Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Si Ramah Peredam Amarah

Senjata penghalau massa terus dikembangkan. Tetap tak menjamin nihilnya korban jiwa.

11 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nangkring di atas jip polisi Jerman, benda itu mirip antena parabola. Inilah senjata pemecah konsentrasi massa terbaru dengan nama Active Denial System (ADS). ”Parabola ajaib” itu mampu menembakkan radiasi elektromagnetik yang mengalirkan hawa panas. Dalam sekejap, ratusan demonstran dapat dibuatnya tunggang-langgang.

Tapi polisi Jerman tak sekalipun menggunakan senjata itu. Padahal ribuan demonstran dari berbagai negara mengepung Heiligendamm, tempat penyelenggaraan pertemuan puncak negara-negara G-8 di Jerman, pekan lalu. Polisi lebih memilih ”senjata kuno” berupa meriam air untuk membubarkan para aktivis antiglobalisasi dan antikemiskinan. Mereka merangsek pagar sepanjang 12 kilometer, memblokade jalan, dan melempari polisi dengan batu.

Pemandangan ini amat kontras dengan cerita dari Pasuruan, Jawa Timur, dua pekan lalu. Hanya ada satu jenis senjata yang kemudian membawa malapetaka bagi warga Desa Alas Tlogo yang tengah berunjuk rasa: senapan dengan peluru tajam. Empat warga tewas berikut satu janin lima bulan. Tujuh orang terluka. Sejumlah saksi mengaku melihat tentara mengarahkan senapannya ke warga.

Penggunaan senjata mematikan oleh tentara atau polisi Indonesia untuk menghalau massa bukan baru kali ini. Saat menghadapi aksi demonstrasi mahasiswa pada Mei 1998, misalnya, aparat keamanan menggunakan peluru tajam. Padahal ada pilihan senjata yang ”ramah” untuk menghadapi massa yang marah. Salah satu yang terbaru, ya ”parabola sakti” itu. Senjata ini dikembangkan militer Amerika dan diuji coba pada awal tahun ini. ADS menjadi temuan penting karena petugas di lapangan bisa lebih tenang menjalankan perintah tanpa takut dibayangi ancaman pelanggaran hak asasi manusia.

Senjata ini menembakkan radiasi elektromagnetik melalui frekuensi 95 gigahertz ke sasaran. Gelombang tersebut mengeluarkan hawa panas, tapi cuma 55 derajat Celsius. Artinya, hanya mampu merusak 1/64 inci lapisan kulit. Meski tak mematikan, sensasi panasnya sudah cukup membuat massa lari lintang-pukang. Ini terbukti pada uji coba yang melibatkan tentara dan wartawan di Pangkalan Udara Moody Air, Georgia, pada Januari lalu.

Rich Garcia, juru bicara Laboratorium Riset Angkatan Udara, mengatakan bahwa penggunaan gelombang elektromagnetik amat aman karena tak menembus bagian terdalam kulit. ”Sepersekian detik pertama, kulit memang terasa panas, dan makin panas. Kulit serasa terbakar. Tapi, begitu Anda menghindar, kulit kembali normal tanpa sakit,” katanya. ADS diproduksi dalam ukuran portabel hingga ukuran besar yang diletakkan di atas jip.

Masih di Amerika, Kepolisian Kota New York telah menggunakan senjata yang tak kalah canggihnya, yaitu Long Range Acoustic Device (LRAD). Tak seperti ADS yang mengeluarkan hawa panas, LRAD ini menembakkan gelombang suara yang mencapai 150 desibel. Gelombang suara setinggi ini sudah cukup membuat kerusakan permanen di telinga pada jarak satu meter. Penembakan biasanya dilakukan pada jarak 300-500 meter dari sasaran.

Menurut pembuatnya, Carl Gruenler, pada jarak tersebut gelombang suara sudah cukup menyakitkan telinga, bahkan mulai merusak pada jarak 90 meter. LRAD sendiri merupakan perangkat dengan berat 20 kilogram dan berukuran kurang dari satu meter persegi. Seperti halnya ADS, perangkat ini juga dipasangkan di atas jip. Selain untuk mengendalikan massa, alat ini juga digunakan Amerika untuk melancarkan operasi di Irak.

Selain membuat penembak gelombang panas dan gelombang suara, beberapa negara maju telah mengembangkan tongkat polisi menjadi lebih ”menggigit”. Tongkat listrik itu menimbulkan sakit sehingga sasaran tak kuat menggerakkan ototnya selama beberapa saat. Alat ini terdiri dari dua elektroda yang terpisah dan mirip stop kontak listrik di ujungnya. Ketika dua elektroda ini menempel di tubuh manusia, aliran listrik akan menyengat.

Selain dalam bentuk tongkat, senjata listrik juga dirancang mirip pistol. Tapi tetap saja pistol ini harus bersentuhan langsung dengan sasaran. Tembakan ini sudah dikenal sejak 1969. Penemunya Jack Cover dari Arizona, Amerika Serikat. Tapi penggunaan senjata ini banyak ditentang karena kerap dipakai menyiksa, seperti yang tampak di film-film. Senjata jenis ini tak cukup efektif menghalau massa dalam jumlah besar.

Di Indonesia, kata kriminolog dan pakar kepolisian Adrianus Meliala, polisi sebenarnya sudah mengambil langkah yang lebih radikal, yaitu kembali ke senjata berbasis rotan alias pentungan. Peluru karet digunakan pada saat massa sudah beringas dan tak bisa lagi dikendalikan. ”Menurut prosedur kepolisian, ini sudah tahap keenam,” ujarnya kepada Tempo. Ketika massa mulai mengamuk, Peleton Tindak yang berada jauh dari lokasi kejadian segera dipanggil. Sedangkan para komandan lapangan yang memiliki pistol harus menjauh agar tak terpancing menembak.

Kepolisian juga menggunakan tembakan air untuk memecah massa. Di depan gedung MPR/DPR, misalnya, polisi memarkir meriam air. Senjata ini mampu membuat sasaran terpental karena air dikeluarkan dengan tekanan amat tinggi, jauh lebih kuat dibanding semprotan mobil pemadam kebakaran. Setelah menyemprot massa, biasanya polisi dengan mudah menangkap korban yang mereka inginkan.

Alhasil, ada banyak pilihan teknologi untuk memecah kelompok demonstran—meski tak menjamin nihilnya korban jiwa. Dalam kondisi tertentu, senjata paling ”ramah” pun bisa membunuh. Ini dialami Victoria Snelgrove, mahasiswi jurusan jurnalistik Emerson College, Boston, Amerika Serikat, tiga tahun lalu. Seusai menonton pertandingan baseball antara Boston Red Sox dan New York Yankees, gadis 22 tahun itu terjebak di tengah kerusuhan pendukung kedua tim. Entah dari mana datangnya, sebutir proyektil menghunjam ke matanya.

Memang cuma proyektil berisi bubuk lada, yang tergolong senjata tak mematikan. Tapi akibatnya fatal. Tak sampai 12 jam, Snelgrove menemui ajal di Rumah Sakit Brigham and Women. Hasil investigasi menunjukkan bahwa polisi tak sengaja mengarahkan peluru—dari pistol jenis FN 303 itu—ke wajah pendukung Red Sox itu. Peluru memang seharusnya meledak di udara dan percikan ladanya membuat mata pedih hingga massa bubar. Alhasil, polisi Boston harus membayar ganti rugi US$ 5,1 juta (sekitar Rp 50 miliar) buat keluarga korban. Komandan lapangan yang saat itu bertugas diturunkan pangkatnya.

Menggunakan peluru tajam untuk menghadapi massa merupakan tindakan yang harus dihindari. ”Apalagi urusan keamanan dan ketertiban masyarakat adalah tugas polisi, bukan tentara,” kata Adrianus.

Adek Media

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus