Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Diskusi yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyimpulkan bahwa visi Japan Society 5.0 hanya proyek Pemerintah Jepang untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka tetap bangsa yang harus diperhitungkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Hanya label saja untuk menunjukkan Jepang masih punya gigi, powerfull di Asia dan dunia,” kata Irin Oktafiani, peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI yang menjadi pembicara pada diskusi dengan tema Japan Society 5.0 yang berlangsung di Jakarta, Jumat 8 Maret 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Irin, Jepang memang bangsa yang jago membuat label yang mengesankan bangsa-bangsa lain lebih kecil atau rendah.
Penilaian senada diungkapkan Fadjar Ibnu Thufail, peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Regional LIPI yang menjadi pembahas diskusi. Menurutnya, Jepang bangsa yang mahir membuat national branding.
“Society 5.0 itu brand pemerintah Jepang menghadapi Cina,” ujar Fadjar yang banyak melakukan penelitian di Jepang.
Fadjar menjelaskan proyek itu merupakan bagian dari kebijakan ekonomi beraliran kanan dari Perdana Menteri Shinjo Abe (Abenomic). Mereka masih merasa sebagai saudara tua, sementara bangsa-bangsa bekas jajahan di Asia sebagai saudara muda.
Society 5.0 Perawatan Medis. Kredit: Pemerintah Jepang
PM Shinjo Abe pertama kali mengumumkan proyek Japan Society 5.0 ke forum internasional pada konferensi CeBIT (Centrum der Büroautomation und Informationstechnologie und Telekommunikation) di Jerman, pada tahun 2017.
Shinjo Abe menjelaskan bahwa Society 5.0 berbeda dengan proyek Industry 4.0 yang digagas Pemerintah Jerman (tahun 2010), proyek E-estonia – ID Card oleh Pemerintah Estonia (2000), Industrial Internet milik Pemerintah Amerika Serikat (2012) atau proyek Singapore Smart Nation (2014).
Perbedaannya pada penggunaan teknologi maju untuk mendukung kehidupan sehari-hari warga Jepang. Bukan hanya untuk dunia industri atau infrastruktur perekonomian seperti dilakukan Jerman, Amerika, Singapura dan negara lainnya.
Dalam Pertemuan Tahunan Forum Ekonomi Dunia 2019 di Davos, Swiss, pada 23 Januari 2019, Shinzo Abe kembali menjelaskan visi baru Jepang, Society 5.0.
Visi Society 5.0, menurut Kantor Kabinet Jepang, didefinisikan sebagai sebuah masyarakat yang berpusat pada manusia yang menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan penyelesaian masalah sosial melalui sistem yang sangat mengintegrasikan ruang maya dan ruang fisik.
“Di Society 5.0, itu bukan lagi modal, tetapi data yang menghubungkan dan menggerakkan segalanya, membantu mengisi kesenjangan antara yang kaya dan yang kurang beruntung. Layanan kedokteran dan pendidikan, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, akan mencapai desa-desa kecil di wilayah Sub-Sahara," ujar Shinzo Abe. “Tugas kita jelas. Kita harus membuat data sebagai penghambat kesenjangan yang besar,” katanya lagi.
Irin menjelaskan latar belakang Society 5.0 berangkat dari kekhawatiran Pemerintah Jepang terhadap masyarakatnya yang semakin menua (aging society). Sekitar 26,3 persen penduduk Jepang berusia di atas 65 tahun, sementara pertumbuhan penduduk relatif rendah. Walhasil, siapa yang akan menjadi tenaga produktif?
Melalui proyek Society 5.0 masyarakat menggunakan teknologi artificial intellegent (AI), Internet of Things (IoT), imachine learning, big data dan sebagainya.
Warga lanjut usia misalnya, tidak perlu lagi datang ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan kesehatan. Konsultasi dilakukan lewat Internet di rumahnya. Obat-obatan akan dikirim apotek melalui drone.
Contoh lain penggunaan kulkas pintar. Mesin pendingin ini akan memberitahu pemiliknya untuk berbelanja barang kebutuhan dapur yang sudah habis. Atau menginformasikan makanan yang tidak membuat alergi bagi pemiliknya.
Irin menjelaskan Society 5.0 menghadapi tantangan besar yakni kesenjangan penggunaan teknologi di masyarakat. “Tidak semua masyarakat melek teknologi,” katanya.
Fadjar Thufail pernah meneliti di Sendai, salah satu provinsi yang paling parah terkena dampak gempa dan tsunami tahun 2011. Orang-orang lanjut usia mematikan ponselnya ketika tidur. Padahal di telepon genggamnya itu ada aplikasi yang akan membunyikan alarm ketika gempa besar terjadi.
“Mengganggu tidur,” ujar mereka kepada Fadjar. Sebagian warga Jepang yang lanjut usia juga kesulitan menggunakan QRcode.
Society 5.0 Kendaraan Otonom. Kredit: Pemerintah Jepang.
Menurut Fadjar, Society 5.0 tidak menyelesaikan masalah bagi warga Jepang yang lanjut usia. “Society 5.0 tidak seindah yang dibayangkan orang Indonesia,” ujarnya. Kita di Indonesia, kata Irin, jangan latah dan gembar-gembor soal Society 5.0.
Norman Luther Aruan, peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, menjelaskan dilihat dari perkembangan infrastruktur digital, Indonesia masih bisa optimis untuk 25-30 tahun ke depan karena indeks pembangunan teknologi yang terus meningkat. Namun, kata Norman, masih harus dikejar dari aspek literasi digital.
Menurut Norman, adopsi teknologi artificial intellegent (AI) di Indonesia juga menunjukkan trend yang positif. Dia mengutip survei yang diadakan IDC Asia/Pacific Enterprise Cognitive/AI tahun 2018. Dimana 24,6 % organisasi di Indonesia mengadopsi AI. Sementara di Thailand hanya 17,1 %, Singapura (9,9 %) dan Malaysia (8,1 %).
“Indonesia tidak perlu gumun terhadap ide Society 5.0. Lebih baik fokus pada peningkatan infrastruktur dan peningkatan literasi digital,” kata Norman.