Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR tengah hari 10 Februari 2009, sekitar 790 kilometer di atas Siberia, satelit Iridium 33 milik Amerika Serikat menabrak satelit komunikasi militer Rusia yang sudah tak aktif, Cosmos 2251. Insiden yang dipantau Jaringan Pemantauan Antariksa (SSN) milik Departemen Pertahanan Amerika itu lantas melacak dua awan serpihan besar yang mengandung sekitar 2.000 puing yang menambah kotor orbit bumi rendah (LEO) dan mengancam ratusan satelit lain.
Tabrakan itu adalah kejadian sampah antariksa terburuk kedua setelah dua tahun sebelumnya pemerintah Cina meledakkan satelit cuacanya yang sudah tua seberat 0,88 ton. Satelit Feng Yung 1C itu menjadi target uji tembak peluru kendali anti-satelit KT-2 dan berubah menjadi lebih dari 3.000 keping sampah antariksa.
Menurut SSN, yang melacak dan membuat katalog obyek buatan manusia yang meng-orbit bumi, kini jumlah benda itu mencapai 21 ribu item. Dari jumlah itu, baru sekitar 15 ribu yang dikatalogkan. SSN mampu melacak benda berdiameter 5 sentimeter (sebesar bola kasti) di orbit bumi rendah dan puing berdiameter 1 meter di orbit geostasioner (GEO). SSN menaksir ada lebih dari 500 ribu keping sampah antariksa seukuran gundu dan 166 juta serpihan lain berukuran 1 milimeter-1 sentimeter yang tak bisa terlacak.
Badan Antariksa Eropa (ESA) punya hitungan sedikit berbeda. Menurut laporan lingkungan antariksa tahunan ESA, sampai akhir 2017, ada 19.894 obyek buatan yang mengitari bumi. Bobot total benda-benda itu mencapai 8.134,7 ton atau lebih berat dibanding seluruh struktur logam Menara Eiffel di Paris.
Masih menurut laporan ESA, sejak era penjelajahan ruang angkasa dimulai dengan diluncurkannya Sputnik oleh Rusia pada 1957, ada sekitar 8.560 satelit yang telah ditempatkan di orbit bumi. Dari jumlah itu, sekitar 4.700 satelit masih berada di antariksa dan 1.800-an satelit masih berfungsi.
Jumlah satelit itu akan berlipat-lipat pada beberapa tahun mendatang karena kian mudah dan murahnya akses ke ruang angkasa. Tahun lalu saja, ada 400 satelit yang diluncurkan ke orbit oleh perusahaan, militer, institusi pemerintah, dan amatir. Hal itu, kata Ery Fitrianingsih, peneliti di Pusat Teknologi Satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, membuat sampah antariksa menjadi topik perhatian utama.
Ery, yang sedang menempuh program doktoral di Astrodynamics Group di Surrey Space Centre, University of Surrey, Inggris, menyebutkan banyak teknologi pembersihan sampah secara aktif (ADR), seperti electrodynamic tether, solar sail, harpun, jaring, dan laser. Sejumlah badan antariksa, antara lain NASA, ESA, dan Badan Antariksa Jepang (JAXA), membentuk Inter-Agency Space Debris Coordination Committee yang bertujuan mengontrol pertumbuhan sampah antariksa. “Misalnya dengan menerbitkan panduan desain dan operasi satelit agar sesedikit mungkin sampah antariksanya,” ujar Ery melalui surat elektronik.
Contoh terbaru upaya penanganan sampah antariksa itu, kata Ery, adalah langkah yang dibuat konsorsium penelitian Eropa yang dipimpin Surrey Space Centre pada 20 September lalu melalui proyek satelit RemoveDEBRIS. Satelit itu dilepaskan dari Stasiun Antariksa Internasional (ISS) pada 16 September lalu untuk melakukan percobaan pertama dari empat percobaan metode pembersihan antariksa dari sampah.
Direktur Surrey Space Centre Guglielmo Aglietti mengatakan sistem RemoveDEBRIS akan menebarkan sebuah jaring (net) ke puing dan menyeretnya keluar dari orbit menuju atmosfer hingga terbakar di sana. Jaring itu dapat menangkap sampah antariksa—termasuk satelit zombie—berdiameter hingga 10 meter. “Tes itu hanya menguji jaring, bukan bagian penarikannya,” ujar Aglietti kepada The Verge setelah percobaan yang sukses itu.
Uji coba teknologi ADR lain, Ery menambahkan, juga pernah dilakukan JAXA pada 2016 melalui proyek Kounotori Integrated Tether Experiment. “Teknologi ini menggunakan electrodynamic tether. Sayangnya, uji coba tersebut gagal,” tuturnya. Adapun teknologi-teknologi ADR lain, kata Ery, baru sampai tingkat ide dan konsep.
Dengan kecepatan berkelana lebih dari 28 ribu kilometer per jam, sampah antariksa menjadi ancaman serius bagi satelit dan wahana antariksa. Serpihan yang berukuran mungil sekalipun dapat membahayakan misi apabila sampai mengenai komponen vital. Serpihan berukuran di atas 10 sentimeter, Ery menjelaskan, bisa merusak satelit yang sedang beroperasi. “Satelit itu bisa hancur dan menghasilkan serpihan lebih lanjut, yang dikenal dengan istilah Kessler syndrome,” ucapnya.
Ery mengatakan, selain tidak efisien, mustahil membersihkan antariksa dari semua sampah. “Untuk potongan yang berukuran cukup besar yang dapat dideteksi oleh sensor kemungkinan besar nantinya dapat dibersihkan dengan teknologi ADR,” katanya. Namun, dia menambahkan, ada hal lain yang bisa dilakukan, yakni mendesain satelit LEO sedemikian rupa sehingga setelah habis masa operasinya bisa diturunkan orbitnya hingga terbakar di atmosfer.
DODY HIDAYAT (SURREY.AC.UK, ESA.INT, NASA.GOV, NATURE.COM, POPULARMECHANICS.COM)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo