DI BALIK KELAMBU
Pemain: Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Maruli Sitompul,
Nungki, Rima Melati Skenario: Slamet Rahardjo, Teguh Karya
Sutradara: Teguh Karya.
FILM ini seakan berpacu membangun suasana. Kamera bergerak dari
kamar tidur sumpek ke serambi, dari kantor bergeser ke warung
Tegal, akhirnya kembali ke kamar tidur. Tidak jauh-jauh.
Imaji diramu oleh tangis bayi, berita perang Timur Tengah, ribut
kecil rebutan air di pagi hari. Dan ada protes Leila (Christine
Hakim) menyuruh para muda berjoget saja ke lapangan Monas, bukan
di pekarangan rumah. Atau amarah abah (Maruli Sitompul), bapak
mertua yang tiap kali mengingatkan Hasan, menantunya, supaya
sembahyang. Semua imperatif.
Semua luapan emosi tersebut keluar dari gambar-gambar yang amat
merampas perhatian, menyatu dengan apik dalam irama yang
terpelihara ketat. Ekspresif.
Mencoba berkisah tentang konflik menantu lawan bapak mertua
(jangan salah bukan ibu mertua), tema klasik yang disajikan
Teguh masih tetap relevan dengan kehidupan rumah-tangga keluarga
masa kini. Sindir-menyindir sudah rutin yang bisa saja tiap kali
meruncing. Misalnya, bila menantu abah yang kaya datang
berkunjung bawa oleh-oleh dan Singapura. Atau manakala abah
berulang tahun, diberi kado tv berwarna. Sedangkan Leila di luar
pengetahuan suaminya, Hasan (Slamet Rahardjo), terpaksa menjual
kalung agar dapat menghadiahkan pipa. Hal-hal kecil yang terlalu
biasa, hampir-hampir tidak penting, namun mencerminkan sikap
memihak abah pada menantu makmur. Sedangkan Hasan yang hidup
menumpang di mertua dan serba kekurangan itu semakin merasa
dipojokkan.
Klimaks terjadi ketika Leila nekat coba meminum obat tidur.
Untung sempat digagalkan Rosna, kakaknya, yang entah mengapa
masih berstatus perawan tua. Karena ini, Hasan yang beberapa
hari meninggalkan rumah, lantaran tidak tahan mendengar
sindiran, segera pulang. Sekalian memaklumkan perang. "Jika
terjadi apa-apa dengan Leila, rumah ini saya bakar!," ancamnya.
Seperti umumnya tema klasik, Teguh tidak lupa memunculkan orang
ketiga, janda muda elok rupa (Nungki Kusumaningtias). Peluang
untuk kehadirannya tersedia saat Hasan sedang kalut. Pertama
karena ia minta berhenti dari pekerjaannya di sebuah perusahaan
angkutan. Kedua, karena ia diam-diam jadi sopir taksi. Kedua hal
tersebut tidak dikatakannya pada Leila, termasuk hubungannya
dengan janda itu, tentu saja.
Bagaikan pencerita yang netral, Teguh menyorot tokoh-tokohnya
dari jarak tertentu. Informasi tentang mereka diberi sekadarnya
saja, baik mengenai tokoh utama maupun tokoh lainnya. Lewat
dialog diketahui Hasan itu berasal dari keluarga miskin, tidak
punya apa-apa, namun sempat menamatkan studi di perguruan
tinggi. Juga Leila yang meninggalkan pekerjaan tanpa motivasi
jelas, kecuali kewajiban sebagai ibu rumahtangga. Atau tokoh
abah, justru lebih menimbulkan tanda-tanya, yang taat beribadat
namun sangat tidak bijaksana. Cenderung sok gengsi, profesi
sopir taksi yang dipilih Hasan diterimanya sebagai malapetaka.
Dan semua ini terungkap hanya lewat dialog, hingga pengenalan
terhadap tokoh-tokoh di dunia yang kemelut itu, tertahan di
sana.
Memang ada beberapa cetusan yang berusaha mencerminkan siapa
sebenarnya mereka. Misalnya, tatkala dokter bertanya kepada
Leila, "Kehidupan seks kalian bagaimana?" Penonton terkejut
mungkin, tapi Leila tenang-tenang saja.
Juga sindiran serupa ini: "Mengapa jalan-jalan ke luar negeri,
bukan ke Pekalongan. Mengapa mesti belanja ke Singapura, mengapa
tidak ke Tegal saja." Tanya yang tidak bertanya ini ditujukan
Hasan pada istrinya. Atau gerutu abah. "Mereka boleh saja jadi
sopir taksi. Mereka kan tidak kawin dengan anakku!"
Terkesan di sini bahwa kecaman bapak mertua terlalu frontal,
tidak begitu lazim dalam keluarga Indonesia. Sikap terbuka
dokter juga rasanya kok tidak biasa. Begitu juga reaksi Leila.
Dan sindiran Hasan pun terlalu klise.
Film ini lemah dalam cerita. Tapi penyajiannya boleh dibilang
istimewa. Gambar-gambar mendominasi layar bagaikan arus deras.
Dibantu oleh akting (hampir semua pemain) dan editing yang baik
(George Kamarullah), penonton dihadapkan pada situasi yang
sedemikian nyata dan sedemikian wajar hingga mereka terhenyak.
Lama sesudah film selesai.
Banyak sebenarnya yang ingin diutarakan Teguh Karya. Pergulatan
hidup Hasan dan Leila. Usaha mereka menjawab tantangan dan
menangkis bila dipojokkan. Kompromi Leila dalam bentuk pipa
hadiah. Juga penindasan yang terpaksa dilakukan terhadap anak
yang lebih senang tv warna ketimbang tv hitam putih di rumah
sendiri. Lalu ketegaran Hasan yang menentang atasan tapi
kemudian mengekses dalam petualangan dengan seorang janda. Dan
akhirnya ditutup dengan kepedihan seorang laki-laki yang
berhasil memperjuangkan rumah kontrakan tapi di saat bersamaan
hampir saja kehilangan istrinya.
Inilah sebuah cerita amat sederhana, yang kekurangan nuansa
jiwa, namun tidak sampai menjemukan. Sebaliknya ia tampil
sebagai mosaik kehidupan manusia kota, yang meski lemah dalam
informasi dan motivasi jitu menawarkan problema sosial masa
kini.
Pada hakikatnya sutradara bukan memfilmkan sebuah drama
rumahtangga tapi mendramatisasi cekcok keluarga. Yang penting
bukan lagi siapa dan mengapa, tapi bagaimana. Untuk ini Teguh
Karya telah mengembangkan kemahirannya menggunakan bahasa film
sampai tingkat pengucapan artistik yang pantas dipujikan.
Gambar-gambarnya melontarkan makna dan sesuatu -- entah apa --
yang bisa bebas ditafsirkan.
Dijiwai oleh sikapnya yang anti-hero, Teguh seakan mengajak
orang untuk lebih jujur melihat kenyataan. Dan menemukan
sendiri apa yang ada di baliknya.
Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini