YOGYAKARTA bukan hanya kota revolusi, tapi juga kota pelukis Pekan lalu empat pelukis yang sudah sekitar 30 tahun menghirup udara Yogya. memamerkan karya mereka di Gedung Purnabudaya Bulaksumur. "Terima kasih pada Yogyakarta," itulah tema pameran bersama Affandi, Rusli, Handrio, dan Lian Sahar. Tapi warna Yogya itu sendirl dalam pameran ini amat tipis - bila yang dicari adalah Yogyakarta dalam wujud fisiknya. Hanya ada sebuah sketsa Handrio tahun 1950an, Pasar Kranggan. Juga dua lukisan Affandi: Panta Parangtritis dan Gerhana Matahari. Selebihnya sepuluh lukisan geometris Handrio, sepuluh karya Lian Sahar yang merupakan sapuan-sapuan warna, sepuluh lukisan Rusli, yang seperti biasanya sangat irit dengan cat. Tak berarti keempat pelukis itu cuma asal pasang tema. Mungkin soal Yogya bagi mereka harus dilihat ke masa lampau, ketika kota kesultanan ini dinyatakan sebagai ibu kota RI, 1946. Waktu itu, boleh dikata pusat kegiatan kesenian berpusat di Yogyakarta atau sekitarnya. Misalnya Seniman Indonesia Muda organisasi senirupawan yang dipimpin oleh Pelukis Sudjojono, yang didirikan di Madiun. Dua tahun kemudian, 1948, mereka pindah markas di Yogyakarta, hingga bubar, pada awal 1 950-an. Pada tahun sekitar itulah empat pelukis ini muncul di Yogyakarta. Dan, sudah barang tentu, karya mereka belum seperti yang kini mereka pamerkan. Rusli, misalnya, meski-dulu pun ia sudah sangat irit dalam menggores, goresannya tidak "seabstrak" sekarang. Dulu, garis-Karis tipis Kusli masih dengan jelas memberikan gambaran figur. Dan justru kala itulah ia banyak melukis suasana Yogyakarta: andongnya, pasarnya, pohon-pohonnya. Juga Handrio. Tentunya ia dulu banyak menyusul Malioboro, keluar masuk Pasar Kranggan dan Bering harjo, membuat sketsa para pedagang, jalan dengan tiang listrik, deretan toko-toko Cina. Tapi apa boleh buat. Perkembangan seni lukis kedua seniman itu kemudian memang menjauh dari lukisa figuratif. Rusli memang masih memberikan kesan untuk - tapi kesan itu pada karya-karyanya sejak 1970-an mulai menipis, sekali-sekali bahkan lenyap. Lukisannya jadi nonfiguratif sepenuhnya. Handrio, apalagi. Akhirnya, komposisi yang hanya bidang dan warna yang dia ciptakan. Lalu, adakah perkembangan itu masih membaw bau dan warna Yogya? "Yogya tidak saya pandang dalam bentuk fisik dan materi belaka," kata Rusli. "Saya melihat Yogya dalam arti spiritual." Dengan kalimat lain. bukan yang tampak di mata yang kemudian mendorong: Rusli mencintai Yogya dan - sadar ataupun tidak memasukkannya ke dalam karya-karyanya. Di Yogyakarta, kata Rusli, ia menemukan "ketenteraman, pergaulan kesenian, dan dorongan untuk berkarya terus-menerus." Mungkin, di kota yang jarum jam seolah berjalan lebih lambat dibanding di Jakarta itu, Rusli menyerap semangat hidup. Dan bila ia telah merasa jenuh, ia akan ke Bali atau ke Gunung Gede, Jawa Barat, untuk menyalurkan endapan semangat hidupnya pada kanvas-kanvasnya. Maka, Yogya, yang telah terlalu diakrabinya, bisa memberikan "isi" kepada Rusli, tapi tak punya daya tarik untuk memancing "isi" itu agar keluar dalam wujud ciptaan artistik. Justru Handrio barangkali, yang sepenuhnya menyerap udara Yogya, dan mengekspresikannya dalam bentuk lukisan di Yogya pula. Karya-karyanya yang memberikan kesan ketelatenan seorang pembatik itu memang cocok lahir di kota yan hingga kini belum terpacu keterburuan orang bekerja, belum terwarnai gemerlap materi masyarakat kota besar - setidaknya bila dibandingkan dengan Surabaya, Semarang, apalagi Jakarta. Tapi, tentu saja, yang diserap Handrio di Yogya bukan hanya andong dan gudeg itu - sayur nangka yang bisa tahan berhari-hari. Di rumahnya di pinggir utara Yogya, ia bisa menyerap falsafah pelukis Jerman George Braque lewat buku. Atau mengkaji perkembangan artistik pelukis Belanda, Piet Mondrian, juga lewat buku. Yang menarik adalah kepolosan Affandi. "Saya kira tak ada sumbangan Yogya terhadap lukisan saya," kata kakek ini. Ia pada 1956 membeli hampir 3.000 meter persegi tanah di tepi Sungai Gajah Wong, yang kemudian ditinggalinya sampai sekarang. Pelukis ini melihat Yogya sebagai "kota bersuasana kesenian, yang biaya hidup sehari-harinya murah, dan tenteram." Itulah, setelah dicicipinya hidup di Yogya sekitar dua tahun (1947-1949), kota itu menyedotnya untuk kembali, 1956, sehabis keliling di India dan beberapa negara Eropa. Adapun Lian Sahar, kelahiran Aceh, 1933, yang karya-karyanya merupakan sapuan-sapuan warna nonfiguratif, sebenarnya merasa aneh dengan tema pameran ini. "Kurang tepat, rasanya" kata pelukis yang sudah tinggal di Yogya dari tahun 1950-an ini. Ia merasa sulit menjelaskan adakah jejak-jejak Yogya dalam lukisan-lukisannya. Tapi bahwa empat pelukis kelahiran Purwakarta, Cirebon, Aceh, dan Medan kerasan di Yogya dan tetap subur, tentulah karena kota ini memang memberikan sesuatu kepada mereka. Dengan kata lain - menurut Umar Kayam yang menuliskan kata pengantar katalog pameran keempatnya rupanya menemukan makna hidup di Yogya. Seperti pelukis Gauguin (1848-1903), yang "lari" dari Prancis, dan menemukan ketenteraman di Kepulauan Tahiti. Atau seperti Walter Spies, (1895-1942), yang menemukan dunianya yang didamba-dambakan - suatu kehidupan yang dekat dengan alam nyata dan mistis di Pulau Bali, Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini