Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah studi yang diterbitkan di jurnal JAMA Network Open menunjukkan bahwa chatbot berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), ChatGPT, mampu mengalahkan dokter manusia dalam memberikan diagnosis medis. Penelitian ini melibatkan 50 dokter yang terdiri dari residen dan dokter senior dari beberapa rumah sakit besar di Amerika Serikat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam penelitian tersebut, para dokter diberi enam riwayat kasus medis dan diminta memberikan tiga kemungkinan diagnosis beserta penjelasan dan bukti pendukungnya. Mereka juga diminta memberikan diagnosis akhir yang benar serta langkah-langkah tambahan untuk memastikan diagnosis tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasilnya, ChatGPT mencatat skor rata-rata 90 persen dalam mendiagnosis kondisi medis dari laporan kasus dan memberikan penjelasan atas diagnosisnya. Sebaliknya, dokter yang menggunakan ChatGPT bersama sumber daya medis konvensional hanya mencatat skor rata-rata 76 persen, sementara dokter yang tidak menggunakan chatbot mencatat skor rata-rata 74 persen.
“Saya terkejut,” kata Dr. Adam Rodman, seorang ahli penyakit dalam di Beth Israel Deaconess Medical Center, Boston, membaca hasil studi ini, seperti dikutip dari The New York Times, Ahad, 17 November 2024. Rodman juga turut merancang penelitian tersebut,
Kasus-kasus yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari riwayat medis nyata yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya, sehingga ChatGPT tidak mungkin dilatih menggunakan data tersebut. Salah satu contohnya adalah seorang pria 76 tahun yang mengalami nyeri parah di punggung bawah, bokong, dan betis setelah menjalani angioplasti balon. Diagnosis yang benar untuk kasus ini adalah emboli kolesterol, yaitu kondisi di mana serpihan kolesterol dari plak arteri menyumbat pembuluh darah.
Penelitian ini juga menemukan bahwa banyak dokter tidak sepenuhnya memanfaatkan potensi chatbot AI. “Mereka tidak mendengarkan AI ketika AI memberikan masukan yang berbeda,” kata Dr. Rodman. Beberapa dokter hanya menggunakan ChatGPT untuk menjawab pertanyaan sederhana, seperti “Apakah sirosis merupakan faktor risiko kanker?” alih-alih meminta analisis komprehensif atas seluruh kasus medis.
Menurut Laura Zwaan, peneliti di Erasmus Medical Center Rotterdam yang tidak terlibat dalam studi ini, salah satu kendala adalah kepercayaan diri dokter terhadap diagnosis mereka sendiri. “Orang cenderung terlalu percaya diri ketika mereka merasa benar,” ujarnya.
Rodman menambahkan, chatbot AI seharusnya berfungsi sebagai ‘perpanjangan tangan dokter’ untuk memberikan opini kedua yang berharga. Namun, dia mengakui bahwa banyak dokter masih kesulitan menggunakan AI secara optimal.
Studi ini juga menyoroti tantangan dalam cara dokter berpikir dan mengambil keputusan. Meski teknologi AI semakin canggih, kepercayaan terhadap kemampuan manusia dan pemanfaatan teknologi masih menjadi pekerjaan rumah besar dalam dunia medis.