AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL Penyunting: Taufik Abdullah Penerbit: CV Rajawali, 1983, 457 halaman WALAU berupa kumpulan tulisan dari beberapa orang, buku ini tampak sedkt lam. Pertama, karena Ismya adalah hasil penelitian lapangan dan kepustakaan yang cukup rapi sistematis, sarat dengan data. Kedua - disengaja atau tidak - daerah penelitian yang dipilih (Aceh dan Sulawesi Selatan) relatif saling melengkapi dan layak banding, terutama jika dilihat dari sudut aspek sosiologi proses islamisasi. Watak keislaman yang tersosialisasikan dalam dua wilayah itu secara umum jelas memiliki persamaan. Namun, karena isinya laporan hasil penelitian, maka ia agak gagal menempatkan diri bagai bacaan umum. Aspek deskriptif jauh lebih kentara dari aspek analisa. Ia hanya menggambarkan urut-urutan perkembangan peran Islam umumnya dan peran ulama lain sistem pendidikan Islam khususnya, dalam kaitan dengan berbagai perubahan sosial. Atau mungkln, memang inilah tujuan Ismuha, Baihaqi A.K., Mattulaa, dan Abu Hamid, para penumbang dalam buku ini? Ismuha menggambarkan posisi ulama dalam masyarakat Aceh yang tegak atas dasar nilai-nilai Islam. Ulama yang didefinisikan bagai orang atau kelompok ahli (Dalam ilmu-ilmu Islam menempati posisi tersendiri di kalangan masyarakat. Pertama, adalah karna kaum ulama memiliki kemampuan berlebih, dibanding kelompok masyarakat lainnya. kedua, mereka menjadi panutan masyarakat. Dan serentak dengan itu pula, segera saja mereka menduduki posisi memimpin dalam masyarakat. Dalam konteks terakhir inilah ulama bertemu dengan aspek politik. Kepemimpinan informal ulama - sebagai refleksi dukungan masyarakat kepada mereka - merupakan andalan kekuatan politik. Ketika Sultan Mahmud Syah menolak tuntutan Belanda agar Aceh tunduk kepadanya, maka tumpuan kekuatan utama Sultan adalah ulama. Dan Perang Aceh yang berkobar cara tidak henti-hentinya (1873- t942) tak lain hasil mobilisasi kekuatan yang digerakkan para ulama. Hampir bisa dipastikan, ulama merupakan ujung tombak perubahan sosial dan politik dalam masyarakat. Telah terbukti pula mereka memiliki naluri politik yang tajam. Sementara pihak Uleebalang masih terpaku dengan lingkup kekuasaan Belanda, kaum ulama telah melirik Jepang, calon penguasa baru, lewat jaringan kerja Fujiwarakikkan. Corak naluri yang sama juga terlihat dari pemberontak Daud Beureueh, ketika keprovinsian Aceh dihapuskan. Baihaqi lebih merentangkan masalah pada dinamika dunia keulamaan dan pendidika Islam itu scndiri. Ulama tumbuh dari dayah - sistem pendidikan Islam tradisional, semacam pesantren - yang tersebar di Aceh. Dalam konteks pendidikan, dayah-dayah pra-Belanda merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang tersedia. Oleh karena itu pula dayah dituntut tidak hanya menyajikan ilmu-ilmu agama, melainkan juga ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengan pembangunan dan masyarakat. Konsekuensinya, ulama tidak hanya orang alim, melainkan juga kelompok "teknokrat". Sebelum kedatangan Belanda, para sultan sangat bergantung pada nasihat dan karya ulama dalam pembangunan fisik, khususnya irigasi pertanian. Ketika Belanda menguasai kota-kota Aceh, dayah-dayah menjadi kubu perlawanan. Tapi karena kesibukan perang, pendidikan di dayah telantar. Proses kolonialisasi kultural yang berlangsung cepat menyudutkan perkembangan dayah. Lembaga ini tidak lagi menjadi pusat perubahan sosial. Pada 1920-an dan seterusnva, davah kehilangan dinamikanya. Sebagai ganti muncullah madrasah-madrasah dengan sistem klasikal. Lewat perubahan institusional ini lahir corak pemikiran Islam kota yang "kosmopolitan", sementara dayah tetap mewakili corak keislaman desa. Mattulada membuka tulisannya dengan uraian tentang proses masuknya Islam ke Sulawesi Selatan. Ternyata, agama Katolik telah lebih dahulu hadir di sana. Tetapi Islam justru lebih cepat menyebar. Hal ini mungkin ada kaitannya dengan watak pengembara masyarakat Bugis dan Makassar. Perjalanan mereka ke pelbagai daerah telah mempertemukannya dengan Islam. Tentu saja penyebaran ini dipercepat oleh kedatangan tiga ulama besar: Khatib Tuanggal (Dato'ri Badang), Khatib Sulung (Dato'ri Patimang), dan Khatib Bungu (Dato'ri Tiro). Yang sebenarnya menarik adalah aspek politik dari proses islamisasi. Disebutan adanya Makassar, Gowa, dan Tallo, kerajaan kembar terkuat di antara yang lain. Islamisasi telah memberikan alasan sah bagi keduanya untuk melakukan ekspansi ke kerajaan tetangga. Tentu saja beberapa kerajaan, seperti Bone, Wajo, dan Soppeng, menolak. Konflik politik yang direalisasikan dengan bentrokan senjata terjadi berkali-kali. Pihak Bugis menganggap islamisasi Wajo-Tallo tidaklah murni, karena Islam secara diam-diam pun telah berakar di sana. Jadi, yang mendorong ekspansi adalah nafsu kekuasaan semata. Namun, tak dapat disangkal karena ekspansi inilah Islam menyatu dalam kehidupan pribumi. Setelah Bone menerima Islam sebagai agama resmi, terjadi proses pengintegrasian ke dalam adat-istiadat. Ulama kemudian menduduki posisi tersendiri dalam kerajaan. Mereka tampil sebagai kelompok penasihat resmi dan diakui dengan sebutan paraue sara'. Dan sejak itu pula, proses puritanisme Islam - yang semula dilakukan oleh Syekh Yusuf, kemudian diteruskan oleh murid-muridnya - berlangsung cepat dan lancar. Dalam konteks kultural, Islam (sara') terintegrasikan ke dalam panganderreng, yakni pranata kehidupan sosial udaya masyarakat Bugis-Makassar. Proses inilah yang memungkinkan Islam ikut menentukan identitas dasar masyarakat Sulawesi Selatan. Masuknya sara' dalam struktur panganderreng ini secara empiris diuraikan lebih lanjut oeh Abu Hamid. Karena adanya unsur sara, masyarakat Makassar dan Bugis sangat takut bila kawin dan dikuburkan tanpa upacara Islam. Perasaan semacam ini bisa tumbuh karena proses islamisasi telah merasuk begitu dalam. Sosialisasi itu sendiri berlangsung sejak kanak-kanak. Dari sinilah kemudian berkembang pesantren-pesantren, sebagai wadah lanjut pendidikan Islam di luar keluarga. Sama sperti di Aceh, bentuk-bentuk pendidikan semacam ini tersebar di daerah pedesaan dan merupakan kutub-kutub komunitas Islam yang taat. Akan tetapi - seperti yang juga dialami Aceh - sistem pendidikan ini mengalami masa surut setelah masuknya Belanda. Pembaharuan pun berlangsung sekitar tahun 1920-an dan tahun-tahun berikutnya. Penelitian terhadap dua daerah ini setidaknya memberikan gambaran bahwa dalam masa pra-Belanda, Islam memegang peranan besar dalam Droses pembentukan dan perubahan sosiaf. Akan tetapi, setelah kolonialisme - bahkan hingga kini - ia harus selah menyesuaikan diri dengan berbagai perkembangan yang digerakkan oleh sesuatu yang berada di luar dirinya. Adakah ia dinamisator yang kehilangan daya? Fachry Ali
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini