Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Siksa di Atas Kubur

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyerahkan hasil penyelidikan peristiwa Rumoh Geudong di Aceh ke Kejaksaan Agung. Tentara diduga terlibat pelanggaran hak asasi dalam operasi militer yang berlangsung pada 1989-1998 itu. Masih ada teror.

28 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penangkapan penduduk desa di Aceh oleh Tentara Nasional Indonesia, 1991.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUT saja dia Fatinah. Perempuan itu meminta nama aslinya dikaburkan demi alasan keselamatan setelah beberapa hari lalu suara di ujung telepon selulernya menebar ancaman.

Dalam dua pekan terakhir, panggilan masuk ke teleponnya dari nomor tak dikenal. Sekali Fatinah menjawab panggilan, suara pria di ujung telepon meminta dia menyerahkan daftar nama korban pelanggaran hak asasi manusia dalam peristiwa Rumoh Geudong di Aceh. ”Jika tidak menyerahkan daftar itu, kamu akan berurusan dengan saya,” kata Fatinah menirukan ucapan si penelepon, Selasa pekan lalu.

Setelah peristiwa Rumoh Geudong berakhir, Fatinah membantu menyembuhkan trauma korban. Ia pun turut membukakan jalan bagi sejumlah lembaga, termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang bermaksud menyelidiki peristiwa Rumoh Geudong.

Gara-gara intimidasi tersebut, Fatinah mencari suaka ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. ”Biasanya ancaman itu cuma dialamatkan ke saya, tapi sekarang sudah mulai mencari-cari korban,” ujarnya.

Fatinah mendapat intimidasi setelah Komnas HAM mengirimkan berkas penyelidikan kasus Rumoh Geudong ke Kejaksaan Agung pada 28 Agustus lalu. Salah satu kesimpulan Komnas HAM adalah pasukan elite Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Komando Pasukan Khusus, diduga terlibat dalam operasi militer bersandi Jaring Merah itu.

Peristiwa Rumoh Geudong terjadi ketika pemerintah menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer pada 1989-1998. Lewat Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Presiden Soeharto waktu itu menerjunkan Kopassus untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang dideklarasikan Tengku Muhammad Hasan di Tiro atau Hasan Tiro pada 1976.

Selama operasi militer, aparat mendirikan pos-pos taktis untuk memantau pergerakan pasukan GAM dan menginterogasi penduduk. Rumoh Geudong di Glumpang Tiga, Pidie, diyakini sebagai pos taktis sekaligus kamp konsentrasi terbesar saat itu. Komnas HAM memperkirakan ratusan orang tewas dan pernah disiksa di Rumoh Geudong.

Salah seorang korban selamat adalah Raihana—juga bukan nama asli. Perempuan 60 tahun ini salah seorang yang didampingi Fatinah. Raihana bercerita, ia sedang berkebun bersama anaknya ketika sepasukan tentara menangkapnya suatu hari pada 1990. Tentara menuduh suaminya bergabung dengan GAM. Raihana digelandang ke Rumoh Geudong. Anaknya dititipkan tentara kepada salah seorang kerabat.

Setiba di Rumoh Geudong, Raihana melihat sesosok mayat terbujur kaku di anjungan rumah. Jenazah itu ditutupi daun pisang dan kelapa. ”Saya melihat kakinya. Firasat saya mengatakan itu suami saya,” kata Raihana, seperti diceritakan ulang oleh penerjemah, Rafia, yang namanya juga disamarkan, karena keterbatasan berbahasa Indonesia.

Raihana yang saat itu sedang hamil delapan bulan langsung didudukkan di kursi interogasi. Ia dicecar soal keberadaan suaminya.

”Di mana suamimu?” ujar salah satu tentara seperti ditirukan Raihana.

”Saya tak tahu,” Raihana menjawab. ”Biasanya ia sudah di kebun pada siang hari, tapi hari ini ia tak muncul.”

Tentara kemudian melucuti pakaian Raihana. Ia disuruh berdiri di depan cermin dan memandangi tubuhnya yang telanjang. Salah seorang tentara memasangkan topi koboi ke kepala Raihana. Topi hanya sebentar bertengger di kepala. Tentara tadi mencopotnya, lalu menyiramkan bensin ke rambut Raihana sembari mengancam akan membakarnya bila tak membeberkan keberadaan sang suami.

Urung dibakar, Raihana diarak dari lantai dasar Rumoh Geudong ke lantai dua. Dua tentara melilitkan dua helai kain yang telah digulung ke leher Raihana yang masih bugil. Satu simpul ke arah depan, lainnya ke belakang. ”Kalau saya berjalan terlalu cepat, tentara menarik kain itu ke belakang. Sebaliknya, bila jalannya lambat, simpul depan yang ditarik,” kata Raihana.

Di loteng, Raihana sempat digantung dengan gulungan kain itu. Sebelum ia kehabisan napas, tentara menurunkannya ke lantai. Raihana tetap bungkam. Dalam keadaan lemas, ia dibaringkan di lantai kayu. Seorang tentara lalu memasukkan sepucuk pistol ke mulutnya. ”Tentara juga mengancam akan memecahkan botol kaca ke kepala saya, tapi tidak jadi,” ujar Raihana, ”padahal saya sudah memejamkan mata dan berdoa dalam hati.”

Di akhir penyiksaan, tentara menyeret tubuh Raihana ke arah jenazah yang tertutup daun, yang ia lihat ketika pertama kali tiba di Rumoh Geudong. Tentara mengatakan bahwa itu mayat suaminya yang dieksekusi sebelum Raihana ditangkap di kebun. ”Tentara memberi sabun dan menyuruh saya mandi,” tutur Raihana.

Tentara melepaskan Raihana 18 jam kemudian. Setiba Raihana di rumah, anaknya yang dititipkan ke kerabat sudah menunggu. Sedangkan jenazah suaminya baru saja dikubur oleh tetangga. Rupanya, pada malam ketika Raihana masih ditawan, tentara mengantarkan jasad sang suami ke rumah.

Direktur Imparsial Al Araf (tengah) dan Komisioner Komnas HAM Choirul Anam (kanan) dalam diskusi peristiwa Rumoh Geudong, Aceh, di Jakarta, 9 September 2018 (bawah).

Penyiksaan di Rumoh Geudong juga dialami Salwa Tsabita, yang namanya juga disamarkan. Mulanya ia ditangkap dan diterungku di penjara Lamlo, Pidie. Tuduhannya sama seperti Raihana: suaminya bergabung dengan GAM. Dari Lamlo, Salwa sempat menghuni pos pemeriksaan di Rancung, Lhokseumawe. Setelah itu, ia dibawa ke Rumoh Geudong. ”Saya mengalami beberapa jenis penyiksaan,” kata Salwa, yang umurnya di awal 60-an tahun.

Salwa mengatakan tentara mencambuknya dengan potongan tali kabel. Cambuk itu tak hanya menghajar betisnya, tapi juga sekujur tubuh. ”Kemaluan dan kuku kaki juga disetrum,” ujarnya. ”Tentara menyiksa sambil menyetel musik dangdut keras-keras.”

Selama tiga bulan di Rumoh Geudong, menurut Salwa, dia sering disuruh tentara menjadi juru masak. Salah seorang tentara sering menggertak dan mewanti-wantinya agar tak nekat membubuhkan racun pada masakan. Salwa akhirnya dilepas dengan status wajib lapor ke pos itu. Ia baru betul-betul bebas setelah suaminya dinyatakan tewas pada 2001.

Komisioner Komnas HAM yang juga Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat di Aceh, Mohammad Choirul Anam, mengatakan lembaganya mengantongi bukti kuat untuk meminta pertanggungjawaban Kopassus dalam kasus Rumoh Geudong. ”Kami mendapat keterangan dari salah satu mantan Komandan Resor Militer Lilawangsa,” kata Anam. Saat operasi militer, Komandan Korem adalah pelaksana di lapangan.

Menurut Anam, operasi militer di Aceh terbagi dalam empat sektor. Setiap sektor memiliki pos taktis yang jumlahnya berbeda-beda. Sektor Pidie adalah daerah dengan pos terbanyak, yakni 18 unit.

Pos-pos tersebut digunakan aparat untuk menyekap, menginterogasi, menyiksa, dan mengeksekusi seseorang yang diduga terlibat GAM. Lima puluh tiga korban yang diperiksa Komnas HAM bercerita, selama proses interogasi, mereka mengalami beragam model penyiksaan.

Dari penuturan korban selama penyelidikan, mereka pernah disetrum, diinjak, disundut rokok, digantung, dipaksa berhubungan badan, hingga dikubur hidup-hidup. Para perempuan ditelanjangi, diperkosa, dan puting payudaranya dipotong. Ada juga yang dipaksa mengaborsi kandungan hingga organ seksualnya dirusak. ”Alat penyiksaan di setiap pos sama. Artinya, ini sistematis,” ujar Anam.

Korban yang akhirnya dilepaskan dikenai status wajib lapor ke pos taktis yang telah ditentukan. Ketika pemerintah mencabut status operasi militer di Aceh, para korban yang selamat diberi surat keterangan bahwa mereka sudah pernah diinterogasi dan dibebaskan. ”Semacam surat bersih pada era pemberantasan simpatisan Partai Komunis Indonesia,” kata Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma, yang juga ikut meneliti kasus Rumoh Geudong.

Kopassus juga diduga menggunakan tenaga pembantu yang disebut cuak sebagai informan. Cuak yang memberi informasi kepada tentara soal keterlibatan seseorang dalam kelompok GAM. Feri menjelaskan, cuak sering sembrono menyuplai informasi kepada tentara. Menurut dia, ada korban yang masuk Rumoh Geudong hanya karena menolak lamaran si cuak, bukan karena terlibat GAM. ”Banyak korban yang salah tangkap,” ujar Feri.

Keji di Kamp Konsentrasi

Menurut Feri, penyiksaan di Rumoh Geudong berlangsung dalam rentang waktu yang panjang. Ini diketahui dari sejumlah korban yang ditemui Feri, yang mengenal satu sama lain karena disekap dalam waktu yang hampir bersamaan selama berbulan-bulan. ”Mereka juga sama-sama hafal kebiasaan tentara memutar radio kencang-kencang saat penyiksaan,” ucapnya.

Kepala Penerangan Kopassus Letnan Kolonel Denden Sumarlin mengatakan korps-nya tak lagi menempatkan pasukan di Aceh. Ia menyatakan anggota Kopassus tak melakukan intimidasi terhadap pendamping dan korban Rumoh Geudong belakangan ini seperti yang dialami Fatinah. ”Tak ada, kami tak ada lagi di Aceh,” kata Denden ketika berkunjung ke kantor Tempo, Rabu pekan lalu.

Kepala Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia Mayor Jenderal Santos Gunawan Mantondang menjelaskan, institusinya belum memperoleh hasil penyelidikan kasus Rumoh Geudong di Aceh. TNI ingin mendalami hasil penyelidikan Komnas HAM. ”TNI sangat berkomitmen dalam penegakan hukum,” ujarnya.

RAYMUNDUS RIKANG

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus