BEBERAPA minggu yang lalu TEMPO memuat berita tentang sebuah perusahaan mi kering yang menjual sebagian sahamnya kepada perusahaan mi kering lainnya. Sebetulnya, ceritanya tidaklah sesederhana itu. Perusahaan mi A, yang tidak begitu baik kedudukan pasarnya, mencoba menjual sahamnya kepada perusahaan mi B, yang merupakan market leader dalam mi kering. Dengan catatan, A akan memperoleh saham yang samd dalam perusahaan B. Tentu saja, B menolak. "Dia enak, kita rusak, dong," kata B. A lalu bergabung (merge) dengan perusahaan mi C. Denan kekuatan baru ini ia kembali lagi ke B untuk menawarkan sahamnya secara timbal balik. B terpaksa membuat perhitungan baru, karena gabungan kekuatan A dan C bisa membahayakan B. Tambahan lagi, A mempunyai jangkauan langsung dengan suplai terigu. Kasus lain. Scbuah perusahaan minuman ringan memperoleh kredit dari sebuah bank swasta. Tetapi ada catatannya: bank menunjuk sebuah biro iklan yang di dalamnya bank mempunyai saham. Maka, gigit jarilah biro iklan yang semula telah menangani account minuman ringan itu. Kalau informasi yang saya terima cukup baik, maka dalam tahun ini saja sudah tiga account terbang dari satu biro iklan ke biro iklan yang secara langsung mempunyai kaitan dengan lembaga keuangan. Bank-bank swasta Indonesia kini berkembang begitu pesat dan mempunyai begitu banyak peluang untuk dapat ikut memiliki usaha-usaha di luar bidang keuangan. Keadaan ini mungkin saja baru merupakan awai suatu pola bisnis baru di Indonesia. Kecuali bila ada kemauan politik untuk mencegahnya. Pengusaha kuat menjadi semakin kuat. Sedangkan pengusaha lemah terlalu mudah untuk dijangkau dan diraih menjadi front baru dari suatu kekuatan besar. Tidak herarl kalau seorang pengusaha Indonesia bisa lebih kaya daripada multijutawan Amerika Rockefeller. Ini mengingatkan saya kepada sebuah kunjungan ke badan federal AS di Washington. Seorang pejabat eselon II pemerintah RI geleng-geleng kepala ketika mendengar bahwa bisnis AS sudah mulai bergerak ke arah deregulation - penyederhanaan peraturan. Dulu, orang menata struktur bisnis dengan regulation, ketika ternyata regulation menimbulkan banyak kekangan dan menciptakan peluang korupsi, orang pun merumuskan prinsip baru: self regulation, yang kemudian terus berkembang menjadi deregulation Tetapi, ketika deregulaion pun kini menunjukkan gejala tidak sehat, orang mcmikirkan lagi reregulation. "Tetapi ada satu hal yang tidak berubah, Tuan," kata pejabat federal AS itu. Apakah itu? Undang-Undang Anti-Trust. Undang-undang inilah yang melindungi demokrasi AS, karena ia tidak memungkinkan suatu usaha menjadi terlalu besar sehingga dapat mengendalikan ekonomi, sosial, dan politik bangsa. Tetapi, ternyata, negara sebesar Amerika Serikat pun tidak , bisa sepenuhnya mencegah pelanggaran dan pelaksanaan enforcement terhadap UU Anti-Trust ini. Edwin H. Sutherland, dalam buku White Collar Crime, memaparkan tindak kriminal 70 perusahaan besar Amerika. Ralph Nader, seorang ombudsman konsumen terkenal di AS, pernah berkata, "Negara kita ini bukanlah tandingan perusahaan-perusahaan raksasa kita dalam hal sumber daya dan harta kekayaan General Motors bisa setiap waktu membeli Delaware (negara bagian di AS) bila saja Dupont mau menjualnya." Dalam buku Corporate Crime, Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeagel- menulis: perusahaan-perusahaan raksasa memiliki kekayaan yang luar biasa dan kekuatan-kekuatan sosial politik yang sungguh besar, sehingga kegiatannya secara vital mempengaruhi kehidupan hampir setiap manusia, dari ayunan hingga liang kubur. Kehidupan, kesehatan, keselamatan sebagian terbesar masyarakat kita dikendalikan secara langsung atau tidak oleh perusahaan-perusahaan raksasa ini. Raksasa-raksasa ini dengan mudahnya mengguncang harga, melambungkan inflasi, mengubah mutu barang, dan juga menciptakan penangguran. Mereka bisa (dan telah!) memampulasikan opini publik melalui pemanfaatan media massa secara efektif, dan jelas telah pula mencemari lingkungan hidup. Mereka mempengaruhi, bahkan membentuk, politik luar negeri kita, dan mereka pun sering terbukti mengacau proses demokrasi kita. Ya, tetapi itu di Amerika. Kita 'kan punya prinsip pemerataan? Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini