Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Resep Cina Kuno Penangkal Malaria

Obat artemisinin menyelamatkan ratusan juta penduduk bumi dari malaria. Penemunya diganjar Hadiah Nobel.

12 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TU Youyou adalah nenek yang berperawakan kecil dengan rambut hitam pendek dan berkacamata baca tebal. Sejak Senin pekan lalu, banyak orang ramai-ramai ingin menemuinya. Ilmuwan asal Cina itu menjadi populer setelah Komite Nobel di Stockholm, Swedia, memberinya Hadiah Nobel bidang kedokteran.

Tu adalah penemu obat artemisinin, yang dikenal paling efektif melumpuhkan malaria. Tu kalem saja menyambut pengumuman Komite Nobel. "Saya tak merasakan sesuatu yang spesial tentang kemenangan ini," ujar perempuan 84 tahun itu, seperti ditulis Zhejiang Evening News.

Hadiah Nobel itu, kata Tu, bukan cuma untuk dirinya, tapi, "Juga buat seluruh ilmuwan Cina yang melakukan riset bersama puluhan tahun lalu." Menurut peneliti yang kini bekerja di China Academy of Traditional Chinese Medicine, Beijing, Cina, itu, Hadiah Nobel merupakan bukti pengakuan komunitas sains internasional terhadap riset ilmiah pengobatan Cina. "Itu membuatku sangat bangga."

Selain memberikan Hadiah Nobel bidang kedokteran kepada Tu, Komite memberikan penghargaan itu kepada ilmuwan Amerika Serikat kelahiran Irlandia, William C. Campbell, dan Satoshi Omura dari Jepang. Campbell dan Omura berhasil membuat obat untuk infeksi parasit cacing gelang (Onchocerca volvulus) yang menyebabkan penyakit onkosersiasis atau infeksi di kulit dan mata serta filariasis alias kaki gajah.

Komite menyatakan hasil riset ketiga ilmuwan itu sangat penting bagi umat manusia dalam menghadapi penyakit infeksi akibat parasit yang menyerang ratusan juta orang setiap tahun. "Dampak obat itu terhadap peningkatan kesehatan manusia sangat tak ternilai," demikian pernyataan Komite.

Obat temuan Tu mengubah dunia dalam menghadapi malaria, yang menjadi momok negara-negara di kawasan beriklim tropis. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada 2013, ada 198 juta kasus malaria. Sebanyak 584 ribu orang tewas karena penyakit ini—90 persen di antaranya di Afrika.

Penyakit malaria disebabkan oleh parasit bersel tunggal Plasmodium yang dibawa oleh nyamuk dan tergolong pembunuh terbesar manusia. Artemisinin menjadi senjata ampuh melawan parasit malaria, yang resistan terhadap obat lama, seperti quinine, chloroquine, dan sulfadoxine/pyrimethamine, yang menjadi andalan pada akhir abad ke-19.

Asal-usul pembuat artemisinin ternyata pernah menjadi misteri meski obat itu sudah beredar hampir 40 tahun. Peneliti dari National Institute of Health (NIH), Maryland, Amerika, Louis Miller, tak juga menemukan jawabannya saat bertanya kepada para ahli malaria asal Cina dalam pertemuan di Shanghai pada 2005. "Aku sangat terkejut bahwa tak ada satu pun yang tahu," katanya, seperti ditulis News Scientist.

Miller dan koleganya di NIH, Xinzhuan Su, memeriksa informasi sejarah obat, surat, hingga catatan harian dan pertemuan para peneliti Cina yang dianggap terlibat dalam pembuatan artemisinin. Mereka menyimpulkan, penghargaan terbesar seharusnya diberikan untuk Tu. Nama Tu mulai mencorong setelah mendapat Penghargaan Lasker, hadiah bergengsi untuk bidang kedokteran di Amerika, pada 2011.

Tu menemukan artemisinin dalam riset yang menjadi bagian dari proyek militer rahasia Cina pada 1960-an. Proyek ini didukung penuh oleh pemimpin Cina, Mao Zedong, dan Perdana Menteri Zhou Enlai. Cina butuh penangkal mujarab untuk mengatasi wabah malaria yang menghantui negeri itu. Masalahnya, banyak ilmuwan top menjadi korban kekacauan Revolusi Kebudayaan.

Pada 1967, Mao mengumpulkan ratusan ilmuwan untuk melakukan riset rahasia yang dikenal sebagai Proyek 523. Tu baru berusia 39 tahun saat ditunjuk untuk bergabung pada 1969. Kala itu Tu bukan peneliti yang populer, tapi dia paham pengobatan Barat dan Cina sekaligus.

Negeri Panda juga butuh obat malaria baru untuk membantu sekutu dekatnya, Vietnam Utara, yang sedang terlibat perang dengan Amerika Serikat. Malaria, yang resistan terhadap chloroquine, lebih banyak membunuh tentara Vietnam Utara ketimbang peluru prajurit Amerika. Sementara itu, Amerika mengembangkan obat baru berbahan mefloquine untuk pasukannya.

Riset itu begitu penting bagi pemerintah Cina sampai Tu harus meninggalkan putrinya yang baru berusia empat tahun di Beijing saat ditugasi melakukan observasi serangan malaria di Provinsi Hainan. "Tugas ini adalah prioritas utama. Aku bersedia mengorbankan kehidupan pribadiku," ujar Tu, seperti ditulis The Guardian.

Tu dan timnya sangat kesulitan mencari formula obat malaria baru. Saat dia memulai risetnya, sudah lebih dari 240 ribu senyawa diteliti oleh Amerika dan Cina tanpa membuahkan hasil positif. Tu berpaling ke obat tradisional. Namun, "Ada lebih dari 380 cara ekstraksi berbeda, tak satu pun berhasil," kata Tu, seperti ditulis The South China Morning Post, Rabu pekan lalu.

Titik terang muncul ketika para peneliti mempelajari lebih dari 2.000 dokumen tua pengobatan tradisional Cina yang ditulis 1.600 tahun lalu. Dalam salah satu dokumen, Tu menemukan penjelasan bahwa hasil rendaman bagian pohon Artemisia annua, spesies tanaman yang banyak ditemukan di Cina, bisa dipakai untuk mengobati malaria.

Setelah berulang kali mencari formula penyiapan obat yang tepat, Tu sukses mengekstrak tanaman itu pada suhu rendah. Uji coba pada monyet dan mencit ternyata efektif. Tu bahkan menjadi sukarelawan pertama dalam uji coba obat terhadap manusia. "Sebagai pemimpin riset, akulah yang bertanggung jawab," ujarnya.

Tes selanjutnya terhadap sejumlah pekerja yang terjangkit malaria di hutan pun sukses. Dalam waktu 30 jam, demam mereka berkurang dan parasit bisa disingkirkan dari aliran darah. Artemisinin mampu membunuh larva parasit pada awal tahap pertumbuhannya.

Sukses wanita lulusan Peking University itu sempat jadi kontroversi ketika pada 2009, dalam bukunya, Qinghao and Artemisinin Drugs, Tu mengklaim sebagai penemu utama obat tersebut. Dia pun menjadi sasaran kritik para peneliti karena tak menyebut timnya.

Dalam sepuluh tahun terakhir, mulai muncul resistansi parasit terhadap artemisinin di Kamboja. Obat itu masih bekerja dengan baik, tapi butuh waktu lebih lama, dari dua menjadi empat hari, untuk mengatasi malaria. Dokter kini menggunakan kombinasi artemisinin dan obat antimalaria lain, karena parasit sulit mengembangkan resistansi pada dua obat sekaligus.

Menurut Khie Chen, spesialis penyakit dalam dari Divisi Penyakit Tropis dan Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, penemuan artemisinin sangat membantu pengobatan malaria tersiana ataupun tropika yang endemis di Indonesia.

Akibat resistansi, efektivitas obat malaria sebelumnya yang selama ini digunakan secara luas, seperti chloroquine dan sulfadoxine/pyrimethamine, sudah berkurang. "Kina sebagai obat yang efektif mengalami kendala oleh efek samping dan keamanan dalam penggunaannya," ujar Khie dalam surat elektroniknya, Kamis pekan lalu.

Di Indonesia, artemisinin tersedia dalam bentuk tablet dan injeksi yang didistribusikan terbatas dengan pengawasan Kementerian Kesehatan. Menurut Khie, hal ini dilakukan untuk mencegah penggunaan yang tidak rasional yang dapat memicu resistansi. "Walau ada laporan terjadi resistansi di negara lain, pengobatan malaria masih cukup efektif asalkan digunakan tepat dan benar," katanya.

Gabriel Wahyu Titiyoga (Nobel Prize, AP, Reuters)


Obat Herbal untuk Malaria

DEDAUNAN obat herbal tradisional Cina yang berasal tanaman Artemisia annua telah dipakai mengobati malaria selama lebih dari 1.500 tahun. Saat ini obat yang berasal dari ekstrak artemisinin dari herbal itu menjadi tumpuan melawan penyakit yang membunuh setidaknya 1 orang setiap 30 detik tersebut.
1. Spora plasmodia dari liur nyamuk yang terinfeksi masuk ke aliran darah.
2. Spora menyerang sel hati.3. Merozoite parasit malaria berkembang di sel hati.
4. Merozoite menginfeksi sel darah merah yang berperan sebagai inkubatornya.
5. Sel darah luruh, melepaskan lebih banyak merozoite, yang kemudian menginfeksi sel-sel darah lain.
6. Merozoite berubah menjadi gametocyte—sel reproduksi Plasmodium jantan dan betina.
7. Nyamuk yang tak terinfeksi menyedot darah yang sudah tercemar Plasmodium. Siklus perkembangan parasit itu terulang lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus