Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Penyebab Krisis Air Bersih yang Harus Diwaspadai

Lantas, apa saja penyebab krisis air bersih yang bisa kita waspadai? Berikut kata para peneliti, pakar air, dan inovator industri dilansir dari wri.or

29 Mei 2023 | 14.49 WIB

'Gambar udara kegiatan bersih-bersih Satuan Pelaksana Unit Penanganan Sampah Badan Air Jakarta Utara di Waduk Pluit, Penjaringan, Jakarta, Kamis 25 Mei 2023. Sebanyak 60 meter kubik sampah dibersihkan setiap harinya oleh para petugas dari Waduk Pluit. Bukan hanya sampah, Chusaerie dalam kegiatan ini juga mengangkat tanaman eceng gondok yang berada di Waduk Pluit. TEMPO/Subekti
Perbesar
'Gambar udara kegiatan bersih-bersih Satuan Pelaksana Unit Penanganan Sampah Badan Air Jakarta Utara di Waduk Pluit, Penjaringan, Jakarta, Kamis 25 Mei 2023. Sebanyak 60 meter kubik sampah dibersihkan setiap harinya oleh para petugas dari Waduk Pluit. Bukan hanya sampah, Chusaerie dalam kegiatan ini juga mengangkat tanaman eceng gondok yang berada di Waduk Pluit. TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Krisis air global telah menjadi salah satu tantangan paling mendesak, terutama ketika gelombang panas kembali melanda sebagian besar belahan Bumi sejak awal 2023. Ketersediaan air bersih kian menipis, ancaman kekurangan air makin serius.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain fenomena perubahan iklim, ada sejumlah faktor lainnya yang berkontribusi pada eskalasi krisis ini. Tak perlu ahli hidrologi, seorang awam pun seharusnya mampu menyadari bahwa krisis air global terus meningkat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lantas, apa saja penyebab krisis air bersih yang bisa kita waspadai? Berikut kata para peneliti, pakar air, dan inovator industri dilansir dari wri.org.

1. Perubahan Iklim

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, perubahan iklim menjadi penyebab utama krisis air bersih. Fenomena ini membuat wilayah kering menjadi makin kering dengan curah hujan yang kacau dan ekstrem. Seiring menghangatnya Bumi, awan bergerak menjauh dari khatulistiwa menuju kutub akibat perluasan Sel Hadley. Itu kemudian “merampas” air hujan dari berbagai daerah khatulistiwa seperti Afrika sub-Sahara, Timur Tengah, dan Amerika Tengah.

Paradoksnya, perubahan iklim juga meningkatkan curah hujan di wilayah lain. Saat ini, setidaknya 21 juta orang di seluruh dunia menghadapi risiko banjir setiap tahun (per 2017). Jumlah itu bisa meningkat menjadi 54 juta pada 2030. Semua daerah dengan paparan banjir terbesar adalah negara berkembang, membuat mereka semakin rentan terhadap perubahan iklim dan bencana alam. Indonesia sendiri termasuk dalam 15 besar negara dengan populasi terpadat yang selalu menerima ancaman banjir.

2. Konsumsi Tinggi Air Bersih

Ini berhubungan erat dengan meningginya angka populasi. Pendapatan tumbuh, permintaan air pun meningkat. Populasi dunia yang kini mencapai 7,5 miliar jiwa diproyeksikan akan menyentuh angka 9,8 miliar pada 2050. Persediaan air bersih tidak akan mampu memenuhi kebutuhan miliaran orang itu. Pertumbuhan ekonomi yang pesat—bagi sebagian pihak—juga akan memperparah masalah karena air bersih nantinya mungkin hanya bisa diakses oleh orang-orang kaya.

Fatalnya lagi, air bersih sering kali terbuang sia-sia. Selain pemborosan air di ranah domestik, praktik industri seperti irigasi dan pendingin pada pembangkit listrik termal menggunakan lebih banyak air daripada yang diperlukan. Belum lagi 80 persen air limbah dunia yang dibuang ke alam gagal untuk ditangani.

Memang benar bahwa air adalah sumber daya terbarukan, tetapi sulit untuk mengelolanya menjadi komoditas siap pakai. Di banyak negara, lebih murah untuk mendapatkan air bersih daripada harus mengolah air limbah. Ini kemudian berujung pada pemborosan dan menghadirkan satu permasalahan lain: Air seakan tidak ada harganya.

Secara global, air bersih sangat diremehkan. Harga air tidak mencerminkan total biaya layanan yang sebenarnya, mulai dari infrastruktur pengangkutan, perawatan, hingga pembuangannya. Hal ini menyebabkan mis-alokasi air dan kurangnya minat investasi dalam teknologi baru yang bisa menggunakan air secara efisien. Perusahaan atau bahkan pemerintah enggan berinvestasi dalam teknologi hemat air yang mahal ketika air justru lebih murah daripada teknologi tersebut. Padahal di sisi lain, ada orang-orang miskin yang harus membayar air bersih secara tidak proporsional.

3. Air Tanah Terkuras

Sekitar 30 persen air tawar Bumi terletak jauh di bawah tanah, tepatnya bagian akuifer. Air tersebut diekstraksi setiap hari untuk keperluan domestik dan industri dengan tingkat yang berlebihan dan tidak berkelanjutan. Misalnya saja, sebanyak 54 persen sumur air tanah di India berkurang. Negara dengan konsumsi air tanah terbanyak itu menggunakan air lebih cepat sebelum sumur terisi ulang kembali. Jika polanya tidak berubah selama 20 tahun ke depan, 60 persen akuifer India akan berada dalam kondisi kritis.

Tak seperti danau yang mengering, mata telanjang tidak dapat melihat saat cadangan air tanah di akuifer menurun. Pasokan air global rentan terhadap ancaman yang tersembunyi dan terus berkembang ini.

4. Infrastruktur Air Kacau

Dalam sirkulasinya, air perlu diangkut, diolah, dan dibuang. Akan tetapi, banyak infrastruktur air di berbagai negara—instalasi pengolahan, pipa, dan sistem saluran pembuangandalam keadaan rusak. Seperti di Amerika Serikat, 6 miliar galon air olahan hilang per hari hanya hanya karena pipa yang bocor. Infrastruktur air yang sudah dibangun terkenal mahal untuk diperbaiki sehingga para pihak berwenang cenderung mengabaikan masalah yang berkembang.

Tak hanya infrastruktur buatan yang kacau, “infrastruktur alami” pun demikian—terabaikan. Ekosistem yang sehat sangatlah penting untuk sirkulasi air bersih nan berlimpah. Mereka bisa menyaring polutan, menyangga banjir dan badai, hingga mengatur pasokan air. Tumbuhan dan pohon sangat penting untuk mengisi kembali air tanah. Tanpa itu, curah hujan tidak akan merembes ke dalam tanah.

Hilangnya vegetasi akibat penggundulan hutan, penggembalaan yang berlebihan, dan urbanisasi turut membatasi infrastruktur alam dan manfaat yang diberikannya. Daerah aliran sungai berhutan di seluruh dunia pun terancam: Kehilangan hingga 22 persen hutannya dalam 14 tahun terakhir.

SYAHDI MUHARRAM

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus