Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
THE FLOWERS OF WAR
Sutradara: Zhang Yimou,
Skenario: Liu Heng, berdasarkan 13 Flowers of Nanjing karya Gelling Yan,
Pemain: Christian Bale, Ni Ni, Zhang Xinyi, Huang Tianyuan
Nanking, 13 Desember 1937.
Aku ingat, semua orang berlarian menembus hujan debu dan menyelamatkan diri dari hujan bom yang tak berkesudahan...."
Suara Shu (Zhang Xinyi), siswa susteran itu, bergetar menembus kegelapan Nanking yang dihujani debu, asap, dan mesiu. Mereka berlari dan berlari menuju Gereja Katedral. Di antara desingan peluru, Shu dan kawan-kawannya bertemu dengan seorang lelaki Amerika, John Miller (Christian Bale), seorang juru rias jenazah yang pada hari itu ditugasi ke Gereja Katedral.
Sembari berloncatan di antara tumpukan mayat, sisa warga Nanking yang masih hidup mencari persembunyian dari pucuk bedil Jepang. Belasan anak susteran dan 12 pelacur bersama-sama berlindung di balik tembok gereja, sebuah suaka yang tak tersentuh oleh kekejian tentara Jepang. Untuk beberapa saat, mereka aman bersembunyi di antara nyanyian kematian dan keagungan gereja. Diam-diam mereka mencoba merancang strategi untuk bisa keluar dari neraka Nanking yang tengah diperkosa dan dihajar perang.
Film terbaru sutradara legendaris Zhang Yimou memilih menyorot peristiwa tragedi Nanking (kini berubah nama menjadi Nanjing) dari mata Shu, seorang remaja susteran yang menyaksikan horor terkeji dalam sejarah manusia di hadapannya. Peristiwa Nanking sendiri tak digambarkan sama sekali kecuali melalui dialog dan bunyi jatuhnya bom yang terus-menerus di luar tembok gereja. Untuk beberapa saat, gereja seolah-olah sengaja tak disentuh tentara Jepang. Dan kita menyaksikan serangkaian drama di dalam ruang-ruang tertutup antara para murid susteran dan para pelacur yang ditingkahi John Miller si pemabuk, yang semula hanya peduli duit dan kemakmuran penisnya. Apalagi pemimpin kelompok pelacur, Yu Mo (Ni Ni), tak hanya bisa berbahasa Inggris dengan sempurna, tapi kehadirannya juga seperti kecupan sinar matahari pada kelopak bunga yang baru saja mekar: segar dan berseri.
Drama di dalam tempat persembunyian yang sesekali mengingatkan drama di dalam tempat persembunyian Anne Frank di antara dua keluarga yang berdesakan itu semula terlihat remeh-temeh. Para gadis susteran tak rela kamar mandinya digunakan geng pelacur, meski Shu mengakui melalui pernyataannya bahwa kedatangan mereka memberi "aroma parfum dan warna tersendiri" di dalam gereja. Pernak-pernik domestik itu akhirnya tak sebanding dengan persoalan yang jauh lebih nyata dan lebih brutal: Jepang akhirnya masuk dan menginjak gereja. Komandan Hasegawa, yang sedikit lebih beradab, meminta maaf atas kelakuan anak buahnya yang sembarangan ("sembarangan" di sini adalah memperkosa dan membunuh). Hasegawa "mengundang" para murid susteran bernyanyi kor di pesta kemenangan Jepang atas pendudukan Nanking. Pasukan Jepang tak tahu, gudang bawah gereja menyembunyikan 12 perempuan dewasa. Dan John Miller, yang sudah berkostum seorang romo dan berpretensi memimpin gereja itu, tak bisa tidak, akhirnya bergerak sebagai pelindung isi gereja. Dia berkeras menolak permintaan Hasegawa. Dia tahu, setelah anak-anak itu bernyanyi, pasti mereka akan diperkosa dan dibunuh.
Inilah titik yang menarik. Hasegawa dan pasukannya tak mau tahu: 13 murid itu harus hadir. Apa yang terjadi kemudian? Apa yang dilakukan para pelacur itu untuk menyelamatkan para murid susteran?
Film yang diangkat dari buku karya Liu Heng ini memang melodramatik. Ada kepahlawanan, ada romantisasi, ada seember air mata. Zhang Yimou pernah membawa kita pada sebuah puncak ketinggian bernama Judou (1990), Raise the Red Lantern (1991), Hero (2002), House of the Flying Dagger (2004), dan The Love of the Hawthorne Tree (2010). Karena itu, film The Flowers of War adalah sebuah tanda tanya: mengapa maestro seperti Zhang Yimou memilih cerita ini untuk diangkat sebagai film. Luka tragedi Nanking, sampai kapan pun, akan sulit sembuh. Menciptakan sebuah film dengan latar belakang salah satu peristiwa terjahat di muka bumi—kurang-lebih 300 ribu warga Cina dibunuh dan 200 ribu perempuan diperkosa—dengan "mengisolasi" peristiwa itu mungkin adalah satu keinginan memberi harapan. Zhang Yimou memperlihatkan beberapa peristiwa pemerkosaan yang terjadi saat ada perempuan yang menyelinap keluar dari gereja untuk mengambil string biola dan sepasang anting. Akibatnya, film ini terasa steril. Dingin dan berjarak.
Percintaan antara John Miller dan Yu Mo—ini semua terjadi di antara kegilaan di luar tembok gereja yang luar biasa brutal—juga suatu romantisasi yang tak terbayangkan. Bahkan saat para pelacur menarik tirai—dengan sinematografi penuh warna seperti sebuah tribute pada film Judou yang menghormati keindahan seni kain—kita nyaris lupa Zhang Yimou tengah membuat film tentang desingan peluru dan kekejian tentara Jepang.
"Aku tak tahu apa yang terjadi dengan mereka," kata Shu menceritakan pengorbanan Yu Mo dan kawan-kawannya. "Aku hanya bisa mengingat wajah mereka saat pertama kali melangkah melalui gerbang gereja dan udara penuh dengan aroma parfum...." Tampaknya itulah kenangan Shu yang hendak ia pilih dan ia ingat untuk sebuah peristiwa paling brutal di negerinya. Dan mungkin itu pula pilihan Zhang Yimou: sebuah memori selektif. Mungkin ia sendiri tak ingin (atau tak berani) mengaduk-aduk diri dalam sejarah yang brutal itu. Zhang Yimou memilih untuk berjarak karena mungkin itu cara dia hidup dan berharap.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo