Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA hujan lama tak turun, jarak Desa Sumber Agung hanyalah dua jam perjalanan mobil dari Kota Agung Pusat, ibu kota Kabupaten Tanggamus, Lampung. Namun, kala hujan tak henti mengguyur, desa di ujung Taman Nasional Bukit Barisan Selatan itu seolah-olah ada di ujung dunia.
Kalau Anda mengendarai mobil "biasa" seperti Toyota Kijang Innova atau Suzuki APV, apalagi kelas sedan, jangan coba-coba berangkat ke Desa Sumber Agung di musim hujan. Bisa dipastikan Anda tak akan pernah tiba di desa terpencil di Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat, itu—kecuali rela berjalan kaki. Diguyur hujan deras, jalan sepanjang kurang-lebih 15 kilometer sebelum masuk Desa Sumber Agung berubah menjadi sungai lumpur.
Roda-roda mobil berpenggerak empat roda yang hendak melintas pun harus dibelit rantai supaya bisa mencengkeram jalan yang superlicin. "Kalau enggak diikat rantai, bannya masih kurang menggigit," kata Eko, warga Suoh, beberapa waktu lalu. Dengan rantai membelit ban pun, beberapa mobil yang biasanya perkasa di jalan raya, seperti Mitsubishi Strada, juga berulang kali terperosok di kubangan dan harus ditarik mobil lain. Jarak yang semestinya bisa ditempuh sekitar setengah jam bisa memakan waktu lima hingga enam jam di musim hujan.
Dengan kondisi alam seperti itu, tak aneh jika jaringan listrik tak pernah singgah di Suoh. PT Telekomunikasi Selular, yang berniat menegakkan menara pemancar di Desa Sumber Agung, harus putar otak mencari sumber setrum. Semula mereka berniat memasang panel sel surya. Masalahnya, karena desa itu berada di daerah pegunungan, sinar matahari acap terhalang kabut. Kebetulan, tak jauh dari desa itu ada beberapa mata air. Tapi jangan bayangkan aliran air ini sebesar Sungai Ciliwung di Jakarta atau Kali Progo di Yogyakarta. Volume aliran air di Kali Batang Ireng ini lebih mirip aliran got.
Namun mata air kecil itu ternyata bisa membangkitkan setrum yang tak kecil-kecil amat. Dengan membendung kali kecil itu dan mengalirkannya ke sebuah pipa, ternyata bisa digerakkan turbin dan dihasilkan setrum 16,5 kilowatt—lebih dari cukup untuk menghidupi pemancar milik Telkomsel. Setrum yang dihasilkan turbin mini ini juga masih bersisa sehingga bisa dibagikan ke 20 rumah di Sumber Agung. "Mereka tak perlu bayar listrik, cukup membantu merawat dan membersihkan saluran airnya saja," kata Ivan Cahya Permana, General Manager Operasi Jaringan Wilayah Sumatera Bagian Selatan Telkomsel.
Dalam urusan listrik, penduduk di Pulau Jawa, terutama Jakarta, memang jauh berlimpah setrum ketimbang warga Riau, Bengkulu, Sulawesi Barat, atau Nusa Tenggara Timur. Karena pasokan setrum serba terbatas, pemadaman listrik pun hal yang jamak. Pertengahan Agustus lalu, misalnya, karena kiriman solar terlambat datang, seluruh Gorontalo gelap-gulita. "Kami minta maaf," kata Yayan Gobel, Manajer Distribusi PLN Gorontalo, kepada Christopel Paino dari Tempo.
Pasokan setrum dan jaringan kabel PLN memang masih jauh dari cukup. Di beberapa daerah, jumlah warga yang terlayani perusahaan setrum negara ini masih sangat sedikit. Di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Sulawesi Barat, mereka yang terjangkau kabel PLN baru berkisar 30 persen dari penduduknya.
Berdasarkan data PLN, rata-rata nasional, jumlah penduduk yang mendapat setrum (rasio elektrifikasi) baru berkisar 65 persen. Tahun ini, PLN berniat menggenjot angka itu hingga mencapai 72 persen, termasuk program mengalirkan listrik ke 100 pulau dengan teknologi sel surya.
PAINO, 65 tahun, bukanlah insinyur lulusan perguruan tinggi teknik seperti Institut Teknologi Bandung, bahkan sekolah teknik menengah sekalipun. Transmigran asal Ponorogo, Jawa Timur, ini bahkan tak lulus sekolah dasar. Sudah sejak akhir 1970-an, dia dan beberapa tetangganya bedol desa dan berangkat ke tanah asing di Suoh. Di Lampung Barat ini, mereka membuka hutan dan memulai hidup baru.
Tentu saja tak ada listrik di daerah itu. Dialah yang membawa terang di Sumber Agung. Bertahun-tahun hidup tanpa listrik, Paino berinisiatif membeli dua generator listrik alias genset kecil dengan kapasitas 2 x 10 kilowatt. Setrum yang berlebih dia salurkan ke para tetangga di Sumber Agung. "Mereka bayar untuk beli solar dan perawatan," kata Paino. Desa ini pun tak lagi gulita kala malam.
Setelah ada generator listrik, warga Sumber Agung mulai melirik sumber energi lain: air. Walaupun debitnya tak seberapa besar, beberapa mata air yang mengalir di sekitar Sumber Agung ternyata bisa menggerakkan kincir, memutar turbin, dan menghasilkan setrum lumayan besar. Setidaknya bisa menerangi rumah-rumah warga Sumber Agung.
Instalasi pembangkit listrik ala Sumber Agung ini tak canggih-canggih amat. Mereka, kata Syaifudin, warga Sumber Agung, belajar sendiri merakit pembangkit setrum. Prinsipnya kurang-lebih serupa dengan dinamo. Air menggerakkan kincir dan memutar dinamo. Dengan kabel ala kadarnya, setrum dari dinamo ini disalurkan ke rumah yang berjarak sekitar 500 meter. Namanya pembangkit listrik ala kadarnya, ketika arus air kencang, lampu lebih benderang, tapi saat air surut, nyala lampu tinggal remang-remang.
Jangan bicara pula soal pengaman. Tak ada pengaman untuk pembangkit listrik swadaya seperti ini. Untuk mengantisipasi naik-turunnya tegangan, Wirya Sukadi, warga Desa Gumelem Kulon, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, yang lebih berpengalaman dalam urusan pembangkit setrum mikro, memasang penstabil listrik. "Kalau tidak pakai stabilizer, gambar televisi akan bergelombang," katanya. Wirya sudah mulai merakit pembangkit setrum mikro bertenaga air pada 1991. Idenya kemudian diikuti warga Gumelem lainnya.
Cerita seperti warga Desa Sumber Agung dan Gumelem Kulon ini mungkin ada ratusan di luar Jawa. Sebab, jaringan kabel PLN memang masih entah kapan bisa mampir di daerah mereka. Dengan rupa-rupa cara, pelbagai sumber energi yang ada di sekeliling daerahnya mereka manfaatkan untuk menghasilkan setrum sendiri.
Listrik yang dihasilkan memang masih jauh dari cukup. Warga Desa Haurngombong, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, mencoba memanfaatkan gas dari kotoran sapi untuk menghasilkan setrum. Di desa ini, hampir separuh warganya memelihara sapi. Menurut Adang S.P., Kepala Desa Haurngombong, ada 1.048 sapi di daerahnya.
"Saya sering diprotes warga karena kotoran sapi ada di mana-mana. Mereka mengeluhkan bau dan kotoran sapi," kata Adang pekan lalu. Belajar dari kiri-kanan, Adang mengumpulkan kotoran sapi dan membuat penampungan gas dari ampas itu. Kotoran sapi mengeluarkan gas metana yang gampang terbakar dan beberapa gas lain. Sekarang, Adang dan warga Haurngombong memanfaatkan "gas sapi" ini untuk memasak.
Beberapa tahun lalu, PLN menyumbangkan 10 generator biogas berkapasitas 450 watt kepada warga Haurngombong. Masalahnya, pemilik sapi sulit menyediakan "gas sapi" terus-menerus.
"Jadi, genset itu hanya untuk cadangan kalau listrik dari PLN mati," ujar Acu, warga Haurngombong. Sehari-hari, kiriman setrum dari PLN masih jadi andalan mereka. Padahal, di Belanda, pembangkit setrum dari gas kotoran ayam bisa menghasilkan listrik 36,5 megawatt, yang cukup untuk memasok setrum bagi 90 ribu rumah tangga. Pembangkit ini menyedot hampir 500 ribu ton tahi ayam setiap tahun.
Sapto Pradityo, Angga Sukma Wijaya (Sumedang), Aris Andrianto (Banjarnegara)
Dari Ampas Terbit Biogas
Di India, sapi adalah binatang yang dihormati. Di negeri itu, ada sekitar 300 juta sapi. Terlepas dari statusnya, dengan jumlah sebanyak itu, sapi juga mendatangkan masalah: ampasnya ada di sembarang tempat.
Sudah lama pemerintah India menemukan ada "emas" terbenam di dalam tahi sapi. Emas itu bernama gas metana. Hajat sapi mengeluarkan gas yang sekitar 60 persennya berupa metana, 30 persen karbon dioksida, dan sisanya hidrogen serta gas nitrogen. Metana ini gampang terbakar dan juga berbahaya bagi lingkungan. Emisi gas metana dari penimbunan sampah merupakan salah satu penyumbang pemanasan global.
Pada 1981, lewat proyek nasional pemanfaatan biogas, pemerintah India membangun dua juta pengolah ampas sapi di seluruh India. Pengolah tahi sapi ini menghasilkan gas metana yang bisa dipakai sebagai bahan bakar bagi generator listrik atau disalurkan ke rumah-rumah—untuk memasak. Walaupun hanya sekitar 70 persen pengolah yang masih berfungsi, "gas sapi" ini bisa menyediakan energi bagi 80 juta warga India.
Di Desa Haurngombong, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, ada 1.048 ekor sapi. Semula ampas sapi di desa ini jadi masalah. "Saya sering diprotes warga karena kotoran sapi ada di mana-mana. Mereka mengeluhkan bau dan kotoran sapi," kata Adang S.P., Kepala Desa Haurngombong, pekan lalu.
Adang putar otak untuk mengatasi masalah itu. Uji coba pertama, Adang menumpuk ampas sapi dan menutupnya dengan plastik. Dia berharap bisa memanen gas dari timbunan hajat sapi itu. Alih-alih bisa menyedot gas metana, yang didapat panas dan bau menyengat belaka. Dari sebuah pameran di kampus Institut Teknologi Bandung, dia belajar memanen "gas sapi" yang benar.
Sewaktu dia coba di kandang sapi miliknya, ternyata gas metananya bisa disedot. "Saya coba salurkan ke kompor dari kaleng, ternyata apinya menyala," ujar Adang. Pada 2007, ketika ada program konversi minyak tanah ke gas, bahan bakar ini jadi susah didapat. "Warga mulai tertarik dengan energi biogas ini."
Cara menghasilkan gas dari tahi sapi tidak sulit. Ampas sapi dimasukkan ke digester dan dicampur air. Gas dari proses fermentasi disalurkan ke instalasi penampungan gas dari plastik. Dari penampungan, biogas tinggal dialirkan melalui selang ke rumah warga sekitar sebagai bahan bakar untuk memasak. Sekarang ada 170 pengolah hajat sapi di Haurngombong, yang tersambung ke 410 rumah. Tahun ini, menurut Adang, mereka berniat menambah 100 digester tahi sapi lagi. Warga yang tak memiliki sapi pun bisa menikmati gas dari ampas tersebut tanpa perlu bayar. Syaratnya gampang: mereka harus ikut bergotong-royong mengurus hajat sapi.
Beberapa tahun lalu, PLN menyumbangkan 10 generator listrik berbahan bakar biogas berkapasitas 450 watt kepada warga Haurngombong. Masalahnya, pemilik sapi sulit menyediakan "gas sapi" ini terus-menerus. Satu ekor sapi, kata Adang, hanya bisa menghasilkan satu kubik kotoran dan satu kubik gas dalam seminggu. Supaya setrum bisa bertahan semalam suntuk, lulusan Jurusan Budi Daya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Winaya Mukti, Sumedang, ini mengatakan setidaknya harus ada 10 ekor sapi. Padahal rata-rata peternak di Haurngombong hanya punya dua atau tiga sapi.
"Jadi genset itu hanya untuk cadangan kalau listrik dari PLN mati," kata Acu, warga Haurngombong. Sehari-hari, kiriman setrum dari PLN masih jadi andalan mereka.
SP, Angga Sukma Wijaya (Sumedang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo