Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sori Siregar
Sebuah kalimat dalam surat kabar tertulis seperti ini. ”Peserta pendidikan yang hadir juga tetap semangat mengikuti acara yang dilengkapi dengan hiburan organ tunggal ini.”
Setelah itu, pada hari yang sama, surat kabar yang sama menulis, ”Lumayan juga semua kemenangan ini, karena setiap kemenangan selalu bernilai rupiah yang cukup membuatnya semangat.”
Saya rasa tidak seorang pun pembaca yang tidak memahami kedua kalimat tersebut. Yang perlu dipersoalkan hanyalah kata semangat yang terdapat pada kedua kalimat itu. Saya yakin, maksud kedua penulis dengan kata semangat (nomina) pada kalimat-kalimat itu adalah bersemangat (ajektiva) yang bermakna mengandung semangat.
Kebiasaan memotong awalan seperti ini sangat sering terjadi, bukan hanya dalam tulisan yang disiarkan berbagai media cetak, tetapi juga di televisi. Seorang pembawa acara di televisi senantiasa menutup acaranya dengan mengatakan ”tetap semangat”.
Semula saya berpikir, kegemaran membuang awalan ber tersebut adalah kebiasaan yang baru muncul beberapa tahun belakangan ini. Ternyata saya salah. Pada 1966, tokoh mahasiswa Soe Hok Gie menulis seperti ini: ”Jalan-jalan sudah sepi. Dan mahasiswa-mahasiswa yang kecapaian akhirnya pada pulang. Kantong kosong, badan lelah dan bau keringat, muka hitam dan dekil. Tetapi mereka tetap semangat.” (Buku Catatan Seorang Demonstran, halaman 139, alinea 2).
Artinya, sejak 41 tahun lalu, secara sengaja atau tidak, kita tidak bersahabat dengan awalan ber, karena itu kita sering membuangnya dan menganggapnya tidak perlu. Kalau hanya dengan kata semangat saja orang telah memahami yang kita maksud, mengapa harus menggunakan kata bersemangat?
Kalau dulu kita menggunakan kata penampilan, kata dasar yang diberi awalan pe dan akhiran an, saat ini kata tersebut sering disingkatkan menjadi tampilan, dengan membuang awalan pe.
Sekarang banyak orang menggunakan kata capaian sebagai ganti kata pencapaian. Sebuah media menulis amatan sebagi pengganti pengamatan. Kata berbeda diganti dengan kata beda. Demikian pula dengan kata berbahaya yang saat ini sering digantikan dengan kata bahaya. Tampaknya, banyak di antara kita yang alergi terhadap awalan ber dan awalan-awalan lain, padahal tanpa awalan tersebut sebuah kata dapat bermakna lain.
Dalam sebuah acara televisi beberapa waktu lalu, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menyebutkan kata tampungan sebagai ganti kata penampungan. Pak Djoko tak perlu khawatir akan dianggap kurang peduli dengan bahasa Indonesia baku. Para pendahulunya cukup banyak, dan mereka merasa aman-aman saja dengan kebiasaan itu.
Karena kaum tua sering tidak cermat atau ceroboh dalam menggunakan bahasa Indonesia dan gemar memenggal kata agar lebih pendek, kaum muda juga tidak mau kalah. Kata pengaruh mereka penggal pula menjadi ngaruh.
Jangan-jangan kata ngaruh ini suatu saat nanti akan digunakan banyak orang seperti mereka menggunakan kata semangat dengan salah kaprah seperti saat ini.
(Ironisnya, di pihak lain kaum tua sangat gemar mengulang kata—artinya membuat kalimat menjadi lebih panjang—yang maknanya sama. Kalimat yang seharusnya cukup dimulai dengan kata kalau sangat sering disusul dengan kata seandainya. Contoh, ”Kalau seandainya hari hujan, kita tidak jadi pergi.”)
Para pengguna bahasa Indonesia sebenarnya tahu bahwa bahasa juga mengenal aturan main yang disebut tata bahasa.
Seandainya standar yang ditetapkan itu diberi nilai enam, mengapa kita berbahasa dengan nilai di bawah enam? Orang Inggris merasa bangga jika mereka dapat menggunakan bahasa Inggris yang disebut the Queen’s atau the King’s English, karena bahasa tersebut dianggap bahasa standar dan digunakan orang terpelajar. Mengapa kita tidak dapat seperti mereka?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo