Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANDARA Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Selasa pekan lalu. Pesawat Dynasti hampir hinggap di landasan: roda sudah keluar sepenuhnya, kecepatan pas, tempat mendarat sudah di depan hidung. Taaak! Tiba-tiba, layang-layang menghantam pesawat. Untunglah, Dynasti—ini nama alias untuk maskapai China Airlines milik Taiwan—tidak celaka.
Sebelumnya, pesawat Japan Airlines malah seperti bermain layangan di pelabuhan udara ini. Saat akan mendarat, pesawat itu menyambar sebuah layang-layang dan membawanya hingga ke terminal. Ketika insiden Dynasti terjadi, Tempo baru selesai bertemu dengan Edie Haryoto, Direktur Utama PT Angkasa Pura II yang mengelola Bandara Soekarno-Hatta.
Dalam pertemuan tersebut, Edie menyatakan bahwa tidak benar ada sejumlah bandara cenderung berorientasi pada laba dan mengabaikan keamanan (seperti diberitakan Tempo edisi 9–15 Juli pada artikel Darurat di Udara, Gawat di Darat). Pada artikel itu, Ketua Tim Investigasi dan Evaluasi Keselamatan Transportasi Nasional, Chappy Hakim, mengatakan, ”Pengelola bandara di Indonesia cenderung profit oriented dan mengabaikan safety oriented.”
Posisi dan kewenangan Angkasa Pura bisa menjelaskan ihwal pentingnya keselamatan ini. Perusahaan negara ini, memang, berada di bawah Menteri BUMN, tapi regulatornya Menteri Perhubungan. Jadi, selain patuh kepada Menteri BUMN, juga tunduk kepada Menteri Perhubungan, yang mengatur segala hal berkaitan dengan keselamatan penerbangan, saat terbang maupun kala berada di darat.
Insiden layangan di atas hanyalah satu contoh betapa situasi gawat bisa muncul tak terduga. Gangguan burung (bird strike) adalah contoh lain yang tak boleh dianggap enteng. Ini bisa merugikan maskapai dan mengancam keselamatan terbang. Overhaul mesin Boeing 737 yang kemasukan burung, misalnya, dapat menghabiskan biaya Rp 9 miliar. Hal seperti ini pernah terjadi di Bandara Internasional Juanda, Surabaya, Jawa Timur.
Bandara itu menggunakan penggebah berbasis suara—seperti di bandara Soekarno-Hatta, Jakarta—untuk mengusir burung-burung. Menurut Edie, sejawatnya di Jawa Timur sudah bekerja keras untuk mengatasi gangguan ini. Masalahnya, ”Setiap spesies burung berbeda frekuensi pendengarannya. Jadi, tidak semua bisa diusir dengan alat ini,” ujarnya. Tempo sudah menuliskan alat ini di rubrik ”Ilmu dan Teknologi” edisi 27 Oktober–2 November 2005.
Soal tim penolong bandara sudah diatur dalam keputusan Menteri Perhubungan tentang Sertifikasi Operasi Bandar Udara yang diterbitkan pada 2002. Radius yang masuk dalam areal tanggung jawab mereka adalah sekitar 8 kilometer dari pagar—bukan ”dari radar” seperti tertulis di Tempo pada edisi dua pekan lalu. ”Sukar menjangkau wilayah di luar pagar bandara dengan cepat. Bagaimana jika jalan macet?” kata Edie.
Akses tim penyelamat ke area di sekitar bandara amatlah penting. Statistik kecelakaan pesawat di dunia menunjukkan betapa petaka sering terjadi di sekitar bandara: saat lepas landas dan initial climb 17 persen, final approach dan mendarat 51 persen. Tapi, Edie menjamin, jika kecelakaan terjadi di dalam pagar bandara, tim penolong akan tiba paling lambat dalam tiga menit.
Cukup cepat, memang. Sedia ”payung” penyelamatan sebelum kecelakaan tentu perlu, tapi yang terpenting justru menghindarkan terjadinya petaka. Di sinilah pentingnya peran Air Traffic Services (ATS)/Air Traffic Control (ATC), karena merekalah yang mengatur lalu lalang pesawat di angkasa hingga mendarat di bandara.
Ternyata, di sini juga ada masalah. Sejumlah pilot mengeluhkan radar ATS di Indonesia yang kadang-kadang byar-pet. Tapi jika radar mati—dan menurut Edie ini amat jarang terjadi— tidak ada masalah dalam pengaturan lalu-lalang pesawat. ”ATC tetap mengetahui posisi pesawat melalui komunikasi radio dengan pilot,” kata dia.
Masalahnya, komunikasi antara petugas ATC dan pilot bisa terganjal oleh kurangnya kemampuan phraseology alias berbicara dalam bahasa penerbangan. Kadang tidak nyambung, mungkin akibat kelemahan bahasa pilot, petugas ATC, atau keduanya. Inilah yang mengakibatkan ada pilot asing merasa terbang tanpa ”kaca spion” alias minus bantuan ATS di udara Indonesia.
Kesulitan komunikasi antara ATS dengan pesawat juga bisa terjadi akibat soal sederhana saja, seperti call sign pesawat yang hampir mirip. Contohnya, (Adam Air) 257 dan (Sriwijaya) 257. ”Mestinya regulator menghindari penerbitan call sign seperti itu. Ini menambah tekanan kerja yang sudah tinggi,” ujar Slamet Pudjiono yang sudah 30 tahun bekerja di ATS Soekarno-Hatta.
Di ruang kerja Slamet, memang, terasa benar ada ketegangan. Para petugas ATS serius mengamati belasan monitor yang menayangkan noktah-noktah hijau. Noktah yang terus bergerak ini adalah pesawat yang ditangkap radar bandara. Sekilas ini seperti game. ”Tapi ini game yang tak boleh game over,” kata Slamet.
Bapak empat anak ini tahu betul rasanya nyaris game over. Suatu hari, pada 1997, pesawat dari Australia tujuan Singapura melintas di atas Jakarta pada ketinggian 10,5 kilometer. Catatan mengenai pesawat itu terjatuh di lantai. Akibatnya, ia luput menjadikannya sebagai pertimbangan saat memberi izin naik ke ketinggian 11 kilometer kepada pesawat lain yang lepas landas dari Soekarno-Hatta menuju Brunei. Wusss..., hampir terjadi tabrakan.
Insiden itu mendadak-sontak membuat Slamet tertekan. ”Saya dihantui bayangan kecelakaan, padahal bencana itu tak pernah terjadi,” ujar dia. ”Seminggu kemudian saya stroke,” katanya. Tempo memperoleh data dari Soerjanto Tjahjono, anggota Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), yang menyebutkan bahwa pada 15 Juli lalu di udara Surabaya, dua Boeing 737 milik Adam Air dan Air Asia nyaris bersenggolan. Jarak kedua pesawat itu paling tinggal 150 meter.
Penyebabnya belum jelas. Namun, Eko Rusniputra, Sekretaris Jenderal Masyarakat Peduli Angkutan Udara Komersial Indonesia, pernah menyatakan, di langit para pilot bisa saling salip. Demikian pula menurut Ketua Federasi Pilot Indonesia Manotar Napitupulu. ”Di udara bisa terjadi adu balap,” ujarnya. Tapi, Edie tak sepakat. Menurut dia, kabar adanya pesawat yang saling salip saat mendarat ”tendensius dan tidak akurat”.
Victor S.M. Situmorang, Kepala Divisi Pelayanan ATS Soekarno-Hatta, sempat menunjukkan kepada Tempo melalui layar monitor ATS-nya bagaimana para pilot beradu cepat mendarat. Balapan itu tidak terjadi pada pesawat di jalur yang sama dan masih jauh dari areal bandara. ”Pilot memang tak ubahnya sopir Metromini. Mereka ingin saling mendahului sampai di terminal,” ujar Victor.
Namun, menurut Victor, begitu akan mendarat, pihaknyalah yang memutuskan pesawat mana yang boleh landing duluan. Di sini peran ATS amat vital untuk menghindarkan terjadinya kecelakaan. ”Keputusan itu sepenuhnya berdasarkan pertimbangan profesional—berdasarkan kecepatan, ketinggian, hingga faktor cuaca,” ujarnya.
Karena peranannya yang vital, pengelola bandara pun memprioritaskan investasi di ATS. Pada radar yang merupakan tulang punggung ATS, misalnya. Angkasa Pura I tahun ini menginvestasikan Rp 100 miliar. Angkasa Pura II menginvestasikan sekitar Rp 300 miliar untuk sistem radar, keamanan, serta keselamatan lainnya. ”Ini mencerminkan prioritas kami pada keselamatan dan keamanan ,” ujar Edie.
Yosep Suprayogi, Adek Media Roza, Joniansyah (Tangerang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo