MASALAH daya tarik pada wanita dan pria, sejak Agustus lalu, ramai dibicarakan ilmuwan sosial. Khususnya karena munculnya hasil penelitian Dr. Michael Cunningham, psikolog dari Universitas Louisville, di majalah The Journal of Personality and Social Psychology, lalu buku psikolog Universitas Hawaii Elaine Hatfield, yang berjudul "Mirror, Mirror ....". Berbagai pendapat kemudian bermunculan, khususnya pada majalah The American Scientist, terbitan bulan ini. Dalam salah satu artikel, psikolog Universitas Michigan, AS, Dr. David Buss, mengutarakan beberapa patokan studi psikologis tentang daya tarik. Dalam studi perbandingan, menurut ahli jiwa itu, terlihat berbagai persamaan kuat yang menunjukkan bahwa daya tarik sebenarnya mempunyai standar. Di samping itu, kata Buss, berbagai penelitian menyimpulkan pula bahwa daya tarik, atau lebih khusus lagi kecantikan, bukan cuma suatu perhiasan. "Terbukti, gejala itu punya dampak psikolois maupun sosial," katanya. Dalam bentuk sederhana, mudah menarik perhatian. Berkembangnya kemampuan berpendapat dan menyusun konsepsi membuahkan ukuran daya tarik dari hari ke hari menjadi semakin kabur. Standar itu boleh dibilang bergantung pada bingkai referensi seseorang. Namun, secara umum, menurut Buss, pendapat tentang daya tarik baik laki-laki maupun wanita, berpangkal pada keramahan dan kecerdasan. "Ini yang utama," kata Buss. Sesudah itu, biasanya orang mengemukakan pula, perihal pribadi yang menarik, sehat, dan kreatif. Secara umum bisa digariskan, laki-laki biasanya menuntut kecantikan fisik pada wanita, sementara wanita lebih menilai posisi dan penghasilan untuk mengambil kesimpulan menarik atau tidaknya seorang pria baginya. Namun, semua pendapat ini boleh dikatakan tidak esensial. Tenaga daya tarik, menurut Buss, bekerja tersembunyi dan ditanggapi hampir tanpa disadari. Dari hasil penelitian bertahun-tahun, Buss percaya, ukuran daya tarik dari masa dahulu sampai masa kini belum berubah. Ukuran itu, seperti terlihat pada studi-studi antropologis atas masyarakat masa lalu berakar pada kesuburan dan kekuatan. Tanda-tanda paling kuat yang tampil pada daya tarik atau kecantikan seorang wanita muncul pada masa puncak kesuburannya untuk menghasilkan keturunan. Sedangkan daya tarik pada laki-laki tidak terletak pada kemampuan reproduksi, tapi terutama pada kekuatan yang dimilikinya. "Kekuatan ini berhubungan dengan kemampuan melindungi keturunan agar bisa survive," ujar Buss. Kendati Buss yakin terdapat tanda-tanda fisik pada kecantikan dan daya tarik yang menggambarkan kekuatan "dalam", ia sebegitu jauh tak bisa memastikan gambaran dari tanda-tanda itu. Namun, psikolog itu yakin, ilmu bersolek berakar pada tanda-tanda tersebut. Para wanita mengetahuinya secara naluriah dan sering kali mampu memperkeras "garis-garis" itu hingga tampil lebih kuat. Karena itu, melalui perkembangan dari zaman ke zaman, tanda-tanda ini akhirnya menjadi standar daya tarik yang umum. Dalam arti berfungsi tidak hanya untuk mencari pasangan, tapi menarik perhatian demi kepentingan-kepentingan lain. Perkembangan ilmu kosmetika di masa lalu bisa dilihat pada Kebudayaan Mesir Klasik. Berbagai penelitian menunjukkan terdapat pengolahan yang sangat canggih di bidang kosmetika. Dan semuanya berakar pada memperkeras tanda-tanda alamiah daya tarik, agar menjadi kecantikan yang memiliki kekuatan. Penelitian Michael Cunningham, yang memancing banyak pendapat, bicara soal daya tarik bukan untuk mencari pasangan itu. Ia juga lebih khusus memasalahkan daya tarik wanita yang dalam beberapa hal bisa dikatakan: kecantikan. Dan, yang paling kontroversial, ia menurunkan pula rumus perbandingan wajah yang disebut menarik. Ini mau tidak mau harus dikatakan hakikat daya tarik. Studi Cunningham cukup besar. Ia melihatkan 150 responden pria yang memberikan pendapat tidak hanya lewat angket, tapi juga diskusi aktif. Setelah melakukan seleksi berulang-ulang, terkumpul 50 wanita yang dianggap representatif untuk ditelaah. Dan 50 wanita itu, tujuh berkulit hltam, enam wanita Asia, dan sisanya kulit putih termasuk gadis-gadis Amerika Latin yang banyak memborong kemenangan pada pemilihan Miss Universe. Memang, dari 50 wanita itu, 27 finalis kontes kecantikan. Dengan 50 foto wanita cantik, dan 150 responden, Cunningham melakukan penelitian bertahun-tahun. Melalui perbandingan matematis dan sejumlah perhitungan, ia memperkirakan rumusan, kemudian mengeceknya melalui responden. Begitu berulang-ulang sampai ia mendapat rumusan yang diperkirakannya tepat. Kesimpulan Cunningham memang sangat kongkret. Jarak antara kedua mata, misalnya, harus 3/10 lebar wajah pada garis mata. Ketinggian dagu (sampai bibir) 1/5 tinggi wajah. Jarak mata ke alis, 1/10 tinggi wajah. Pembukaan kelopak mata 1/14 tinggi wajah. Lebar mata, 1/14 jarak dua tulang pipi. Luas daerah hidung, total, 5% luas wajah. Masih banyak perbandingan lain yang ditemukan Cunningham (lihat gambar) hingga sekilas wajah wanita ideal terasa ruwet dan tidak realisis. Cunningham sendiri mengakui, ukuran yang dikemukakannya tidak dibuat berdasar sebuah wajah. Karena itu, sulit membayangkan rumusan itu ada pada wajah seorang wanita. Keseluruhannya, menurut Cunningham, adalah patokan tanda-tanda, dan bukan rumusan kecantikan absolut. Cara ia mengukur pun satu per satu, bukan meminta pendapat tentang "komposisi" muka. Cunningham memberikan pula arti pada rumusan matematis yang disusunnya. "Kening dan bola mata yang lebar mempunyai daya tarik yang sama dengan kelucuan seorang kanak-kanak," katanya, "tulang pipi yang menonjol, jarak mata dengan alis dan senyum lebar, menandakan kematangan seksual dan minat kemasyarakatan." Menurut psikolog itu, gabungan kedua tanda ini kekanak-kanakan tapi matang secara seks merupakan kekuatan utama kecantikan. Daya tarik dan kecantikan ternyata bukan cuma masalah keindahan yang abstrak. Ia juga produktif. Hasil penelitian Elaine Hatfield menunjukkan, gejala itu berhubungan langsung dengan keuntungan psikologis dan sosial. Dalam bukunya, psikolog itu menyimpulkan, mereka yang punya penampilan menarik rata-rata punya kedudukan sosial dan posisi pekerjaan yang baik. Penghasllan mereka pun rata-rata tinggi. DALAM penelitiannya, Hatfield memantau perkembangan sejumlah gadis sekolah lanjutan atas yang dianggapnya punya penampilan menarik. Setelah 15 tahun mereka rata-rata menjadi wanita yang memiliki posisi jauh lebih baik dari umumnya rekan-rekan mereka. Juga rasio pendapatan mereka. "Tapi, itu semua bukan cuma karena wajah mereka," ujar Hatfield. Menurut psikolog itu, gadis menarik mendapat lebih banyak kesempatan. Pada masa belajar mereka lebih banyak mendapat perhatian guru, pada masa bekerja punya kesempatan banyak menunjukkan prestasi. Wajah pada dasarnya cuma modal. Menurut Hatfield, gadis-gadis yang ditelitinya, selain mudah mendapat kepercayaan diri, mereka yang rata-rata pesolek juga tahu bagaimana memperkeras daya tarik. Toh ada faktor yang tampaknya terabaikan dalam penelitian tentang kecantikan dan daya tarik itu. Allan Mazur, seorang ahli ilmu-ilmu sosial dari Universitas Syracuse, berpendapat kemampuan adalah faktor yang tak diperhatikan Hatfield. Ahli itu mempercontohkan kadet-kadet Akademi Militer West Point yang kebetulan pernah diamatinya. Memang benar mereka yang punya penampilan menarik mudah mendapat promosi begitu selesai. Namun, dalam menduduki jabatan dan kenaikan pangkat kemudian, rata-rata mereka ternyata gagal. Penampilan menarik dan kemampuan, menurut Mazur, adalah dua hal yang sama kuatnya dalam menentukan keberhasilan. Sementara itu, ahli psikologi sosial Universitas Minnesota, Dr. Ellen Berscheid cenderung skeptis melihat penelitian-penelitian mengenai daya tarik itu. "Perubahan masyarakat adalah masalah besar yang tidak diperhatikan," katanya. Sekarang, kedudukan wanita, menurut ahli itu, sudah jauh berubah. Kebutuhan reproduksi di masa kini -- dengan tingkat kepadatan penduduk bumi sangat tinggi -- tidak lagi penting. Di tengah itu, seks bukan lagi urusan reproduksi saja. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini