Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELASAN pengunjung stan sebuah pameran terlihat takjub memandang cabe keriting merah sepanjang 30 sentimeter alias dua kali ukuran normal itu. Banyak yang menyangkanya hiasan plastik atau cabe impor hasil rekayasa pakar Thailand. Karena itu mereka makin heran setelah mengetahui buah pedas itu dihasilkan seorang petani asal Koto Panjang, Kanagarian Limpasi, Payakumbuh, Sumatera Barat.
Begitulah, cabe keriting (Capsicum anuum) raksasa ini menjadi primadona pameran yang digelar Yayasan Alumni Fakultas Pertanian Universitas Andalas di Padang, dua pekan lalu. Padahal varietas cabe unggul ini ditemukan secara tidak sengaja oleh Syahrul Yondri, 43 tahun, dan tanpa bantuan teknologi canggih pula.
Kisah cabe seukuran penggaris anak sekolah ini bermula dari serangan hama terhadap cabe yang ditanam Syahrul tiga tahun lalu. Virus kuning, yang biasa disebarkan kutu kebo (Bemisa tabaci) telah memusnahkan harapan Yon, demikian Syahrul biasa dipanggil, dan juga petani cabe lain di Limpasi.
Ia kemudian mencoba mencari jalan mengatasi serangan hama itu. Dari hasil pengamatannya, ia mengetahui kutu kebo tidak tahan panas, sehingga selalu berlindung di balik daun ketika terik. “Saya mencari cara agar hama di balik daun terkena cahaya,” kata Yon, yang oleh tetangganya dikira stres karena setiap hari duduk di ladang sambil mengamati kutu kebo.
Dimulailah eksperimen kecil-kecilan. Di bawah rumpun cabe yang baru tumbuh, ia meletakkan pecahan cermin serta kertas aluminium bungkus makanan kecil untuk memantulkan cahaya ke balik daun. Hasilnya lumayan. Kutu kebo mulai enggan hinggap, sehingga lebih dari separuh cabe bisa dipanen. Ia mulai mencari pengganti cermin dan bungkus makanan kecil untuk memantulkan cahaya agar lebih praktis. Akhirnya pilihan jatuh ke plastik mulsa, yang biasa digunakan untuk melindungi tanaman dari gulma.
Karena mulsa kurang banyak memantulkan cahaya, Yon mengecat plastik itu dengan warna perak. Lalu ia menanam cabe lagi, menggunakan kompos dan menutup bedengan tanah dengan mulsa. Hama makin berkurang, bahkan cabenya lebih subur dan menghasilkan buah dengan panjang 22 sentimeter, lebih panjang dari biasanya yang hanya 17 sentimeter. Ia lalu memilih cabe terbesar sebagai bibit.
Ia menanamnya kembali, tapi kali ini kompos dilipatduakan menjadi 2 kilogram tiap pohon. Hasilnya, cabe semakin panjang, bahkan ada dua pohon yang berbuah hingga 35 sentimeter. Salah satu pohon berdahan pendek sehingga buahnya menjuntai ke tanah. Yon memilih mengembangkan bibit cabe dari batang yang tinggi.
Akhirnya, setelah tiga kali percobaan, Yon mendapatkan benih unggulan. Hasilnya, buah cabe berukuran 25 sampai 35 sentimeter. Dari satu pohon, didapat 1,4 kilogram, dua kali lebih banyak dari biasanya. Untuk lahan seribu meter persegi, bisa didapat 1 sampai 1,4 ton cabe. Masa panen tiga bulan sekali, seperti cabe biasa. Karena menggunakan pupuk organik, cabe Yon bisa bertahan seminggu dalam suhu kamar, sedangkan cabe biasa hanya tiga hari. Harganya pun 50 persen lebih mahal dari cabe normal.
Semula, temuan Yon tidak terlalu diacuhkan tetangganya. Ia hanya dianggap beruntung bisa panen cabe raksasa itu. Tapi, karena pada panen berikutnya ia kembali berhasil memetik cabe raksasa, para tetangga mulai mengikuti jejaknya. Pelan-pelan, Yon dan cabenya mulai dikenal petani di daerah Limpasi, sampai akhirnya di seantero Payakumbuh.
Oleh Wali Kota Payakumbuh, Josrizal Zain, cabe yang dinamai kopay, singkatan Kota Payakumbuh, ini telah didaftarkan ke Balai Pemurnian dan Sertifikasi Benih, Pusat Perlindungan Varietas Tanaman, Departemen Pertanian. Pada Oktober mendatang, cabe ini akan diseminarkan dan diluncurkan sebagai varietas baru.
Menurut Kepala Sub-Direktorat Benih Tanaman Buah Departemen Pertanian, Amir Pandji Santosa, sebenarnya tidak ada yang luar biasa dalam penemuan cabe kopay ini, karena merupakan upaya pemurnian biasa. “Tapi yang istimewa, dari ratusan varietas cabe yang sudah dilepas, baru kopay ini yang panjangnya bisa 30 sentimeter,” katanya.
Meski bukan temuan luar biasa, terobosan Yon ini perlu ditiru petani lain agar sektor pertanian kita tidak tertinggal.
Yudono Yanuar, Febrianti (Payakumbuh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo