Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Radar Gesit Pencari Hujan

Radar cuaca mampu menemukan awan penghasil hujan lebih akurat. Bisa dipakai untuk peringatan dini banjir.

26 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari peralatan teropong, kini mereka beralih ke sebuah kendaraan berwarna biru yang dilengkapi dengan radar. Lewat peralatan inilah diharapkan barang yang dicari segera datang: tetes-tetes hujan buatan.

Inilah peralatan anyar milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang mereka andalkan untuk mendatangkan hujan buatan. Dengan bantuan alat modern ini, aktivitas badan itu untuk mengisi waduk-waduk yang kekurangan air saat musim kemarau dapat terpenuhi dengan cepat.

Sebelum ada mobile radar, operasi hujan buatan butuh waktu tidak sebentar. Saat Badan Pengkajian membuatnya di Waduk Juanda, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, pada musim kemarau 2006, pesawat Cassa 212-200 perlu berputar-putar 20 hari untuk menebarkan bahan kimia di udara.

Kini, dengan dipandu kendaraan roda empat dengan radar yang bisa menginformasikan pergerakan awan hingga radius 150 kilometer, pesawat tak perlu berpusing-pusing di udara. “Keunggulan mobile radar adalah efisien dan efektif serta sifatnya yang praktis,” kata Findy Renggono, peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, kepada Tempo, Senin pekan lalu.

Keunggulan mobile radar ini bisa dilihat saat dicoba untuk mengukur cuaca di Lembang, Kamis pekan lalu. Sepanjang siang hingga sore, radar di mobil Fuso biru itu bisa melihat awan yang punya ketinggian 12 kilometer dan tebal 3 kilometer, suatu hal yang tak mungkin diukur seakurat ini memakai peralatan lama. Lewat alat ini juga bisa diukur potensi awan untuk membesar dan bagaimana pergerakannya, sehingga pesawat bisa menabur bahan kimia untuk menyemai awan tersebut sehingga menjadi hujan.

Sebelum teknologi canggih itu digunakan, proyek hujan buatan yang dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sejak 1990 ini menggunakan cara sederhana. Mereka melepas balon udara di empat pos pemantauan meteorologi. Balon tersebut memberikan informasi tentang arah dan kecepatan angin. Dengan menggunakan teropong, tim peneliti mengamati bentuk awan. Mereka juga menghitung suhu dan tekanan di permukaan bumi.

Semua data kemudian dihitung. “Awan yang baik dapat diprediksi secara visual dari pos pemantau meteorologi,” kata Syamsul Bahri, Ketua Unit Pelaksana Teknis. Tiap-tiap pos lantas melapor ke stasiun agar pesawat dapat bergerak menyemai awan yang jadi obyek.

Dari pengalaman sejak 1995, Syamsul mendapati beberapa kekurangan dengan cara ini. Teknologi lawas ini tidak mampu mengukur kuantitas curah hujan yang dibawa awan. Mereka juga tidak bisa memprediksi awan yang tiba-tiba muncul. Selain itu, kandungan intensitas hujan yang akan turun tidak terdata. Unit Teknis ini kemudian mengajukan usul kepada pemimpin Badan Pengkajian untuk memiliki radar hujan buatan.

Baru akhir tahun lalu mereka mendapat radar bertipe E700XD dengan X Band Doppler. Di Amerika Serikat, radar jenis ini biasa digunakan untuk melihat potensi awan dalam menyemai hujan buatan. Namun, radar tersebut umumnya dipasang secara permanen pada satu tempat. Para peneliti Badan Pengkajian kemudian memasang radar ini pada mobil Mitsubishi Fuso berwarna biru sehingga praktis dibawa ke mana saja.

Bagian dalam mobil yang biasa digunakan untuk antar-jemput karyawan itu dirombak habis. Tak ada lagi kursi penumpang. Bagian jok belakang dipenuhi deretan rak berisi mesin kontrol radar, laptop, mesin penyejuk udara, dua kursi, dan tumpukan kotak hitam berisi aneka peralatan. Jika mobil sedang berjalan, cuma tiga orang yang bisa ikut dan semuanya duduk di bagian depan.

Pada bagian belakang mobil, terdapat tiang yang dapat mengerek radar hingga ketinggian 10 meter. Agar kukuh dan tidak roboh oleh angin, tiang itu disangga tali yang dipasak ke dalam tanah. Kendaraan ini juga memiliki alat untuk menancapkan penyangga ke tanah. “Butuh setengah jam memasang radar pada ketinggian 10 meter,” kata Findy.

Setelah terpasang dan beroperasi, radar mampu menangkap pergerakan awan. Software di dalam komputer menerjemahkan gelombang yang diterima radar. Pada layar monitor muncul rekaman gelombang yang menampilkan arak-arakan awan dan kecepatan angin yang berembus dengan radius 150 kilometer.

Warna pink keunguan yang ditampilkan software merupakan awan yang berpotensi menjadi hujan. Namun, tak jarang awan potensial ini ujug-ujug menghilang. Pada kesempatan lain, awan yang awalnya tidak berpotensi justru menjadi potensial penghasil hujan. Tampilan awan-awan tersebut bisa dipotong secara horizontal ataupun vertikal untuk menampilkan ketebalan dan volumenya.

Dari rekaman itu, tim peneliti kemudian menentukan titik koordinat awan yang berpotensi menghasilkan hujan. “Kami perintahkan pesawat mengangkasa untuk menyemai awan tersebut,” ujar Findy. Tim peneliti Badan Pengkajian kini sedang mengembangkan alat untuk memasang global positioning system di dalam pesawat. Dengan alat tersebut, monitor di dalam mobil mampu melihat posisi pesawat. “Selain itu, dapat berkomunikasi dengan pilot.”

Sejak dua bulan lalu, peralatan radar dalam mobil tersebut telah digunakan untuk memantau cuaca di Jakarta dan Jawa Barat. Menurut Findy, mobile radar juga dapat digunakan sebagai sistem peringatan dini untuk mengantisipasi banjir. Pada monitor di dalam mobil bisa terlihat jika ada kumpulan awan dengan intensitas hujan yang sangat tinggi dan curahnya melebihi normal. Pihaknya, menurut dia, selalu menginformasikan kepada pemerintah daerah.

Saat ini, Badan Pengkajian memiliki lima pesawat terbang untuk menyemai awan. Lembaga ini juga mengembangkan dua jenis bahan kimia, berbentuk bubuk dan selongsong. Untuk jenis bubuk, hanya perlu seorang pilot dan seorang awak lainnya menebarkan bubuk ke awan. Pesawat Cassa 212-200 biasanya menebar bubuk ini dari bawah awan. Untuk jenis selongsong, seorang pilot dapat langsung menebarkan bahan semai ini.

Badan Pengkajian kini memproduksi secara massal kedua jenis bahan semai ini. Menurut Syamsul, pihaknya telah menguasai teknologi dan tenaga ahli yang andal untuk mengoperasikan mobile radar. “Sayangnya, kami tidak punya kewenangan membuat hujan buatan,” katanya.

Hal lain yang patut disayangkan, operasi hujan buatan belumlah populer untuk menyelamatkan pembangkit listrik saat ketinggian air danau menurun atau saat terjadi kebakaran hutan. Sepanjang tahun lalu, badan tersebut hanya membuat tujuh kali hujan buatan. Instansi yang terpanggil untuk mendatangkan hujan buatan juga belum banyak. Mungkin karena biayanya tidak sedikit. Baru PT Inco di Sulawesi yang secara rutin memanggilnya dua kali setahun di Danau Matano, Mahalona, dan Towuti, yang jadi pembangkit listrik mereka. “Kami melakukan kerja sama untuk mengisi kembali air danau tersebut,“ kata Kuyung Andrawina, Direktur Hubungan Luar PT Inco.

Agaknya unit Badan Pengkajian ini harus lebih aktif mempromosikan radarnya. Sebab, kalau hanya sedikit instansi yang memakainya, manfaat alat seharga Rp 6 miliar ini juga sedikit.

Untung Widyanto, Amandra Mustika Megarani

Menyemai Awan

  1. Mobile radar parkir di bagian hulu sungai yang menuju waduk.
  2. Radar cuaca memancarkan gelombang ke angkasa.
  3. Pada layar monitor tampil data-data mengenai awan: pergerakan posisi, volume, uap air, arah dan kecepatan angin.
  4. Di dalam mobile radar terpantau posisi pesawat.
  5. Data-data awan diinformasikan ke pesawat terbang dan website.
  6. Pesawat mendatangi awan yang jadi objek untuk disemai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus