Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zaim Rofiqi
Di sebuah stasiun televisi, tampak Tukul Arwana sedang memandu sebuah acara bincang-bincang yang sekarang sedang populer. Sambil bercanda, Tukul bertanya kepada salah seorang bintang tamu acara itu: ”Kronologisnya bagaimana? Kenapa sampai kecurian laptop itu?”
Saya tercenung: ”kronologis”? Saya pindah ke stasiun lain. Berita tentang pembunuhan dua anak oleh ibu kandungnya sendiri. Di tengah-tengah tayangan berita itu, seorang penyiar dengan ringan berkata: ”Berikut ini adalah kronologis pembunuhan keji itu.” Saya kembali tercenung: ”kronologis”?
Di majalah yang terbit beberapa bulan lalu, saya membaca judul: ”Kasus Pemerkosaan Upik: Sampai Sekarang Belum Diketahui Kronologisnya.” Saya kembali termenung: ”kronologis”? Beberapa hari kemudian, saya membeli sebuah koran di sebuah halte, dan kembali menemukan penggunaan kata yang sama di halaman depan koran itu: ”Kronologis Pembunuhan Munir Terungkap.”
”Kronologis”? Apakah ini kata baru? Sinonim dari ”kronologi”? Apakah bersama waktu, secara diam-diam, publik telah membentuk dan menahbiskan kata ”kronologis” sebagai sinonim ”kronologi” dan memiliki makna yang sama dengan ”kronologi”? Apakah diam-diam publik telah menabalkan penanda (kata/frasa/idiom) baru yang ”memperkaya bahasa Indonesia” untuk menunjuk pada petanda (makna/konsep) ”urut-urutan terjadinya sebuah peristiwa”?
Saya sadar, saya sedang berhadapan dengan salah satu contoh dari bentuk kesalahkaprahan publik. Dan kesadaran ini segera memunculkan berbagai pertanyaan lanjutan dalam benak saya: Apakah kasus kesalahkaprahan publik di atas bisa diterima? Sejauh mana kesalahkaprahan publik bisa diterima? Di wilayah mana kesalahkaprahan publik bisa diterima—dan kadang bahkan perlu disyukuri karena memperluas/memperkaya makna sebuah penanda?
Kasus kesalahan penggunaan penanda ”kronologis” di atas tidak dapat diterima, meskipun bersama berjalannya waktu semakin banyak orang (baca: publik) yang menggunakan kata itu. Mengapa? Karena penyimpangan/kesalahan penggunaan kata ”kronologis” dalam contoh di atas ada dalam wilayah gramatika, bukan dalam wilayah makna (hubungan penanda-petanda)—tentu akan rancu dan membingungkan menganggap bahwa kata ”kronologi” dan ”kronologis” adalah sinonim; selain itu kita akan kesulitan membedakan kata sifat dan kata benda dari penanda ”kronologi”.
Dalam wilayah gramatika tidak berlaku hukum arbitrer—gramatika tidak serta-merta berubah hanya karena sebagian besar pengguna bahasa melakukan penyimpangan/kesalahan yang secara langsung atau tidak langsung mengubah tata bahasa. Bahasa bersifat arbitrer hanya dalam wilayah makna, wilayah hubungan penanda-petanda. Dalam wilayah gramatika, semua penanda—dan semua pengguna penanda itu, yakni pengguna bahasa—mau tidak mau harus tunduk pada aturan tata bahasa yang sedang berlaku, aturan tata bahasa baku. Kesalahan penggunaaan kata ”kronologis” dalam contoh di atas berada dalam wilayah yang sama dengan kesalahan penggunaan kata ”keluar” dalam kalimat ”Karena gerah, ia keluar ruangan untuk mencari udara segar”: keduanya adalah kesalahan dalam wilayah gramatika, yang jika tidak segera dibenahi akan mengakibatkan kacaunya tata bahasa. Dan jika tata bahasa kacau, akibat selanjutnya adalah merebaknya kebingungan atau tidak maksimalnya komunikasi.
Kesalahkaprahan publik bisa diterima—dan masih harus dilihat apakah kemudian bersama berjalannya waktu akan mengarah pada terbentuknya penanda baru yang diterima dan digunakan secara umum—jika hal ini terjadi di wilayah makna (hubungan penanda-petanda). Di wilayah inilah hukum konvensi dalam berbahasa berlaku. Di wilayah inilah hukum arbitrer dalam bahasa berlaku: tidak ada benar-salah di situ, karena yang menjadi pertanyaan adalah apakah bersama berjalannya waktu publik menerima atau tidak makna dan penggunaan sebuah penanda. Kesalahkaprahan publik di wilayah ini bahkan kadang bahkan perlu disyukuri karena sangat mungkin akan memperluas/memperkaya makna sebuah penanda.
Saya membayangkan, jika karena alasan keumuman dan waktu kesalahan penggunaan kata ”kronologis” di atas diterima begitu saja dan tidak diluruskan, kesalahan seperti ini mungkin akan merembet ke penanda lain, mengacaukan penanda lain. Jika karena alasan keumuman dan waktu kesalahan seperti ini dibiarkan begitu saja, betapa kacaunya tata bahasa Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo