UNTUK menonton film Parrish yang disiarkan televisi belum lama ini, saya harus bergadang sampai subuh. Karena moral cerita itu berkisar pada perilaku petani Amerika sebagai pelaku bisnis, perhatian saya terarah kepada etos kerja dan etika bisnis. Parrish adalah seorang remaja, anak janda rada miskin yang terpaksa pindah dari kampungnya untuk menjadi pembantu, dan diberi tugas mengasuh anak gadis petani tembakau bernama Sala. Karena alasan itu, ia tidak bisa tinggal serumah dengan majikan ibunya. Ia kemudian mengambil keputusan untuk tinggal pada keluarga mandor perkebunan bernama Post (juga punya keponakan, gadis cantik berambut pirang) dan sekaligus menjadi buruh di perkebunan itu. Dari situlah ia belajar menjadi petani tekun dan terampil. Tokoh lain, Reike, adalah seorang tengkulak yang lihai. Ia ingin menjadi monopsonis produk tembakau di wilayah pedesaan Connecticut itu. Tokoh yang akhirnya mengawini ibu Parrish yang anggun dan bijaksana ini memang seorang pedagang hebat. Penguasaan teknologi pertanian (anak gadisnya yang cantik bermata cokelat dan berambut hitam dikirimnya ke sekolah pertanian), ketelitian, dan kerja keras melengkapi kecerdikannya. Sayang, untuk memenuhi ambisinya agar semua petani menjual hasil panen mereka kepadanya, ia merasa perlu melakukan tindakan yang tidak etis dan merusak mekanisme pasar bebas. Sebenarnya, Rieke adalah model tengkulak yang shrewd, khas Amerika. Ia banyak memberi pelajaran kepada Parrish, bagaimana menjadi sukses. Tapi Parrish punya kelebihan lain. Ia seorang yang lugu dan jujur, punya kepribadian, selain menjadi sasaran cinta anak gadis di desa itu. Ia memang masih melakukan berbagai kesalahan. Tapi bukan karena faktor itu akhirnya ia dipecat, tapi karena ia tidak bisa berbuat curang, seperti anak lelaki Reike, Edgar, yang diharapkan menjadi putra mahkota pedagang kaya itu. Di sini saya lalu teringat pada artikel Albert Z. Carr, ''Is Business Bluffing Ethical?'', yang dimuat dalam Harvard Business Review, 1968. Menurut Carr, etika bisnis, jika ada, memiliki prinsip-prinsip tersendiri, yang berbeda dengan etika sosial dan etika individual umumnya. Ia punya ciri impersonal, seperti halnya sebuah permainan, misalnya poker. Etika umum tidak berlaku di sini. Ia tetap punya prinsip yang diterima bersama sebagai ''etika'' poker. Tapi pemain poker ataupun pelaku bisnis tidak perlu mengindahkan etika di luarnya. ''Etika'' poker mengharuskan setiap pemainnya melakukan satu dan lain bentuk desepsi (pengelabuan), membuat pernyataan yang palsu secara sadar, menyembunyikan informasi yang faktual, atau memberikan keterangan yang berlebih-lebihan. Seorang pemain poker harus tidak mempercayai rekan mainnya, licik dan pandai menyimpan maksud dan kehendak sebenarnya. Setiap pemain harus bisa menyembunyikan kekuatannya untuk mengelabui lawannya. Apabila seorang pemain poker bersikap jujur, mempertimbangkan persahabatan dan kebaikan hati, pas- tilah orang itu akan kalah bermain. Dalam bisnis, seseorang akan kalah bersaing dan merugi apabila berusaha menjadi seorang yang etis. Pernah dalam suatu seminar tentang etika bisnis di Yayasan Paramadina, seorang pengusaha melontarkan pendapat bahwa pembicaraan tentang etika dalam bisnis itu tidak relevan. Yang lebih relevan adalah mendiskusikan etos kerja. Batas upaya pelaku bisnis hanyalah undang-undang dan peraturan. Tapi jika pelaku bisnis bisa menerobos undang-undang dan peraturan, yang harus disalahkan adalah pejabat pemerintah yang harus mengawasinya. Parrish dalam cerita di atas akhirnya diangkat sebagai manajer Reike, yang sikapnya, oleh anak gadisnya sendiri pun, Pagie, ditentang karena terlalu diktatoral. Untuk mencapai tujuannya sebagai pedagang monopsonis, Rieke menyuruh anak buahnya untuk meracun bibit petani lain. Apabila telah timbul hama dan tanaman rusak, Reike akan datang dengan uluran tangan, membantu bibit, pupuk, dan pestisida dengan syarat hasilnya akan dijual ke Reike. Kalau tidak diikuti, ia akan melakukan akuisisi. Suatu ketika, petani Tully, walaupun tua, berani menentangnya. Anak buah Reike lalu melakukan sabotase tak langsung. Mereka membakar kebun Reike sendiri, bersebelahan dengan kebun Tully. Maksudnya, air danau di situ akan habis untuk memadamkan kebakaran. Tully akhirnya tak bisa panen karena kekurangan air. Reike memang bisa menguasai lahan-lahan perkebunan di situ. Dalam perkembangan selanjutnya, kaum buruh tani banyak kehilangan majikan yang santun. Akibatnya, buruh-buruh yang baik pada meninggalkan kawasan itu. Parrish sendiri sudah keluar dari perusahaan. Setelah dua tahun menjalani dinas militer dan menjadi lebih matang sebagai manusia, ia kembali ke desa itu dan melanjutkan perkebunan majikan lamanya, Sala. Akhir cerita, Parrish mampu menyaingi Reike, justru dibantu Pagie, kekasihnya, anak pesaingnya sendiri. Cerita yang diangkat dari novel Milfred Savage itu ternyata berpihak pada etika bisnis. Namun, sejalan dengan tradisi Amerika, pengarang agaknya juga masih percaya bahwa mekanisme pasar, jika bekerja secara benar, mampu mengalahkan pelaku bisnis yang curang. Yang jujur akan tetap menang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini