DI lantai ruangan 5 x 10 meter itu bertumpuk kulit kacang tanah.
Tapi, sesungguhnyalah, tempat itu bukan pabrik kacang. Tapi
laboratorium milik Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan
DPMB) Departemen PU. Setelah melewati waktu yang panjang --
sejak 1974 -- direktorat yang khusus bergerak di bidang
penelitin ini sekarang berhasil membikin berbagai macam bahan
bangunan dari sampah. Di antaranya dari kulit kacang.
Maka pada akhir bulan ini nanti, ke kantor DPMB di Jalan
Martanegara, Bandung, akan diundang para pengusaha industri
bangunan. Kepada mereka akan disampaikan kabar gembira itu,
sekaligus diminta menyaksikan, betapa dari sampah yang terbuang
bisa dihasilkan bahan bangunan berkualitas tinggi harganya
murah, dan tak canggung dipakai untuk bahan bangunan rumah
mewah.
"Di Jepang, bahan seperti itu malah digunakan hotel-hotel
mewah," kata Dr. Kuroiwa Tadaharu, 58 tahun, tenaga ahli Jepang
yang diperbantukan di DPMB. Di sana, rupanya, pembuatan bahan
bangunan seperti itu sudah berkembang sejak lebih 20 tahun yang
lampau.
Setelah menyaksikan apa yang tersaji di laboratorium DPMB itu,
diharapkan minat para pengusaha akan terpancing untuk
memproduksikannya secara komersial. Ini sesuai dengan harapan
Menteri Negara Perumahan Rakyat Drs. Cosmas Batubara, ketika
melihat hasil kerja DPMB itu di Bandung awal Juni lalu. Selain
harganya murah dan kualitasnya memenuhi syarat, "ini bisa
membantu memelihara lingkungan hidup," ujar Cosmas ketika itu.
Lalu menteri itu berharap agar hasil penelitian itu
dimasyarakatkan.
Apalagi proses pembuatannya cukup sederhana. Mula-mula, kulit
kacang dihancurkan dengan mesin penggiling, dan disaring sampai
yan terkumpul cuma serat-seratnya.
Serat itu lalu dicampur dengan semacam lem organik dan
dimasukkan ke dalam mesin pres. Sembari dipres, dilakukan
pemanasan 100ø sampai 180ø C. Hasilnya, keluarlah lembaran papan
partikel yang sudah siap pakai. Kalau menghendaki kesan luks,
lembaran itu kemudian dilapisi all paper berbagai motif.
Selain kulit kacang, bisa diolah juga bahan baku lain, seperti
serbuk gergajian kayu, ampas tebu, dan sabut kelapa. Proses
membuatnya sama saja -- begitu pula kualitasnya. Menurut
pengujian yang dilakukan di laboratorium itu, sebuah papan
partikel berukuran 1,2 x 2,4 m, punya daya lentur 100 sampai 200
kg per cm2. Ini berarti: cukup tangguh. Paling tidak sudah
memenuhi standar JIS (Japan Industrial Standard) yang
mensyaratkan kekuatan daya lentur 75 - 150 kg per cm2.
Papan-papan ini memang disiapkan sebagai dinding pemisah ruangan
atau pelapis tembok. Hanya saja, kelemahannya, tak bisa dipakai
di luar ruangan. "Menghadapi cuaca lembab, papan-papan itu akan
mengembang," ujar Zulkarnain Aksa, kepala Seksi Pengembangan
Industri DPMB.
Untuk dipakai di luar ruangan, DPMB menyiapkan apa yang disebut
Pulp Cement Board (PCB). Jenis yang ini pun tetap berbahan baku
sampah, seperti kertas bekas atau jerami. Boleh juga sisa
industri tekstil atau sisa pabrik petro kimia yang disebut
posphogypsum. Setelah sampah tadi dibuat jadi bubur (pulp) lalu
dicampur dengan semen (52%), asbes (5%), bubuk mineral seperti
bubuk bata merah atau tras (30%) lalu diproses seperti halnya
papan partikel tadi. PCB bisa dipakai sebagai dinding sekolah,
rumah Perumnas, dan bangunan sejenis lainnya.
Selembar PCB ukuran 1,2 x 2,4 m dan tebal 6 mm, berat 10 kg,
membutuhkan kertas bekas atau jerami sekitar 2 kg. Sedangkan
untuk papan partikel ukuran yang sama diperlukan 3 sampai 4 kg
serbuk gergajian atau kulit kacang.
Sebetulnya studi tentang macam-macam bahan baku inilah yang
menyebabkan penelitian membutuhkan waktu begitu panjang.
Percobaan dilakukan ganti berganti dengan masing-masing bahan
baku. Sekarang DPMB sudah yakin bahwa semua bahan baku tadi
mudah diperoleh untuk produksi komersial. "Jerami padi atau
serbuk gergajian kan banyak di sini," ujar Zulkarnain. Harganya
pun sudah dihitung: Rp 5.000 sampai Rp 7.500 per lembar.
Yang terhitung mahal adalah mesin presnya. Sebagian komponennya
memang bisa dibikin di sini -- kecuali silinder pencetak dan ban
berjalan. Begitupun ditaksir, sebuah mesin dengan kapasitas
100.000 papan per hari, harganya bisa Rp 300 juta. Belum
dihitung bangunan sipilnya.
Karena itulah, DPMB mencoba menjual hasil penelitian itu kepada
orang berduit, seperti para pengusaha industri bahan bangunan.
Kalau berhasil, satu saat nanti, siapa tahu dinding rumah Anda
rupanya cuma sabut kelapa atau kulit kacang tanah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini