Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tiga Hari yang Terlalu Lama

Film terbaru Riri Reza yang mirip perjalanan biasa, tanpa bumbubumbu dramatik atau konflik.

11 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

>TIGA HARI UNTUK SELAMANYA Sutradara: Riri Riza Skenario: Sinar Ayu Massie Pemain: Nicholas Saputra, Adinia Wirasti Produksi: Miles Production

”Masih mau kawin lu, Suf.” ”Pasti. Keluarga Sakinah kan citacita gue.”

Percakapan itu terjadi di da­lam mobil antara Yusuf (Nicholas Saputra) dan Ambar (Adinia Wirasti). Mereka tengah menuju­ ke Yogyakarta untuk menghadi­ri perkawinan. Mereka bersaudara se­pu­pu yang dalam perjalanan dengan san­tai melinting dan mengisap ganja sem­bari mengobrol ringan. Mula­nya, da­ri Jakarta mereka menuju tol Cikam­pek­, lalu bermaksud lewat jalur Pantura­, untuk terus ke Yogyakarta.

Tapi kemudian rute berubah. Ambar­ me­rengek ingin singgah ke Ban­dung. Da­ri Cikampek mobil belok ke tol Cipu­la­rang. Di Bandung, beberapa jam me­reka kongkow di sebuah komunitas­ band underground. Yusuf ikut menye­dot pipapipa cimeng. Ambar bercinta de­ngan salah satu lelaki di situ, entah pa­car atau siapa. Subuh mereka cabut dan mengarah ke Subang. Sampai Su­bang­ mereka berendam di ko­lam re­nang air hangat, menyegarkan diri. Am­bar melenguh seperti sedang bercinta. Yusuf ngedumel, ”Gila, lu.” Riri tam­pak­nya ingin memotret sebuah per­jalan­an yang apa adanya. Sebuah perja­la­n­­­an­ yang tak dibuatbuat. Se­olaholah Nicholas Saputra dan Adinia Wirasti me­merankan dirinya sendiri. Penonton ha­nya mengintip dan me­nguping perja­lanan mereka.

Ini berbeda dengan konsep Eliana, Eliana, film road movie Riri terdahulu. Pada film itu konflik antara ibu (Jajang Pamoentjak) dan anak (Rachel Mar­yam­) amat ditekankan dan justru men­cair saat keduanya menumpang taksi me­nyusuri Jakarta untuk mencari te­man­ sekontrakan yang raib. Pada film Tiga Hari... konflik hanya berupa ke­jengkelanYusuf melihat Ambar terla­lu manja. Yusuf yang berpembawaan te­­nang dan rajin mengucapkan ”Assala­mu alaikum” saat mengangkat telepon da­ri sang ayah (Adi Kurdi)sebetulnya sung­guh bertolak belakang dengan se­pupunya, Ambar yang periang, gelisah, dan terusmenerus mengeluh bila sinyal­ ponselnya hilang.

Film ini rileks, mengalir, tak berpretensi membuat halhal dramatik. Dalam perjalanan tak ditemui peristiwa yang hebat, yang mengubah tujuan atau membuat film berakhir mengejutkan. Film ini mengingatkan bahwa pada kesenian lain (seni rupa dan seni tari) yang juga melahirkan karya yang kembali pada peristiwa seharihari. Dalam dunia seni rupa, kritikus Hall Foster menyebut karyakarya yang banyak menampilkan obyekobyek seharihari sebagai kecenderungan return of the real.

Dalam teater, pentas teater Seinendan dari Jepang pimpinan Hirata Oriza, Tokyo Notes, di Goethe Institute dua tahun lalu bisa menjadi contoh yang bagus. Pentas ini tidak mengambil tema besar, hanya menampilkan percakapanpercakapan kecil, tak ada dramatisasi kalimat aktor atau tindak­an yang hiperaktif.

Kamera Riri memperlihatkan rea­lisme jalanan Indonesia seharihari, menghindari eksotisme dan tidak menyorot panorama yang indah. Segala yang terlihat adalah hal biasa yang kita lihat jika bepergian lewat Pantura: orangorang yang meminta sumbangan masjid, tabrakan di jalan dan penjual nisan di tepi aspal. Kalaupun terasa Riri ”mendesain” adalah ketika ia menghadirkan penari ronggeng di pantai yang membuat Yusuf tibatiba terpikat atau adegan halusinasi Yusuf yang seolah menyaksikan gajah dan harimau lewat di jalanan.

Sebelum ke Yogyakarta, me­re­ka ­­ mam­­pir di Sendang Sono, tempat pe­zia­rah­an Katolik. Lantaran terlalu malam, mere­ka menunggu sampai pagi di pintu gerbang. Terjadilah obrolan tentang masa depan. Menurut Yusuf, umur 27 adalah umur yang menentukan. ”Janis Joplin­, Jim Morisson, Jimi Hendrix, Kurt Cobain semua mati di usia 27 ta­hun­….” Mereka menenggak pil sembari mendengarkan lagulagu techno dari kaset. Lalu, pagi, saat udara segar, mere­ka masuk ke area Sendang Sono yang ma­sih sepi dan sudah dikun­jungi daun yang berguguran. Di depan patung Maria, Ambar berkata, ”Bunda Maria, lama tak ketemu.”

Di Yogyakarta, gempa hanya diperlihatkan sebagai sebuah suasana reruntuhan. Perkawinan yang mereka hadi­ri akhirnya diselenggarakan dengan sederhana. Dan pada malam berikutnya, gairah yang tertahan selama tiga hari oleh sepasang sepupu itu membludak. Mereka bercinta.

Tentu saja adegan lengkap percintaan ini ditebas sensor. Namun, tak melihatnya juga tak apaapa, karena itu tak mengganggu cerita. Sebaliknya, andai pihak sensor memperbolehkan ­dita­yang­kan juga rasanya biasa saja. NicholasAdinia telanjang, tapi pergumulan mereka tak panas. Daya persuasi­ film tidak terletak pada ade­gan itu, karena percintaan ini bukan sebuah klimaks. Adegan ini adalah bagian dari rangkaian kewajaran.

Tapi film ini tentu mengganggu orang yang terbiasa menonton film yang me­ngandung banyak konflik dan dramatisasi. Untuk menyaksikan percakapan remehtemeh selama lebih dari satu jam itu terasa lama.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus