Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepak bola sering dijadikan acuan dalam penjelasan politik mutakhir di Indonesia. Subhan menyuguhkan kolom berjudul “Politik Musuh Bebuyutan” di Kompas, 30 Juni 2018. Judul itu meniru kebiasaan para wartawan dalam memberitakan sepak bola. Ungkapan “musuh bebuyutan” sering digunakan dalam berita untuk membarakan klub atau tim nasional sebelum pertandingan. Di sepak bola, musuh bebuyutan lazim berlaku. Subhan tak ingin musuh bebuyutan menular ke lakon demokrasi di Indonesia. Ia justru mengingatkan bahwa politik itu bukan soal musuh bebuyutan.
Mengapa di kalangan wartawan terjadi mufakat pilihan ungkapan dalam pemberitaan sepak bola? Kita disuguhi ungkapan-ungkapan ganas, puitis, seram, dan lucu. Kehadiran ungkapan-ungkapan itu dipengaruhi selera kebahasaan. Berita sepak bola tanpa ungkapan mengejutkan dan membuat penasaran tentu sulit memikat pembaca.
Para wartawan mendapat ungkap-an “musuh bebuyutan” dari kamus, komik, film, peribahasa, obrolan, atau novel? Para pembaca mungkin sudah merasakan dampak penggunaan ungkapan “musuh bebuyutan”. Di lapangan, pertandingan sepak bola ibarat pembalasan dendam atau usaha mengalahkan untuk menuntaskan marah. Menang itu capaian mutlak. Segala hal harus dikerahkan agar menang. Kalah bakal makin memalukan dan membuat sejarah suram berkepanjangan. Pilihan ungkapan “musuh bebuyutan” seperti menularkan ajakan membalas dendam atau menumpahkan marah setelah memiliki ingatan pada kekalahan.
Pengertian “musuh” gampang dijumpai di pelbagai kamus. Kita ingin mencari pengertian “buyut” sebelum kata itu mengalami pembentukan menjadi “bebuyutan”. D. Iken dan E. Harahap dalam Kitab Arti Logat Melajoe (1940) mengartikan “boejoet” sebagai “gemeletoek, gementar, gentar, ketar oleh soedah toea” atau “mojang laki-laki dan perempoean”.
Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) mengartikan “bujut” sebagai “orang tua mojang” atau “tempat jang keramat”. Poerwadarminta tak memberikan keterangan asal kata. Kita membuka Bausastra Jawa-Indonesia (1981) susunan S. Prawiroatmodjo. “Buyut” berarti “nenek moyang”. Di bawah lema itu, kita temukan contoh penggunaan untuk mendapat arti berbeda. Satru bebuyutan berarti “seteru turun-temurun”. Barangkali satru bebuyutan itu dipilih para wartawan dengan perubahan kecil. Satru mengandung arti “musuh”. Satru diganti dengan “musuh”. Ungkapan “musuh bebuyutan” setara arti dengan satru bebuyutan. Darmasoetjipta dalam Kamus Peribahasa Jawa (1985) menulis contoh: satru bebuyutan berarti “berseteru dengan segenap anak cucu berturun-turun”.
Ungkapan laris “musuh bebuyutan” dalam pemberitaan sepak bola memiliki acuan ke bahasa Jawa. Kita ingin memastikan lagi sumber penemuan atau pengolahan ungkapan dengan membuka kamus-kamus. Abdul Chaer dalam Kamus Idiom Bahasa Indonesia (1984) tak mencantumkan “musuh bebuyutan”. Abdul Chaer cuma memuat “musuh dalam selimut” dengan pengertian musuh yang ada dalam lingkungan sendiri. “Musuh bebuyutan” belum berhak masuk bukunya atau Abdul Chaer memang belum mengetahui ungkapan itu khas dalam bahasa Jawa. Kamus Peribahasa (1991) susunan Sarwono Pusposaputro juga tak memuat “musuh bebuyutan”. Pembaca cuma menemukan dua contoh: “musuh dalam selimut” dan “musuh jangan dicari-cari, bersua jangan dielakkan”.
Kita menduga pilihan “musuh bebuyutan” dipengaruhi selera kebahasaan wartawan. Pengaruh dari bahasa Jawa tampak meski ada sedikit pengolahan. Dari satru bebuyutan menjadi “musuh bebuyutan”. Penulisan “bebuyutan” tak dimiringkan karena barangkali sudah dianggap lazim dalam pemahaman bahasa Indonesia. “Buyut” memang sudah masuk kamus bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) juga sudah memuat bentukan kata “bebuyutan”, yang berarti “turun-menurun sampai ke anak cucu” atau “lama sekali”.
Bahasa dalam berita sepak bola selalu memberikan kejut-an. Pembaca mungkin penasaran atau memiliki kesan-kesan aneh saat melacak alur pengertian dari pilihan pelbagai ungkapan. “Musuh bebuyutan” telanjur dipilih para wartawan dalam menulis berita. Kita berhak menerima atau menolak. Pengertian bahwa musuh itu turun-temurun sampai ke anak-cucu agak menimbulkan sejumput sesalan. Dendam seperti terwariskan. Permusuhan tiada ujung. Kita memberi maklum saja saat ungkapan itu dimunculkan dalam berita sepak bola, bukan berita mengenai sosial, politik, dan pendidikan.
KUNCEN BILIK LITERASI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo