Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menuturkan cerita-cerita wayang

Pembacaan cerita wayang dengan cara baru (karangan jayakusuma), dalam rangka pekan wayang ke-4. (ter)

23 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"DARI jauh, tampak tidak tampak, kelihatan seperti roda berputar cepat, kadang gelap kadang mengkilat, tanpa segi tanpa sisi. Dari dekat tampak bulat bagaikan bola dunia yang berpusing tiada henti ...." Itulah tokoh Semar menurut yang dibayangkan Daduk Djajakusuma. Dan itulah salah satu dari tujuh cerita wayang yang dibacakan aktor teater Amak Baldjun dan beberapa anggota Teater Mandiri, Senin ini di Taman Ismail Marzuki. Acara ini antara lain untuk menunjang Pekan Wayang ke-4 yang dibuka Sabtu ini. Selain juga "untuk menyatakan bahwa wayang bukan cerita usang," kata Djajakusuma. "Wayang bisa juga mencerminkan keadaan zaman sekarang." Maka jangan kaget bila ada kisah Sembadra Serbu, yang tak ada dalam Mahabharata. Kisah ini, lagi-lagi, menggambarkan betapa liciknya Kurawa, dan betapa gagahnya Pandawa. Tapi betapa pun orang mencoba menciptakan cerita wayang yang baru -- sebagaimana ke-7 cerita karangan Djajakusuma yang telah dimuat dalam majalah Zaman ternyata tak melenceng dari kisah baku Mahabharata dan Ramayana yang datang dari India. "Saya sendiri tetap mempertahankan karakter dan kesaktian para tokohnya," kata Djajakusuma, yang mirip tokoh Bisma, yang tetap membujang itu. Sebenarnya saja, menurut orang kelahiran Paraka, Jawa Tengah, 65 tahun yang lalu ini, yang pernah berkeliling di negeri asal Mahaharata dan Ramayana, di India sendiri terdapat bermacam versi kedua cerita besar itu. Singkat kata, yang dilakukan Djajakusuma -- mengisahkan kembali dan melahirkan cerita wayang yang baru -- bukanlah upaya baru. Tapi cara bercerita Pak Djaja -- demikian orang memanggilnya -- memang lain. Dalam Siapa yang Mengawinkan Gatutkaca, misalnya, disinggungnya perubahan pribadi tokoh pihak Pandawa ini di India dan di Indonesia. "Gatutkaca waktu masih di India kurang memperhatikan lawan jenisnya. Sampai gugur di medan Kurusetra, terkena senjata Karna, ia masih bujangan . . ." tulis Djajakusuma. "Tapi begitu ia sampai di kawasan perwayangan di Indonesia, dia menjadi sangat romantis." Agaknya itulah kekhasan Djajakusuma dalam menceritakan kembali dan mencipta cerita wayang: ia mencoba menggambarkan tingkah laku para tokoh wayang seunik mungkin berdasarkan karakter bakunya. Dari situ, tak jarang sutradara dan penulis skenario film Lahirnya Gatutkaca (1960) ini, menggambarkan yang lucu-lucu. Dalam serial Karno-Kunti, misalnya, tentang Batara Surya, dewa matahari itu, diceritakannya: "Rupanya tugas mengelola matahari begitu mengasyikkan, hingga Batara Surya tidak menganggap perlu sekali-sekali mengambil istirahat atau cuti." Dan bagaimana Raja Dasarata dari negeri Madupura menipu Rahwana, si ganas dari Alengka itu menurut Djajakusuma? Dasarata memang bingung ketika dengan berterus terang Rahwana meminta Mandudari, istri Dasarata yang cantik tiada bandingan itu. Akhirnya diputuskannya, ia akan menurut saja apa kata istrinya. Celakanya, si Mandudari ternyata bersedia ikut Rahwana. Ia masuk ke dalam kamar sebentar, lantas muncul dan pergi dengan Rahwana meninggalkan suami yang mencintainya lahir-batin. Dasarata tentu saja tak bisa berbuat apa-apa. Tapi, sebentar, tiba-tiba ada yang menyentuh lengannya. Mandudari ada di sampingnya, tersenyum. "Kakang Dasarata, yang ikut Rahwana tadi bukan aku, tapi Mandudaki, yang kubuat dari dakiku," kata istri setia ini. Bayangkan, andai Rahwana tahu akal-akalan Pak Djaja ini. Itu semua bisa terjadi, menurut Djajakusuma, karena Mahabharata dan Ramayana memberikan bahan-bahan yang bisa dikembangkan. "Konon kedua karya besar itu terbentuk dari banyak sekali cerita rakyat India yang dirangkaikan," tutur Pak Djaja. Mungkin karena itu, lahirnya cerita-cerita wayang yang baru tidak merusak, tapi malahan menambah dan memperkaya cerita wayang itu sendiri. "Misalnya, munculnya tokoh Semar membawakan filosofi baru," kata orang yang rambutnya telah memutih dan sedikit gondrong ini. Tokoh Semar memang unik. Ia sekaligus "sebagai pelayan, pelawak, penasihat, pengkritik, pencaci, penghibur, kawan berunding. Majikannya boleh menyuruhnya, menertawakannya, mencacinya, tapi sang majikan pun harus sanggup ditunjuk hidungnya, ditunjuk belang yang ada di punggungnya," tutur Pak Djaja. Dan kapan lahirnya Semar? Tak jelas. Di masa hidup grup wayang orang kembang kempis, Ngesti Pandawa, misalnya, upaya menghidupkan kisah wayang lewat semacam pembacaan puisi atau cerita pendek ini memang menarik. Selain membuka kemungkinan menambahkan bumbu-bumbu baru, pun menontonnya enak. Tak perlu duduk semalam suntuk, dan tak perlu mendengarkan gaya bicara para tokoh wayang yang itu-itu juga. Wayang pun boleh dan sah untuk berubah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus