Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Samsudin Adlawi*
Setahun lalu, saya ke Tanah Suci melaksanakan ibadah haji. Selain mendapat pengalaman spiritual, saya membawa pulang pengalaman kebahasaan. Pengalaman spiritual berhaji tidak perlu saya jabarkan dalam tulisan ini. Sebab, apa yang saya alami selama 38 hari di Tanah Suci—Madinah dan Mekah—kurang-lebih sama dengan yang dialami jemaah haji pada umumnya. Tidak demikian dengan pengalaman kebahasaan. Mungkin hanya beberapa orang yang tertarik memperhatikannya, termasuk saya.
Ceritanya bermula seusai tawaf qudum, yakni tawaf (berjalan mengelilingi Ka'bah tujuh kali berlawanan dengan arah jarum jam sambil berdoa) yang dilakukan ketika baru tiba di Mekah untuk menunaikan ibadah umrah atau haji. Sesampai di maktab, salah satu anggota jemaah seregu saya menyampaikan rasa galaunya. "Katanya makam, kok, ukurannya kecil? Tidak panjang seperti makam umumnya. Lagi pula bagian dalamnya hanya berupa dua bekas telapak kaki," demikian dia bergumam. Yang dimaksud teman saya adalah makam Ibrahim. Memang makam Ibrahim hanyalah berupa pahatan bekas dua telapak kaki Nabi Ibrahim ketika membangun Ka'bah. Makam itu dilindungi cungkup berwarna keemasan dan terletak di sisi Ka'bah.
Sejak di rumah, teman saya itu sudah membayangkan makam Ibrahim sama dengan makam Nabi Muhammad, seperti yang diziarahinya di dalam Masjid Nabawi di Madinah, atau setidaknya seperti makam para wali dan makam umumnya di Indonesia. Persepsi teman saya itu tidak salah. Sebab, umumnya orang Indonesia menyebut tempat mengubur mayat dengan istilah "makam". Orang lebih mengenal istilah "dimakamkan" daripada "dikubur", atau lebih sering menyebut "pemakaman" dibanding "pekuburan". Yang agak unik, tempat mengubur para pahlawan atau orang yang dianggap punya jasa bagi negara disebut taman makam pahlawan, bukan taman pekuburan pahlawan.
Awalnya, saya menyangka kata "makam" yang berarti "kubur" berasal dari bahasa Arab. Saya pun menelusurinya lewat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa Edisi Keempat. KBBI tidak menyebut asal-usul kata "makam". KBBI hanya mengartikan "makam" dengan "kubur". Selain itu, KBBI menyebutkan "makam" dalam bidang arkeologi searti dengan "tempat tinggal" atau "kediaman". Tiba-tiba saya teringat saat berziarah ke Masjid Quba di Madinah. Di samping masjid yang pertama dibangun Nabi Muhammad saat masuk ke Madinah itu terdapat pekuburan. Seperti di Indonesia, di depan pekuburan itu terdapat papan bertulisan "Maqbaratun Raqmun (V)". Artinya: pekuburan nomor 7. Ternyata Arab Saudi tidak memiliki makam. Di sana, tempat mengubur mayat alias pekuburan dinamai makbarah.
Ketika mengajak rombongan berziarah ke makam Nabi Muhammad, pembimbing ibadah haji saya, KH Abdul Latief Harun, berkata, "Mari kita berziarah ke makbarah Kanjeng Nabi." Mendengar kata makbarah, saya jadi teringat orang-orang di desa saya di Banyuwangi. Menjelang Idul Fitri, berondong-bondong mereka mengunjungi kuburan atau pekuburan. Mereka nyekar ke kuburan orang tua atau kerabatnya, membersihkannya, lalu berdoa. Saya juga sering diajak orang tua ke kuburan kakek dan nenek. Maka, hingga kini, lidah saya pun lebih lincah menyebut kuburan daripada makam.
Selain terhadap makam Ibrahim, teman saya penasaran terhadap sebutan Mekah sebagai "bumi haram". "Kalau haram, seharusnya kan tidak boleh dikunjungi? Ini kok malah jadi jujugan orang yang berumrah dan berhaji?" tanyanya kepada Kiai Latief. Lantas dia memberi contoh: kita dilarang makan daging babi karena daging babi haram dikonsumsi. Pembimbing dari KBIH Sabilillah Banyuwangi itu memberikan penjelasan yang sederhana dan jelas: ke-haram-an bumi Mekah justru karena keistimewaannya, yakni adanya hukum atau ketentuan yang ditetapkan langsung oleh Allah: tidak dihalalkan berperang di Mekah, pohon berduri tidak boleh ditebang, hewan buruan tidak boleh dibunuh, barang temuan tidak boleh diambil, dan rumputnya tidak boleh dicabut atau dipotong. Ketentuan-ketentuan itu membuat Mekah menjadi kota yang istimewa. Mulia dan aman. Keamanan menambah kekhusyukan dalam menunaikan ritual ibadah umrah dan haji di Masjidil Haram dan sekitarnya.
Selain "haram", kata "halal" sangat akrab di telinga jemaah haji. Hampir setiap hari mereka mendengar dua kata yang bertolak belakang arti itu. Keduanya selalu diucapkan penjaga toko atau mal, terutama saat proses tawar-menawar barang jualannya. Ketika tak mufakat dengan harga yang diminta pembeli, si penjaga toko atau mal akan berteriak "haram". Sebaliknya, jika merasa harga cocok, mereka akan langsung berkata "halal". Saban hari jemaah haji juga menunggu-nunggu berkah dari kata "halal" dengan akhiran (-an) karena kata halalan bagi jemaah haji merupakan berkah. Saat mengucapkan kata halalan, orang Arab biasanya membagikan sesuatu. Jemaah haji langsung membentuk antrean panjang menunggu giliran mendapat makanan atau barang secara gratis alias halalan.
Terakhir, ada satu kata Arab yang tidak populer di negerinya sendiri, yakni "musala". Baik di Madinah maupun Mekah, saya belum pernah menemukan musala. Ternyata orang Arab menyebut tempat ibadah orang Islam dengan sebutan "masjid". Besar atau kecil disebut masjid. Berdiri sendiri atau di dalam bangunan lain seperti hotel tetap dinamai masjid, bukan musala. Itu berbeda dengan di Indonesia: masjid tidak sama dengan musala. Secara fisik, bangunan musala berukuran lebih kecil daripada masjid. Musala juga sering disebut surau atau langgar. KBBI secara ambigu mengartikan musala dan masjid. KBBI menyebut masjid sebagai "rumah atau bangunan tempat beribadah orang Islam". Adapun musala diartikan sebagai "tempat salat". Apa bedanya salat dan beribadah bagi muslimin? Memang beribadah bagi seorang muslim bukan hanya salat. Tapi nyatanya selama ini ibadah yang lain, seperti baca Al-Quran dan zikir, juga dilakukan di musala—sebagaimana halnya di masjid. l
Wartawan Jawa Pos, penyair
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo