Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Diperlukan Lebih Banyak Katup ...

Pertumbuhan ekonomi rendah akibat harga komoditi primer dan migas jatuh menyebabkan sektor industri lumpuh. sektor informal diharapkan bisa menanggulangi ledakan tenaga kerja dalam pelita iv. (eb)

6 September 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENYEDIAKAN lapangan kerja bagi 1,9 juta orang bukanlah pekerjaan ringan. Hanya dengan pertumbuhan ekonomi 5%, masuknya angkatan kerja baru hampir sebesar penduduk Singapura setiap tahunnya itu bisa ditampung dan dikelola secara baik. Ternyata, tidak mudah mencapai angka pertumbuhan minimal setinggi itu, selama Pelita IV (1984--1989) ini sejak harga minyak dan gas alam jatuh jungkir balik. Lihat saja angka pertumbuhan ekonomi 1985. Seperti dikemukakan Kepala Biro Pusat Statistik Azwar Rasyid, pekan lalu, yang hanya tercatat 1,9%. Padahal, di tahun sebelumnya, nilai seluruh barang dan jasa dikurangi utang luar negeri itu masih tumbuh dengan 6,1%. Tapi bila dibandingkan Singapura dan Filipina, yang mengalami kontraksi masing-masing minus 1,7% dan 2,7%, pertumbuhan Indonesia bisa dianggap lumayan. "Ini memang kenyataan pahit," kata Azwar. Yang jadi soal, bagaimana mungkin angkatan kerja baru sebesar 9,3 juta bisa ditampung selama Pelita IV, kalau laju pertumbuhan ekonomi serendah itu. Sektor manakah yang di tahun kecut ini bisa dijadikan bantal penyelamat? "Dengan pertumbuhan hanya 2 % tak banyak yang bisa dilakukan pemerintah untuk menampung tenaga kerja, dengan teknik yang paling padat karya sekalipun," kata Hadi Soesastro, ekonom dan CSIS. Menurut Hadi, kalaupun pemerintah tetap berusaha mendahulukan untuk menyalurkan dana pembangunan ke proyek padat karya (macam proyek Inpres), sifatnya hanya akan mengurangi akibat buruk dari ledakan angkatan kerja. Sektor pekerjaan umum dianggapnya hanya akan berarti sebagai penyedia lapangan kerja. Jika pertumbuhan ekonomi mencapai 5% atau 6% . Juga sektor informal. "Paling hanya bisa dijadikan bantal supaya kalau kita jatuh tak terlalu keras rasanya," tambah Hadi. Sektor informal yang bisa menyerap pekerja dengan keterampilan rendah, demikian Hadi, hanya bisa tumbuh bila ditunjang perkembangan sektor formal. Pertumbuhan warung tegal di kaki lima, pemberi jasa ojek, atau tukang becak, misalnya, hanya akan berkembang jika para pekerja kasar seperti kuh bangunan mendapat pekerjaan di proyek konstruksi. Memang di tahun 70-an sektor informal bisa menyerap jutaan pekerja karena nunut pertumbuhan sektor formal. "Nah, kalau sektor konstruksi macet, sektor informal pun jadi sulit berkembang," katanya. Pernyataan itu sebagian ada benarnya. Di tahun 1982 lalu, ketika rezeki minyak masih melimpah dan sebagian besar dananya dipompakan ke pelbagai proyek pembangunan, pekerja yang masuk ke sektor informal hampir 44 juta orang. Sedang mereka yang bekerja di sektor formal di 10 lapangan usaha -- termasuk pertanian, industri pengolahan, perdagangan, dan jasa-jasa -- hanya tercatat kurang dari 14 juta orang. Bagian terbesar dari pekerja yang berusaha di sektor informal itu ternyata berada di pedesaan: lebih dari 39 juta, sementara di kota sekitar 4,6 juta orang saja. Kalau pemerintah berniat mengerem arus urbanisasi, 10 lapangan usaha sektor informal itu memang perlu dilindungi -- terutama di lapangan usaha perdagangan yang menyerap pekerja sebesar lebih dari 6,6 juta orang. Dalam bahasa Menteri Tenaga Kerja Sudomo kepada Kompas, para pedagang bakso maupun kaki lima itu tidak harus selalu dikejar-kejar dan dihancurkan. "Kita harus berani menerima kesulitan pembangunan ekonomi saat ini, dan mengakui sektor informal sebagai katup penyelamat kecilnya daya serap lapangan kerja sektor formal," katanya seperti dikutip koran itu. Pendapat itu mendapat dukungan Direktur Utama Star Motors Indonesia T. Pawitra. Di Malaysia, kata pimpinan tertinggi perusahaan yang mengageni mobil Mercedes di sini, sektor informal tampil sebagai daya tampung terkuat. Sektor ini dianggapnya bukan hanya terdiri dari golongan kaki lima, tapi juga sektor usaha industri rumah tangga -- seperti menyelenggarakan catering. "Saya yakin sektor informal bisa dijadikan alat untuk menanggulangi ledakan tenaga kerja baru," kata Pawitra optimistis. Harapan Sudomo dan Pawitra itu tentu cukup beralasan mengingat lapangan usaha di industri pengolahan, konstruksi, pertambangan dan penggalian, yang pernah memberikan kontribusi besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti kenyang menyediakan lapangan kerja baru. Sektor pertambangan macet, gara-gara investasi di sektor minyak dan gas alam terus menurun, menyusul jatuhnya harga minyak dari US$ 29 menjadi tinggal separuhnya hanya dalam waktu enam bulan. Industri pengolahan lumpuh, hingga banyak memecat buruh, gara-gara permintaan masyarakat akan sejumlah barang tertentu turun tajam tiga tahun terakhir ini. Akibatnya, menurut laporan Bank Dunia, di tahun 1985 itu produksi industri radio hanya 26% dari kapasitas terpasang. Sedang di industri penghasil televisi dan perakitan mobil masing-masing hanya 31% dan 37%. Yang agak lumayan adalah produksi di industri pemintalan dan tenun yang masing-masing bisa mencapai 64% dan 65%. Sedang sektor konstruksi melembek karena pemerintah banyak mengerem pengeluaran rupiahnya. Secara umum harus disebut pula bahwa jatuhnya harga beberapa komoditi pimer, macam karet, kopi (baru belakangan membaik lagi), teh, timah, dan kelapa sawit, juga ikut mempengaruhi keloyoan pertumbuhan ekonomi itu. Sebab jumlah uang yang diterima penghasil komoditi itu turun nilai dan daya belinya, sehingga tak mampu menciptakan tambahan permintaan akan pelbagai barang dan jasa yang dihasilkan industri lain di dalam negeri. Dalam situasi itu mata uang rupiah makin melemah melawan yen dan sejumlah mata uang Eropa. Akibatnya sudah bisa diduga, sektor perdagangan yang banyak mendistribusikan barang-barang Impor dari Jepang dan Eropa itu di tahun 1985 lalu pertumbuhannya minus 0,1% -- karena daya beli konsumen melemah. "Permintaan dalam negeri, dalam satu atau dua tahun ini, rasanya sulit ditingkatkan," kata Iwan Jaya Azis, Ketua Program Pascasarjana FE UI. Untuk menciptakan permintaan, yang kelak diharapkan bisa mengatrol pertumbuhan ekonomi, Iwan menyarankan agar anggaran pembangunan APBN 1986-1987 sebesar Rp 8,3 trilyun itu benar-benar dicairkan. Jika rupiah sebesar itu bisa keluar dari kocek pemerintah, pertumbuhan sepanjang 1986 ini tidak akan lebih rendah dari i%. "Kalau kita ingin daya serap lapangan kerja itu sebanding dengan pertambahan tenaga kerja, lapangan usaha seperti konstruksi harus kita pompa setinggi-tingginya," kata Iwan. APAKAH pemerintah akan melakukan saran itu? Belum tentu. Yang terjadi sebelumnya, uang dari laci yang dipompa ke sektor industri konstruksi malah melorot terus. Akibatnya, menurut Ketua Asosiasi Kontraktor Indonesia Suradi Wongsohartono, jumlah tenaga kerja yang terserap ke situ hanya 603 ribu orang di tahun anggaran berjalan ini. Padahal, pada tahun 1982, waktu minyak masih mengalirkan dolar banyak, jumlah tenaga kerja yang terserap ke sana mencapai 2,1 juta orang lebih. Karena itu, Suradi meramalkan, "Sumbangan sektor industri konstruksi di tahun ini akan lebih parah lagi." Untuk memecahkan persoalan penyediaan lapangan kerja itu, Suradi melihat sektor pertanian masih bisa banyak diharapkan. Di tahun 1982 lalu, sektor ini mampu menyerap 31,6 juta orang -- dan hampir 29 juta di antaranya bekerja di sektor informal. Priasmoro Prawiroardjo, Direktur Bank Perkembangan Asia dan Indo Consult, mendukung pendapat itu. "Ya, tinggal itu tumpuan harapan kira," katanya. Tapi supaya penyediaan lapangan kerjanya meluas, diperlukan diversifikasi. "Jadi, jangan hanya terpaku di pangan saja." Ia tidak percaya, sektor informal bisa menjadi katup penampung ledakan angkatan kerja, karena hakikatnya merupakan pengangguran tersamar yang terpaksa dimasuki pekerja daripada menganggur. "Sektor informal kini sebenarnya tidak bisa memberi penghidupan cukup kepada pelakunya," katanya. Eddy Herwanto, Laporan Budi K. dan Putut T.H. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus