MODERNISASI, dan pembangunan, kadang bikin korban yang tak perlu. Di Irian Jaya, misalnya, ada usaha "menertibkan" masyarakat penghuni rumah di atas air. Tapi datang seorang arsitek muda, 28 tahun, ulusan Institut Teknologi Bandung. Hendro Sankoyo menawarkan satu alternatif: desain rumah terapung, tanpa memisahkan penghuninya dari air kebudayaan bahan mereka. Hendro Sangkoyo, atau Yoyok, tertarik pada permukiman di atas air setelah masuk Wanadri - himpunan mahasiswa pencinta alam, Bandung - 1976. Begitulah, 1982 ia pergi ke Teluk Serui, bagian utara Irian Jaya. Bagian Kabupaten Yapen Waropen yang berpenduduk 1.800 jiwa ini dipilihnya sebagai tempat penelitian. Dari situlah kemudian dia membawa ide desain rumah terapung yang tahan akan tsunami (gempa laut) dan lebih "berdamai" dengan lingkungan. Gagasan arsitektur baharinya ini dirangsang oleh rumah di atas air orang Serui. Dari Serui ia tampaknya akan meloncat keluar: desain Yoyok merupakan salah satu wakil Indonesia dalam Tomorrow's Habitat, perlombaan yang diselenggarakan UNESCO tahun ini. Yoyok merancangkan rangkaian rumah terapung itu, yang satu sama lain dihubungkan oleh jembatan yang juga mengambang di permukaan air. Rumah-rumah itu ditambatkan pada tiang pancang. Kenapa harus terapung? Jenis ini - sebagai pengganti rumah panggung yang selama ini ditempati penduduk - diusulkannya, buat menghindari bahaya gempa laut. "Gempa laut," kata Yoyok, "dalam abad ini sudah empat kali melanda Serui." Ini orisinil, kata Dr. J.R.E. Harger. Ahli dari UNESCO ini menyebut, karya Yoyok itu menguntungkan manajemen lingkungan. Lantai-lantai yang dulunya menghalangi jatuhnya sinar matahari ke laut, dengan desain baru ini, tak jadi soal lagi. Rangkaian rumah yang terpaut di tiang pancang itu dapat saja dipindah-pindahkan, sehingga ekosistem di sekitarnya bisa terpelihara. Yoyok juga merancang septic tank, penampung buangan yang iberi pengolahan kimia sederhana (seperti ragi), sehingga setelah beberapa waktu menghasilkan pupuk buat ekologi laut. Buanan kimiawi yang berbahaya diberi tempat penampungan terpisah. Harger berpendapat, "laut punya keterbatasan dalam menyerap sampa, dan juga terbatas dalam daya dukung kehidupan. Itulah sebabnya dia melihat agasan rumah terapung itu banyak berarti bagi penyelamatan lingkungan. Dan sembari menjaga ekosistem itu rumah berangkai-rangkai ini agaknya lapat menjadi pilihan bagi masyarakat air yang selama ini selalu enggan pindah ke darat. INI memang salah satu persoalan yang dihadapi Irian Jaya. Pada tahun 1983 lalu, misalnya, diperkirakan penduduk Kota Administratif Jayapura mencapai 85.000 jiwa. Di antara mereka, sekitar 1.400 orang hidup di rumah panggung. Sebagian besar berasal dari Serui, Tanah Merah (Kabupaten Merauke), dan Buton (Sulawesi Selatan). "Ini hasil urbanisasi spontan," ujar Florens Imbiri, wali kota Jayapura. Jumlah mereka meningkat pesat sejak 1974. Permukiman seperti ini mengganggu kemdahan dan ketertiban lingkungan. Tahun silam, Gubernur Izaac Hindom mengeluarkan instruksi agar daerah sepanjang pantai kota Jayapura dibebaskan dari permukiman di atas air itu. Daerah ini akan dipakai untuk keperluan rekreasi dan olah raga. Menurut Hindom dia dihadapkan pada dua pilihan: menjaga kelestarian budaya IrianJaya dengan menjadikannya sebuah suaka budaya, atau memodernkan kehidupan dengan segala risikonya. "Saya pilih yang kedua," ujar Hindom, seakan-akan menjawab pendapat yang menyebut pembangunan di Irian Jaya mencabut akar budaya Melanesia. Di antara pilihan Hindom itu gagasan Yoyok bisa jadi pilihan ketiga dan jalan tengah: modernisasi tanpa mencerabut dan cocok dengan alam - suatu gagasan yang juga sering dikemukakan Arsitek Roby Sularto tentang arsitektur tradisional Bali. Bagi masyarakat air, cara menetap seperti itu memang sudah berlangsung turuntemurun. Laut sudah menJadi sawah ladang. Karena itulah, ketika harus pindah ke darat, mereka terguncang. Ketika antara 1979 dan 1981 dicoba memindahkan sebagian orang ini ke lokasi transmigrasi, mereka jadi mangsa malaria. "Banyak bayi usia dua tahun yang mcninggal," ujar Bas Youwc, bupati Jayapura. Tak heran bahwa walaupun kemudian ada penyesuaian diri, beberapa penduduk - terutama yang tua-tua - lari kembali ke rumah di atas air. "Kitorang cuma ikut kebiasaan nenek moyang," ujar Bastiana Ayomi, 33, Ketua RW 7, Kelurahan Imbi, Jayapura. RW ini dihuni 96 KK yang semuanya menempati rumah panggung di atas air. Ayomi lebih senang tinggal di rumah panggung karena kalau buang hajat, kitorang tak perlu capek-capek jalan. Dari balik daun pintu pun jadi. Menurut Harger, permukiman seperti ini terdapat hampir di seluruh kawasan Asia-Pasifik. Harapannya: desain rumah terapung ini mungkin bisa menawarkan jaminan keseimbangan lingkungan untuk daerah seperti itu, yang, potensinya mungkin kian disadari orang setelah pengakuan zone ekonomi eksklusif secara internasional belum lama ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini