Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
>TIGA HARI UNTUK SELAMANYA Sutradara: Riri Riza Skenario: Sinar Ayu Massie Pemain: Nicholas Saputra, Adinia Wirasti Produksi: Miles Production
”Masih mau kawin lu, Suf.” ”Pasti. Keluarga Sakinah kan citacita gue.”
Percakapan itu terjadi di dalam mobil antara Yusuf (Nicholas Saputra) dan Ambar (Adinia Wirasti). Mereka tengah menuju ke Yogyakarta untuk menghadiri perkawinan. Mereka bersaudara sepupu yang dalam perjalanan dengan santai melinting dan mengisap ganja sembari mengobrol ringan. Mulanya, dari Jakarta mereka menuju tol Cikampek, lalu bermaksud lewat jalur Pantura, untuk terus ke Yogyakarta.
Tapi kemudian rute berubah. Ambar merengek ingin singgah ke Bandung. Dari Cikampek mobil belok ke tol Cipularang. Di Bandung, beberapa jam mereka kongkow di sebuah komunitas band underground. Yusuf ikut menyedot pipapipa cimeng. Ambar bercinta dengan salah satu lelaki di situ, entah pacar atau siapa. Subuh mereka cabut dan mengarah ke Subang. Sampai Subang mereka berendam di kolam renang air hangat, menyegarkan diri. Ambar melenguh seperti sedang bercinta. Yusuf ngedumel, ”Gila, lu.” Riri tampaknya ingin memotret sebuah perjalanan yang apa adanya. Sebuah perjalanan yang tak dibuatbuat. Seolaholah Nicholas Saputra dan Adinia Wirasti memerankan dirinya sendiri. Penonton hanya mengintip dan menguping perjalanan mereka.
Ini berbeda dengan konsep Eliana, Eliana, film road movie Riri terdahulu. Pada film itu konflik antara ibu (Jajang Pamoentjak) dan anak (Rachel Maryam) amat ditekankan dan justru mencair saat keduanya menumpang taksi menyusuri Jakarta untuk mencari teman sekontrakan yang raib. Pada film Tiga Hari... konflik hanya berupa kejengkelanYusuf melihat Ambar terlalu manja. Yusuf yang berpembawaan tenang dan rajin mengucapkan ”Assalamu alaikum” saat mengangkat telepon dari sang ayah (Adi Kurdi)sebetulnya sungguh bertolak belakang dengan sepupunya, Ambar yang periang, gelisah, dan terusmenerus mengeluh bila sinyal ponselnya hilang.
Film ini rileks, mengalir, tak berpretensi membuat halhal dramatik. Dalam perjalanan tak ditemui peristiwa yang hebat, yang mengubah tujuan atau membuat film berakhir mengejutkan. Film ini mengingatkan bahwa pada kesenian lain (seni rupa dan seni tari) yang juga melahirkan karya yang kembali pada peristiwa seharihari. Dalam dunia seni rupa, kritikus Hall Foster menyebut karyakarya yang banyak menampilkan obyekobyek seharihari sebagai kecenderungan return of the real.
Dalam teater, pentas teater Seinendan dari Jepang pimpinan Hirata Oriza, Tokyo Notes, di Goethe Institute dua tahun lalu bisa menjadi contoh yang bagus. Pentas ini tidak mengambil tema besar, hanya menampilkan percakapanpercakapan kecil, tak ada dramatisasi kalimat aktor atau tindakan yang hiperaktif.
Kamera Riri memperlihatkan realisme jalanan Indonesia seharihari, menghindari eksotisme dan tidak menyorot panorama yang indah. Segala yang terlihat adalah hal biasa yang kita lihat jika bepergian lewat Pantura: orangorang yang meminta sumbangan masjid, tabrakan di jalan dan penjual nisan di tepi aspal. Kalaupun terasa Riri ”mendesain” adalah ketika ia menghadirkan penari ronggeng di pantai yang membuat Yusuf tibatiba terpikat atau adegan halusinasi Yusuf yang seolah menyaksikan gajah dan harimau lewat di jalanan.
Sebelum ke Yogyakarta, mereka mampir di Sendang Sono, tempat peziarahan Katolik. Lantaran terlalu malam, mereka menunggu sampai pagi di pintu gerbang. Terjadilah obrolan tentang masa depan. Menurut Yusuf, umur 27 adalah umur yang menentukan. ”Janis Joplin, Jim Morisson, Jimi Hendrix, Kurt Cobain semua mati di usia 27 tahun….” Mereka menenggak pil sembari mendengarkan lagulagu techno dari kaset. Lalu, pagi, saat udara segar, mereka masuk ke area Sendang Sono yang masih sepi dan sudah dikunjungi daun yang berguguran. Di depan patung Maria, Ambar berkata, ”Bunda Maria, lama tak ketemu.”
Di Yogyakarta, gempa hanya diperlihatkan sebagai sebuah suasana reruntuhan. Perkawinan yang mereka hadiri akhirnya diselenggarakan dengan sederhana. Dan pada malam berikutnya, gairah yang tertahan selama tiga hari oleh sepasang sepupu itu membludak. Mereka bercinta.
Tentu saja adegan lengkap percintaan ini ditebas sensor. Namun, tak melihatnya juga tak apaapa, karena itu tak mengganggu cerita. Sebaliknya, andai pihak sensor memperbolehkan ditayangkan juga rasanya biasa saja. NicholasAdinia telanjang, tapi pergumulan mereka tak panas. Daya persuasi film tidak terletak pada adegan itu, karena percintaan ini bukan sebuah klimaks. Adegan ini adalah bagian dari rangkaian kewajaran.
Tapi film ini tentu mengganggu orang yang terbiasa menonton film yang mengandung banyak konflik dan dramatisasi. Untuk menyaksikan percakapan remehtemeh selama lebih dari satu jam itu terasa lama.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo