"DARI jauh, tampak tidak tampak, kelihatan seperti roda berputar
cepat, kadang gelap kadang mengkilat, tanpa segi tanpa sisi.
Dari dekat tampak bulat bagaikan bola dunia yang berpusing tiada
henti ...." Itulah tokoh Semar menurut yang dibayangkan Daduk
Djajakusuma. Dan itulah salah satu dari tujuh cerita wayang yang
dibacakan aktor teater Amak Baldjun dan beberapa anggota Teater
Mandiri, Senin ini di Taman Ismail Marzuki.
Acara ini antara lain untuk menunjang Pekan Wayang ke-4 yang
dibuka Sabtu ini. Selain juga "untuk menyatakan bahwa wayang
bukan cerita usang," kata Djajakusuma. "Wayang bisa juga
mencerminkan keadaan zaman sekarang." Maka jangan kaget bila ada
kisah Sembadra Serbu, yang tak ada dalam Mahabharata. Kisah
ini, lagi-lagi, menggambarkan betapa liciknya Kurawa, dan betapa
gagahnya Pandawa.
Tapi betapa pun orang mencoba menciptakan cerita wayang yang
baru -- sebagaimana ke-7 cerita karangan Djajakusuma yang telah
dimuat dalam majalah Zaman ternyata tak melenceng dari kisah
baku Mahabharata dan Ramayana yang datang dari India. "Saya
sendiri tetap mempertahankan karakter dan kesaktian para
tokohnya," kata Djajakusuma, yang mirip tokoh Bisma, yang tetap
membujang itu. Sebenarnya saja, menurut orang kelahiran Paraka,
Jawa Tengah, 65 tahun yang lalu ini, yang pernah berkeliling di
negeri asal Mahaharata dan Ramayana, di India sendiri terdapat
bermacam versi kedua cerita besar itu.
Singkat kata, yang dilakukan Djajakusuma -- mengisahkan kembali
dan melahirkan cerita wayang yang baru -- bukanlah upaya baru.
Tapi cara bercerita Pak Djaja -- demikian orang memanggilnya --
memang lain. Dalam Siapa yang Mengawinkan Gatutkaca, misalnya,
disinggungnya perubahan pribadi tokoh pihak Pandawa ini di India
dan di Indonesia. "Gatutkaca waktu masih di India kurang
memperhatikan lawan jenisnya. Sampai gugur di medan Kurusetra,
terkena senjata Karna, ia masih bujangan . . ." tulis
Djajakusuma. "Tapi begitu ia sampai di kawasan perwayangan di
Indonesia, dia menjadi sangat romantis."
Agaknya itulah kekhasan Djajakusuma dalam menceritakan kembali
dan mencipta cerita wayang: ia mencoba menggambarkan tingkah
laku para tokoh wayang seunik mungkin berdasarkan karakter
bakunya. Dari situ, tak jarang sutradara dan penulis skenario
film Lahirnya Gatutkaca (1960) ini, menggambarkan yang
lucu-lucu. Dalam serial Karno-Kunti, misalnya, tentang Batara
Surya, dewa matahari itu, diceritakannya: "Rupanya tugas
mengelola matahari begitu mengasyikkan, hingga Batara Surya
tidak menganggap perlu sekali-sekali mengambil istirahat atau
cuti."
Dan bagaimana Raja Dasarata dari negeri Madupura menipu Rahwana,
si ganas dari Alengka itu menurut Djajakusuma? Dasarata memang
bingung ketika dengan berterus terang Rahwana meminta Mandudari,
istri Dasarata yang cantik tiada bandingan itu. Akhirnya
diputuskannya, ia akan menurut saja apa kata istrinya.
Celakanya, si Mandudari ternyata bersedia ikut Rahwana. Ia masuk
ke dalam kamar sebentar, lantas muncul dan pergi dengan Rahwana
meninggalkan suami yang mencintainya lahir-batin. Dasarata tentu
saja tak bisa berbuat apa-apa.
Tapi, sebentar, tiba-tiba ada yang menyentuh lengannya.
Mandudari ada di sampingnya, tersenyum. "Kakang Dasarata, yang
ikut Rahwana tadi bukan aku, tapi Mandudaki, yang kubuat dari
dakiku," kata istri setia ini. Bayangkan, andai Rahwana tahu
akal-akalan Pak Djaja ini.
Itu semua bisa terjadi, menurut Djajakusuma, karena Mahabharata
dan Ramayana memberikan bahan-bahan yang bisa dikembangkan.
"Konon kedua karya besar itu terbentuk dari banyak sekali cerita
rakyat India yang dirangkaikan," tutur Pak Djaja. Mungkin karena
itu, lahirnya cerita-cerita wayang yang baru tidak merusak, tapi
malahan menambah dan memperkaya cerita wayang itu sendiri.
"Misalnya, munculnya tokoh Semar membawakan filosofi baru," kata
orang yang rambutnya telah memutih dan sedikit gondrong ini.
Tokoh Semar memang unik. Ia sekaligus "sebagai pelayan, pelawak,
penasihat, pengkritik, pencaci, penghibur, kawan berunding.
Majikannya boleh menyuruhnya, menertawakannya, mencacinya, tapi
sang majikan pun harus sanggup ditunjuk hidungnya, ditunjuk
belang yang ada di punggungnya," tutur Pak Djaja. Dan kapan
lahirnya Semar? Tak jelas.
Di masa hidup grup wayang orang kembang kempis, Ngesti Pandawa,
misalnya, upaya menghidupkan kisah wayang lewat semacam
pembacaan puisi atau cerita pendek ini memang menarik. Selain
membuka kemungkinan menambahkan bumbu-bumbu baru, pun
menontonnya enak. Tak perlu duduk semalam suntuk, dan tak perlu
mendengarkan gaya bicara para tokoh wayang yang itu-itu juga.
Wayang pun boleh dan sah untuk berubah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini