non-Katolik, tentu mustahil Pak A.R. 100% antusias dengan kedatangan pemimpin agama lain. Bahwa Sri Paus akan singgah sebentar lantas kundur, pasti melegakan hatinya. Tapi saya yakin, sambutan sugeng rawuh dicantumkannya dengan sungguh-sungguh. Dan saya kira Pak A.R. berharap kedatangan Sri Paus akan mempererat saling pe- ngertian antaragama di Indonesia. Adalah hal yang mirip kunjungan Sri Paus yang saya lihat dengan kehadiran Ross Perot dalam pemilihan presiden AS. Maksud saya, meskipun Perot pernah memainkan peranan positif, kini saya berharap dia meninggalkan panggung saja. Apa sumbangan Perot kepada kehidupan politik Amerika? Salah satu kelemahan besar pada sistem dua partai kami adalah kecenderungannya untuk menimbulkan sikap kecut pada kaum politikus. Calon-calon presiden jarang bersedia berterus- terang dengan masyarakat mengenai hal-hal yang peka. Alasannya sederhana saja. Untuk menang, si calon tadi harus mengumpulkan suara mayoritas atau, dalam keadaan jumlah calon lebih dari dua, pluralitas. Kampanye presiden yang berhasil selalu merupakan semacam rekayasa dukungan sekian banyak kelompok. Para calon takut menyulut kemarahan kelompok-kelompok pemilih yang dianggap strategis untuk kemenangannya. Siasat kampanye cenderung mencari jalan damai dengan menjanjikan banyak dan meminta sedikit. Akibatnya, suasana politik nasional yang penuh kemunafikan. Ross Perot tahu bahwa dia tidak akan menang, jadi dia bebas memilih siasat lain. Dia berjanji akan melanggar pantangan umum itu, dan janjinya memang dipenuhi. Pidato dan ''informercial'' (akronim dari information, keterangan, serta commercial, iklan) yang ditayangkannya di televisi nasional memaparkan posisinya dengan jelas dan blak-blakan. Antara lain, dia mencela utang negara yang membubung tinggi, defisit anggaran belanja pemerintah yang berkepanjangan, dan hubungan yang terlalu akrab antara pejabat negara dan kelompok-kelompok kepentingan, khususnya bisnis asing. Kesan saya, Perot berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat dan para politikus mengenai hal-hal peka ini. Presiden terpilih Clinton, misalnya, memutuskan merumuskan kode etik baru yang lebih ketat bagi pejabat pemerintah. Tapi saya kira mudarat kampanye Perot lebih besar. Demokrasi Amerika merupakan bangunan yang masih kukuh, dibentuk dan dipertahankan dengan jerih payah dan perjuangan banyak orang selama 200 tahun. Penggalian dari bawah, kalau dilakukan terus-menerus, akan merobohkan struktur apa pun juga. Saya khawatir proses itu sudah dimulai oleh Perot. Keberhasilan Perot sebagai calon -- dia meraih sekitar 19 juta suara -- menurut saya, disebabkan oleh dua hal yang berkaitan: uang pribadi yang berlimpah digabung dengan perkembangan teknologi mutakhir. Dalam retorika kampanye Perot selalu bilang bahwa dia akan berbicara langsung, dua arah, dengan rakyat. Alat untuk ''pembicaraan langsung'' itu adalah televisi. Dia muncul berkali-kali di Larry King Live, sebuah talk show di CNN. Dan dia mengeluarkan puluhan juta dolar dari dompetnya sendiri, bukan dari kontribusi sukarela rakyat yang mau dia wakili itu, untuk menyiarkan informercial yang rata-rata setengah jam lamanya. Dengan cara itu dia memang memberi kesan berterus-terang dan berbicara langsung. Khususnya dengan kesediaannya untuk menjawab pertanyaan para penonton Larry King Show. Tetapi kesan sering tidak sama dengan kenyataan. Saya kira kampanye lewat TV itu disengaja untuk menghindari pertanyaan-perta- nyaan dari para wartawan profesional. Dan sejauh usaha ini berhasil, maka mutu demokrasi kami menyusut. Dalam demokrasi gaya Amerika, dan mungkin dalam semua demokrasi di negara besar dan majemuk, wartawan memainkan peranan kunci. Menggunakan istilah Trias Politica, mereka bertindak sebagai fourth branch of government, cabang keempat pemerintah setelah eksekutif, legislatif, dan judikatif. Tugas mereka adalah untuk menuntut pertanggungjawaban dari kaum politikus dan pejabat. Karena mereka mengikuti dari dekat dan secara kontinyu perkembangan politik dan tindakan pejabat, pertanyaan-per- tanyaan wartawan biasanya jauh lebih dalam, cermat, dan tajam ketimbang orang awam. Para politikus di mana-mana tahu itu, dan mereka selalu berusaha menghindari atau mengontrol peran wartawan dan pers. Jadi berbahayalah seorang politikus seperti Perot, yang kaya dan sekaligus pintar memanfaatkan potensi alat-alat komunikasi modern demi ambisi pribadinya. Akhir kata, saya mau bilang sugeng kundur, Ross. Tetapi, sayangnya, dia dan 19 juta pengikutnya tetap dan memang berhak sebagai warga negara AS, berada di tengah-tengah ma- syarakat saya. Kalau saya boleh pinjam sekaligus dua ungkapan dari kosakata bahasa Jawa dan Inggris, mungkin sebaiknya sekarang saya ambil sikap eling lan waspada sambil wait and see perkembangan selanjutnya. Penulis adalah profesor ilmu politik di Ohio State University
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini