Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Semen Kerang dari Pantai Kenjeran

Tiga mahasiswa Surabaya menemukan pengganti pasir dalam campuran semen: kulit kerang. Menambah kuat adonan sekaligus mengurangi pencemaran lingkungan.

11 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUMPUKAN kulit kerang yang berserakan di Pantai Kenjeran, Surabaya, menarik perhatian tiga anak muda itu. Melupakan tujuan melepas penat di sela jadwal kuliah, mereka malah larut dalam keseriusan. Ketiganya hakulyakin cangkang yang dagingnya sudah masuk mangkuk lontong mi itu tidak ditakdirkan sekadar mengotori pantai. ”Pasti ada gunanya,” ujar Helda Yulia Sari, 21 tahun, mahasiswi Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

Bersama Deny Evianto dan Prayogi Pandega, segenggam kerang diboyong ke laboratorium di kampus, yang berjarak 3 kilometeran dari pantai itu. Dari kerja di laboratorium, mereka tahu kulit kerang terdiri atas kalsium oksida (CaO) dan silika (SiO2). ”Persis bahan dasar semen,” ujar Deny.

Trio mahasiswa semester VI itu pun memutar otak untuk memanfaatkan kulit kerang sebagai pengganti pasir. Karya ilmiah tentang kandungan dan pemanfaatan limbah itu langsung mereka bikin. Temuan itu mengantar mereka ke posisi 12 besar di Holcim Innovation Award akhir tahun lalu. Hadiahnya, satu juta rupiah, digunakan untuk membuat beton dari bahan kulit kerang.

Prosesnya sederhana. Cangkang kerang darah (Anadara granosa) dikeruk zonder fulus dari Kenjeran, sekitar 2 kilometer dari kampus ITS. Mereka menghaluskannya dengan mesin tumbuk sampai ukuran 0,2 milimeter, sehingga terbentuk pasir. ”Makin halus, daya rekatnya makin kuat,” ujar dosen pembimbing mereka, Tavio.

Pasir itu siap dikawinkan dengan semen dan air untuk melahirkan mortar. Mortar adalah bahan yang terwujud dari pencampuran semen, air, dan pasir. Biasanya digunakan sebagai plester dinding. Deny cs mengklaim campuran mereka, dengan komposisi 80 persen semen dan 20 persen pasir kerang, menghasilkan mortar berkekuatan 28,24 megapascal, di atas mortar dari semen dan pasir, yang kekuatannya 22,64 megapascal.

Temuan itu diaplikasikan dengan membuat porous concrete, beton berongga yang digunakan sebagai konblok di taman. Menurut Deny, konblok ini memungkinkan air hujan terserap tanah, sehingga mengurangi banjir.

Beton ciptaan mereka ditetapkan sebagai jawara utama dalam Holcim Innovation bulan lalu. Mereka mengungguli inovasi lain, mulai toilet keliling, pipa PVC penyejuk udara, sampai jamban apung. Temuan mereka dianggap paling aplikatif. ”Mau produksi besok pun bisa,” kata Manajer Marketing Teknik PT Holcim Indonesia Tbk Ivano Zandra, anggota panitia ajang itu. Trio ITS ini merupakan orang pertama yang menciptakan konblok dari beton berongga. Lebih menarik lagi, dia melanjutkan, pasir diganti dengan kerang.

Pemanfaatan limbah berdampak positif bagi lingkungan karena bisa mengurangi pencemaran. Tidak seperti kulit kerang besar yang dimanfaatkan sebagai produk kerajinan, kulit kerang kecil dibiarkan mangkrak oleh nelayan. Di Cilincing, Jakarta Utara, misalnya, kulit kerang menumpuk di tepi pantai dekat muara Cakung Drain, dan, bersama sampah serta lumpur, menyebabkan pendangkalan. Akibatnya, sebagian jalur perahu di dekat Tempat Pelelangan Ikan Cilincing tertutup.

Meski berkomposisi kimia sama, kulit kerang belum bisa digunakan sebagai pengganti semen. Penyebabnya, ujar Deny, tidak semua unsur kulit kerang bisa bereaksi seperti semen, yang bersifat mengikat. Selain itu, mereka gagal menumbuk kulit kerang sehalus semen, yang lolos ayakan nomor 325. Tumbukan paling halus hanya lolos ayakan 200. Pekan depan mereka akan membawa pasir kulit kerang ke sebuah pabrik semen di Jawa Timur untuk diperhalus, lalu dibakar dengan suhu yang sama dengan semen, 1.400 derajat Celsius. ”Agar terlihat apa bisa bereaksi seperti semen,” katanya.

Yang pasti, kulit kerang bisa jadi bahan alternatif pengganti pasir, terutama di daerah yang kualitas pasirnya kurang bagus, seperti di Surabaya dan sekitarnya. Di sana, ujar Ivano, kandungan lumpur dalam pasir melewati batas maksimal penggunaan untuk bangunan, yakni 5 persen. Kebanyakan lumpur membikin adonan tidak solid. Kelebihan lain mengganti pasir dengan kulit kerang yang kaya silika dan kapur adalah menghemat semen. ”Bisa sampai 20 persen,” kata Deny.

Namun Holcim, perusahaan dengan 20 pabrik di Indonesia, tak berencana menjadikan kulit kerang sebagai bahan baku produk mereka. ”Jumlahnya jauh dari cukup,” kata Ivano. Belum ada angka pasti jumlah limbah kerang. Di Surabaya, ujar Deny, sekitar 1.000 ton per tahun. Padahal kebutuhan pasir bulanan Holcim 40 kali lipatnya. Ivano mengatakan temuan baru ini lebih cocok diterapkan pada industri kecil-menengah, seperti pembuat konblok.

Reza M., Fathurrohman Taufiq (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus