Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kisah kamar sumpek

Sutradara: teguh karya skenario: slamet rahardjo pemain: christine hakim, slamet rahardjo, maruli sitompul resensi oleh: isma sawitri. (fl)

14 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI BALIK KELAMBU Pemain: Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Maruli Sitompul, Nungki, Rima Melati Skenario: Slamet Rahardjo, Teguh Karya Sutradara: Teguh Karya. FILM ini seakan berpacu membangun suasana. Kamera bergerak dari kamar tidur sumpek ke serambi, dari kantor bergeser ke warung Tegal, akhirnya kembali ke kamar tidur. Tidak jauh-jauh. Imaji diramu oleh tangis bayi, berita perang Timur Tengah, ribut kecil rebutan air di pagi hari. Dan ada protes Leila (Christine Hakim) menyuruh para muda berjoget saja ke lapangan Monas, bukan di pekarangan rumah. Atau amarah abah (Maruli Sitompul), bapak mertua yang tiap kali mengingatkan Hasan, menantunya, supaya sembahyang. Semua imperatif. Semua luapan emosi tersebut keluar dari gambar-gambar yang amat merampas perhatian, menyatu dengan apik dalam irama yang terpelihara ketat. Ekspresif. Mencoba berkisah tentang konflik menantu lawan bapak mertua (jangan salah bukan ibu mertua), tema klasik yang disajikan Teguh masih tetap relevan dengan kehidupan rumah-tangga keluarga masa kini. Sindir-menyindir sudah rutin yang bisa saja tiap kali meruncing. Misalnya, bila menantu abah yang kaya datang berkunjung bawa oleh-oleh dan Singapura. Atau manakala abah berulang tahun, diberi kado tv berwarna. Sedangkan Leila di luar pengetahuan suaminya, Hasan (Slamet Rahardjo), terpaksa menjual kalung agar dapat menghadiahkan pipa. Hal-hal kecil yang terlalu biasa, hampir-hampir tidak penting, namun mencerminkan sikap memihak abah pada menantu makmur. Sedangkan Hasan yang hidup menumpang di mertua dan serba kekurangan itu semakin merasa dipojokkan. Klimaks terjadi ketika Leila nekat coba meminum obat tidur. Untung sempat digagalkan Rosna, kakaknya, yang entah mengapa masih berstatus perawan tua. Karena ini, Hasan yang beberapa hari meninggalkan rumah, lantaran tidak tahan mendengar sindiran, segera pulang. Sekalian memaklumkan perang. "Jika terjadi apa-apa dengan Leila, rumah ini saya bakar!," ancamnya. Seperti umumnya tema klasik, Teguh tidak lupa memunculkan orang ketiga, janda muda elok rupa (Nungki Kusumaningtias). Peluang untuk kehadirannya tersedia saat Hasan sedang kalut. Pertama karena ia minta berhenti dari pekerjaannya di sebuah perusahaan angkutan. Kedua, karena ia diam-diam jadi sopir taksi. Kedua hal tersebut tidak dikatakannya pada Leila, termasuk hubungannya dengan janda itu, tentu saja. Bagaikan pencerita yang netral, Teguh menyorot tokoh-tokohnya dari jarak tertentu. Informasi tentang mereka diberi sekadarnya saja, baik mengenai tokoh utama maupun tokoh lainnya. Lewat dialog diketahui Hasan itu berasal dari keluarga miskin, tidak punya apa-apa, namun sempat menamatkan studi di perguruan tinggi. Juga Leila yang meninggalkan pekerjaan tanpa motivasi jelas, kecuali kewajiban sebagai ibu rumahtangga. Atau tokoh abah, justru lebih menimbulkan tanda-tanya, yang taat beribadat namun sangat tidak bijaksana. Cenderung sok gengsi, profesi sopir taksi yang dipilih Hasan diterimanya sebagai malapetaka. Dan semua ini terungkap hanya lewat dialog, hingga pengenalan terhadap tokoh-tokoh di dunia yang kemelut itu, tertahan di sana. Memang ada beberapa cetusan yang berusaha mencerminkan siapa sebenarnya mereka. Misalnya, tatkala dokter bertanya kepada Leila, "Kehidupan seks kalian bagaimana?" Penonton terkejut mungkin, tapi Leila tenang-tenang saja. Juga sindiran serupa ini: "Mengapa jalan-jalan ke luar negeri, bukan ke Pekalongan. Mengapa mesti belanja ke Singapura, mengapa tidak ke Tegal saja." Tanya yang tidak bertanya ini ditujukan Hasan pada istrinya. Atau gerutu abah. "Mereka boleh saja jadi sopir taksi. Mereka kan tidak kawin dengan anakku!" Terkesan di sini bahwa kecaman bapak mertua terlalu frontal, tidak begitu lazim dalam keluarga Indonesia. Sikap terbuka dokter juga rasanya kok tidak biasa. Begitu juga reaksi Leila. Dan sindiran Hasan pun terlalu klise. Film ini lemah dalam cerita. Tapi penyajiannya boleh dibilang istimewa. Gambar-gambar mendominasi layar bagaikan arus deras. Dibantu oleh akting (hampir semua pemain) dan editing yang baik (George Kamarullah), penonton dihadapkan pada situasi yang sedemikian nyata dan sedemikian wajar hingga mereka terhenyak. Lama sesudah film selesai. Banyak sebenarnya yang ingin diutarakan Teguh Karya. Pergulatan hidup Hasan dan Leila. Usaha mereka menjawab tantangan dan menangkis bila dipojokkan. Kompromi Leila dalam bentuk pipa hadiah. Juga penindasan yang terpaksa dilakukan terhadap anak yang lebih senang tv warna ketimbang tv hitam putih di rumah sendiri. Lalu ketegaran Hasan yang menentang atasan tapi kemudian mengekses dalam petualangan dengan seorang janda. Dan akhirnya ditutup dengan kepedihan seorang laki-laki yang berhasil memperjuangkan rumah kontrakan tapi di saat bersamaan hampir saja kehilangan istrinya. Inilah sebuah cerita amat sederhana, yang kekurangan nuansa jiwa, namun tidak sampai menjemukan. Sebaliknya ia tampil sebagai mosaik kehidupan manusia kota, yang meski lemah dalam informasi dan motivasi jitu menawarkan problema sosial masa kini. Pada hakikatnya sutradara bukan memfilmkan sebuah drama rumahtangga tapi mendramatisasi cekcok keluarga. Yang penting bukan lagi siapa dan mengapa, tapi bagaimana. Untuk ini Teguh Karya telah mengembangkan kemahirannya menggunakan bahasa film sampai tingkat pengucapan artistik yang pantas dipujikan. Gambar-gambarnya melontarkan makna dan sesuatu -- entah apa -- yang bisa bebas ditafsirkan. Dijiwai oleh sikapnya yang anti-hero, Teguh seakan mengajak orang untuk lebih jujur melihat kenyataan. Dan menemukan sendiri apa yang ada di baliknya. Isma Sawitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus