Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Observatorium Bosscha tahun ini genap berusia seabad sejak diresmikan pada 1 Januari 1923. Keberadaannya kini di dataran tinggi Bandung Utara semakin terancam oleh cahaya lampu perkotaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dengan kondisi Observatorium Bosscha yang sudah mengalami polusi cahaya cukup parah dari Kota Bandung, maka tentu riset-riset astronominya tidak bisa lagi seoptimal dulu,” kata Thomas Djamaluddin, peneliti utama astronomi dan astrofisika di Pusat Riset Antariksa, Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut lulusan astronomi Institut Teknologi Bandung itu, untuk pengamatan dan pemotretan galaksi serta obyek-obyek langit yang redup lewat teropong sudah terganggu cahaya langit terang. Masalah polusi cahaya itu telah muncul sejak 1980-an dan semakin cepat pada 1990-an.
“Sekarang ini dapat disebut sudah sangat parah karena dari observatorium melihat ke arah Bandung itu sudah terang sekali,” ujarnya Kamis, 26 Januari 2023. Mantan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) ini menambahkan, polusi cahaya dari kota besar sulit diatasi, seperti lampu-lampu sorot untuk papan reklame.
Baca juga: Begini Kepala Observatorium Bosscha Melihat Devitalisasi Planetarium Jakarta oleh Revitalisasi TIM
Karena menganggap kondisi Observatorium Bosscha memburuk, tim dari Astronomi ITB pada awal 2000-an melakukan survei ke berbagai tempat di Indonesia. Tujuannya untuk lokasi baru tempat peneropongan bintang. “Akhirnya disimpulkan tempat terbaik di Gunung Timau, Kupang, Nusa Tenggara Timur,” kata Thomas.
Hasil survei tim ITB itu kemudian itu diusulkan ke LAPAN. Saat itu, menjabat sebagai deputi sains di lembaga itu pada 2013, Thomas mengatakan usulan bisa dilaksanakan dan disiapkan anggarannya oleh LAPAN untuk membangun Observatorium Nasional.
Menurutnya, polusi cahaya di banyak tempat mengganggu observatorium. “Jadi supaya riset astronomi ini bisa terus berjalan ya harus ada observatorium pengganti,” kata dia. Rencana itu, kata Thomas, selaras dengan program pemerintah untuk mempercepat pembangunan kawasan timur Indonesia sehingga Badan Perencanaan Pembangunan Nasiona menyetujui pembangunan Observatorium Nasional Timau.
Petugas mengoperasikan teleskop atau teropong bintang di Observatorium Bosscha, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, 16 Januari 2023. Observatorium Bosscha diresmikan pada 1 Januari 1923 atas prakarsa K.A.R Bosscha bersama Nederlandsch - Indische Sterrenkundige Vereeniging (Perhimpunan Bintang Hindia Belanda). TEMPO/Prima Mulia
Ketika menjadi Kepala LAPAN pada 2014, Thomas memasukkan usulan tersebut ke rencana strategis 2014-2019. Persetujuan anggaran muncul pada 2016 untuk pembangunan Observatorium Timau selama tiga tahun 2017-2019. “Seingat saya anggarannya Rp 100 miliar per tahun jadi waktu itu ditargetkan Rp 300 miliar selama tiga tahun,” kata dia.
Pembangunan observatorium baru itu sempat terkendala infrastruktur jalan yang belum selesai pada 2019. Setelah itu pandemi pada 2020-2021, hingga dilanjutkan lagi pada 2022. Selain ITB dan LAPAN yang kemudian bergabung di BRIN, pembangunan Observatorium Timau melibatkan Universitas Nusa Cendana, Pemerintah Kabupaten Kupang, dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur serta kementerian terkait. “Tahun ini ditargetkan Observatorium Nasional bisa diresmikan,” ujarnya.
Thomas mengatakan fasilitas itu nantinya bukan milik BRIN sehingga bisa dimanfaatkan oleh peneliti astronomi dan perguruan tinggi. Risetnya pun akan berkolaborasi. Selain teleskop utama yang berdiameter 3,8 meter, ada dua sistem kamera dan beberapa teleskop kecil serta teleskop radio.