Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara mencicit-cicit itu tiba-tiba meledakkan kegembiraan di ruang kendali kapal riset Baruna Jaya I. Tepuk tangan dan sorak-sorai pecah. Di atas kapal itu, yang tengah buang sauh pada posisi sekitar 100 kilometer di selatan Selat Sunda, Ridwan Djamaluddin bernapas lega saat dia bersama puluhan pegawai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mendengar suara mirip cicit ikan lumba-lumba. Itulah tanda misi mereka mendeteksi peringatan dini tsunami telah sukses. ”Kami berhasil menyelesaikan tahap paling kritis,” kata Kepala Balai Riset Kelautan BPPT itu kepada Tempo, Senin pekan lalu.
Tiga hari sebelumnya, Ridwan memimpin pemasangan pelampung suar khusus tsunami alias buoy di Selat Sunda. Tim BPPT juga menempatkan ocean bottom unit (OBU), sensor perekam data di bawah permukaan laut, pada kedalaman 2.050 meter.
Tahap paling kritis adalah apakah sensor di dasar samudra mampu mengirim data ke buoy yang mengambang di permukaan laut. Sensor akan mengirim data secara akustik. Maka, begitu suara mencicit terekam di ruang kendali Baruna Jaya, tahulah Ridwan bahwa buoy yang mereka rancang selama empat bulan bisa bekerja dengan baik.
Menurut dia, komunikasi dari dasar laut ke buoy amatlah penting. Sebab, dalam kondisi normal, OBU merekam data ketinggian permukaan air laut setiap 15 menit. Si buoy kemudian mengirim data itu ke stasiun penerima di darat melalui satelit, satu kali per hari.
Pada kondisi tak normal, terutama bila bakal terjadi tsunami, data dikirim tiap satu menit. Situasi ini muncul manakala permukaan air laut naik hingga 3 sentimeter. ”Setelah dianalisis, tiga menit ke-mudian kami mendapat informasi akan ada tsunami atau tidak,” kata Ridwan, yang kini memimpin Program Buoy Tsunami Indonesia. Dan inilah pertama kalinya Indonesia berhasil memasang alat pendeteksi tsunami.
Buoy itu dirancang oleh para ahli berbagai disiplin ilmu di BPPT. Ada pakar oseanografi, geologi, naval architect, kekuatan struktur, sistem elektronik, komunikasi, dan pemrosesan data. ”Ini program pertama kali yang diikuti begitu banyak unit di BPPT,” kata Kepala BPPT Said D. Jenie.
Said yakin sukses ini menjadi pijakan lebih lanjut untuk program berikutnya: membuat alat pendeteksi dini banjir, letusan gunung berapi, dan tanah longsor. Keberhasilan itu, Said menambahkan, membuat Indonesia masuk deretan negara yang mampu membuat buoy. Selama ini hanya Amerika Serikat, Jepang, dan sejumlah negara di Eropa yang memproduksi alat tersebut.
Proses pembuatan buoy yang memiliki diameter satu meter tersebut berlangsung dalam empat bulan. Ini relatif singkat dibanding negeri lain, yang butuh waktu puluhan tahun. ”Karena itu, kita namai buoy Sangkuriang,” kata Ridwan. Dalam legenda di Jawa Barat, Sangkuriang merupakan tokoh yang mampu membuat danau dalam semalam.
Si Sangkuriang juga andal. Ia mam-pu menerima data yang dipancarkan OBU dari kedalaman 2.050 meter di Selat Sunda. Sedangkan alat pendeteksi tsunami buatan Jerman dan Norwegia, hingga sejauh ini, gagal menerima sinyal dari OBU.
Tahun lalu, pemerintah Jerman menyumbangkan alat ini. Buoy tersebut diletakkan di perairan dekat Pulau Siberut, perbatasan Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Di saat yang sama, pemerintah Malaysia membeli buoy dari Norwegia untuk dipasang di perairan sebelah utara Pulau Sabang.
Hasilnya? Buoy buatan Jerman be-lum mampu berkomunikasi dengan OBU yang diletakkan pada kedalaman 2.000 meter. Buoy buatan Norwegia pun tak mampu berkontak dengan OBU di kedalaman 500 meter. Keunggulan dan kelemahan alat buatan luar negeri ini menjadi dasar pembuatan Sangkuriang.
BPPT terpacu membuat buoy setelah ditantang Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam pertemuan Juli tahun lalu, Kalla meminta BPPT membuat sistem peringatan dini tsunami dan tak hanya membeli dari luar, yang harganya Rp 4,5 miliar per unit.
Petinggi BPPT kemudian mengumpulkan 32 ahli yang menguasai domain litosfer bawah laut, hidrosfer, atmosfer, dan lain-lain. Mereka merancang dan membuat buoy serta OBU di laboratorium BPPT Serpong, Tangerang. Semua komponennya buatan dalam negeri. Hanya komponen sensor perekam tekanan bawah laut yang dibeli dari Amerika.
Desember lalu, mereka melakukan uji coba di perairan Teluk Semangko dan Selat Sunda. Meskipun diterpa ombak besar, buoy stabil secara hidrodinamika. Selain itu, Sangkuriang mampu mengirim data ke satelit telekomunikasi Inmarsat milik Norwegia. ”Stasiun penerima juga menerima dengan baik,” ujar Ridwan.
Sampai akhir tahun ini, BPPT berencana membuat lima unit buoy. Menurut Said, tiga di antaranya rancangan baru dan satu unit kerja sama dengan Amerika. Sistem peringatan dini tsunami Indonesia diharapkan selesai pada 2008. Sebanyak 22 unit buoy bakal terpasang di seluruh Indonesia. Jumlah ini termasuk sumbangan Jerman 10 unit dan Amerika dua unit.
Stasiun penerima data di darat yang beroperasi 24 jam berada di dua tempat: kantor Badan Meteorologi dan Geofisika dan BPPT lantai 20. ”Yang berwenang menyiarkan peringatan tsunami adalah BMG,” kata Ridwan. Peringatan itu disampaikan ke pejabat yang berwenang di pusat dan daerah serta media massa.
Buoy berteknologi canggih ini membutuhkan perawatan intensif, terutama karena rawan pencurian. Maret tahun lalu, buoy sumbangan Jerman sempat dicuri perompak dan dibawa ke perairan Sibolga. Untungnya, satelit mampu melacak dan aparat berhasil menemukannya.
Antena buoy yang sama juga sempat hilang. ”Oleh nelayan dibawa pulang untuk dijadikan gawang sepak bola,” kata Triwibowo, Kepala Laboratorium Uji Kekuatan Struktur BPPT. Dia berharap ada pengawasan terus-menerus terhadap alat ini.
Selain itu, buoy harus dirawat dari ancaman trintip atau fouling organism. Hewan mirip kerang ini sering menempel pada benda logam di laut. ”Jika jumlahnya banyak, bisa mengganggu sensor,” kata Subandono Diposaptono, Kepala Subdirektorat Mitigasi Lingkungan Pesisir Departemen Kelautan dan Perikanan.
Menurut Subandono, sistem peringatan dini berbasis kearifan lokal juga harus terus disosialisasi kepada masyarakat pesisir. Ini sudah dibuktikan warga Kabupaten Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam, yang terhindar dari tsunami 26 Desember 2004. Kala itu, hanya 6 nelayan yang meninggal dari 3.368 warga pesisir di Simeulue.
Masyarakat Pulau Simeulue ternyata memiliki tradisi smong. Dalam bahasa setempat, itu berarti imbauan agar segera berlari ke arah bukit karena sebentar lagi air laut naik atau pasang. Begitu bumi bergoyang dan air laut surut, warga ramai-ramai meneriakkan ”Smong... smong!” sambil berlari ke bukit.
Subandono mengusulkan sejumlah teknologi untuk menghadapi tsunami. Pertama, pembuatan sabuk hijau berupa penanaman pohon waru laut, ketapang, nyamplung, atau bakau. Kedua, mendirikan rumah bagi warga pesisir. Ketiga, membangun bukit artifisial di dekat pantai sebagai tempat evakuasi. ”Teknologi itu murah dan ramah lingkungan,” kata Subandono, yang secara berkala melakukan sosialisasi tsunami di daerah.
Untung Widyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo