Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI kursi terdakwa, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri duduk terpaku. Sorot matanya lurus menatap hakim yang tengah membacakan putusan kasus dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang membelitnya. Ia serius menyimak. Tiba-tiba ia menyela pembacaan keputusan: ”Bukan memanggil itu.…” Ratusan pengunjung yang memadati ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Senin pekan lalu, tersentak.
Majelis hakim tengah membacakan kejadian tatkala Rokhmin memanggil Sekretaris Jenderal DKP, Andin H. Taryoto, untuk diberi tugas sebagai koordinator dana taktis. Kata ”memanggil” itu yang diprotes Rokhmin. Tapi hakim tak menggubris protes Rokhmin dan terus melanjutkan pembacaan putusannya. Setengah jam kemudian, Rokhmin kembali menyela. ”Yang mulia, saya tidak kuat lagi, saya sakit,” kata pria 49 tahun ini. ”Kalau caranya begitu, lebih baik saya dihukum saja,” katanya melanjutkan. Kali ini Mansyurdin Chaniago, ketua majelis hakim, tampak gelagapan. ”Ini pembacaan putusan, Saudara harus hadir. Saudara duduk saja di situ dan mendengarkan,” kata Mansyurdin. Rokhmin pun menurut. Memang, belum pernah terjadi seorang terdakwa memprotes kesimpulan hakim Pengadilan Tipikor di tengah pembacaan putusan.
Beberapa saat setelah pembacaan vonis dimulai, dosen teladan tingkat nasional 1995 itu terlihat kerap geleng-geleng kepala. Putusan yang dibacakan oleh lima hakim majelis secara bergantian itu akhirnya menyatakan pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat, itu terbukti melakukan korupsi. Hukumannya tujuh tahun penjara, lebih berat dari tuntutan jaksa.
Dalam tuntutannya, jaksa menuntut Rokhmin melakukan dua perbuatan korupsi. Pertama, melanggar Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi yang mengatur ihwal pemberian sesuatu kepada penyelenggara negara. Kedua, sebagai penyelenggara negara telah memaksa seseorang memberikan sesuatu, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau mengerjakan sesuatu untuk dirinya seperti yang diatur Pasal 12 huruf e. Kedua perbuatan itu, kata jaksa, dilakukan Rokhmin dengan Andin H. Taryoto, mantan Sekjen DKP, yang sudah divonis 1 tahun 6 bulan penjara. Jaksa menuntutnya dengan hukuman enam tahun penjara.
Dalam kesimpulannya, majelis hakim menyatakan bahwa Rokhmin pada 20 Februari 2002 mengadakan pertemuan dengan pejabat eselon satu dan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan seluruh Indonesia di kantor DKP di kawasan Pancoran, Jakarta. Di situ Rokhmin mengimbau agar para pejabat bersedia menyisihkan satu persen anggaran dan dana konsentrasi yang diterimanya. Rapat itu sendiri kemudian dipimpin Andin karena Rokhmin harus menghadiri sidang kabinet. Tapi, menurut hakim, lima atau enam hari sebelum rapat itu, Rokhmin telah ”memanggil” Andin. Di situlah Rokhmin menyampaikan pesan perlunya mengumpulkan dana untuk kegiatan yang tidak ditanggung APBN.
Sejak itu dana pun mengucur ke rekening DKP, termasuk dari pihak di luar departemen, seperti sejumlah perusahaan swasta, bank, dan bahkan tiga pemilik kapal pasir yang terkena perkara di Riau. Rokhmin, ujar hakim, juga menunjuk Didi Sadeli, staf Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau Kecil, sebagai staf khusus yang mengurus duit taktis tersebut. Dana yang terkumpul sekitar Rp 24 miliar itu—Rp 11,5 miliar di antaranya berasal dari penyisihan APBN—lantas mengucur ke mana-mana, baik untuk keperluan pribadi Rokhmin maupun untuk anggota DPR dan tim sukses calon presiden.
Sepanjang lima bulan bersidang, 36 saksi dipanggil untuk dimintai keterangan di depan sidang. Dari lima anggota majelis hakim, tiga di antaranya, I Made Hendra Kusuma, Andi Bachtiar, dan Dudu Duswara, mengatakan ”imbauan” yang disebut Rokhmin itu adalah paksaan. ”Karena disampaikan dalam forum resmi. Walau dirasakan sebagai sesuatu yang keliru, tapi terpaksa dilakukan,” kata Hendra. Apalagi, menurut Hendra, sejumlah saksi mengatakan mereka sebenarnya terpaksa menyetorkan dana tersebut. ”Karena mereka tidak mau dianggap aneh dalam bekerja dan tidak loyal kepada atasan.”
Adapun dua hakim lainnya—kebetulan keduanya hakim karier—Mansyurdin Chaniago dan Moerdiono, sepakat hanya perbuatan gratifikasi yang terbukti. ”Saksi-saksi mengaku menyerahkan secara sukarela. Tapi, karena didesak berulang kali, mereka mengaku terpaksa. Pengakuan ini tidak bisa dijadikan pertimbangan hukum,” kata Mansyurdin. ”Karena satu unsur tidak terpenuhi, dakwaan Pasal 11 UU Korupsi tidak bisa berlaku untuk seluruhnya,” kata Mansyurdin lagi. Namun kedua hakim ini menyatakan Rokhmin terbukti menerima hadiah berupa uang Rp 1,995 miliar dan S$ 5.000, serta sebuah mobil Toyota Camry.
Rokhmin divonis tujuh tahun penjara dan denda Rp 200 juta, lebih berat ketimbang tuntutan jaksa. ”Sampai mati saya mengaku tak bersalah. Ini pengadilan zalim,” kata mantan Ketua Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Kelautan Institut Pertanian Bogor ini. Hakim, ujar Rokhmin, tidak menyinggung pengguna atau penerima dana lain, seperti Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini, Freddy Numbery. ”Kalau Pak Freddy benar, saya seharusnya juga benar,” katanya. Rokhmin langsung, hari itu pula, mendaftarkan banding di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kepada Tempo, I Made Hendra Kusuma mengatakan, vonis Rokhmin itu justru ringan. Alasan Made, hakim tidak melihat dakwaan jaksa, melainkan rumusan Pasal 12 UU Korupsi yang mengatur rentang hukuman 4 tahun penjara hingga maksimal 20 tahun penjara. ”Untuk soal hukuman tersebut, majelis sepakat bulat,” kata Made. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengusut kasus Rokhmin ini, Suwarji, menyatakan puas atas putusan hakim. ”Kami mau apa lagi? Putusan hakim justru lebih tinggi dari tuntutan kami,” katanya.
Kendati dana itu mengucur ke mana-mana, putusan hakim sama sekali tak menyinggung status para pengguna dan penerima dana. Andi Bachtiar menyatakan, dana itu seharusnya dikembalikan ke negara. Pengembalian dana tersebut, katanya, sepenuhnya hak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ”Kami hanya membahas materi yang didakwakan,” kata Andi.
Ketua KPK Taufiequrachman Ruki menyebut kesalahan utama Rokhmin memang melakukan pemungutan itu. Dana yang dikumpulkan Rokhmin, menurut Taufiequrachman, juga tidak tepat disebut dana nonbujeter. ”Karena itu dana APBN yang sudah jelas alokasi anggarannya,” katanya. ”Jadi, Rokhmin memotong dana anggaran resmi untuk kegiatan lain yang tidak boleh dilakukan.”
Menurut Taufiequrachman, Rokhmin mengumpulkan dana untuk kepentingan dinas dan pribadi yang sebenarnya sudah dianggarkan. Untuk kegiatan nelayan, misalnya, sudah ada anggaran di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Demikian juga pembelian mobil, yang anggarannya sudah ada di Sekretaris Jenderal. ”Jadi, kenapa harus memungut dari anggaran lain?” kata Taufiequrachman.
Namun, terhadap penerima dana itu, KPK, kata Taufiequrachman, tidak bisa melakukan penuntutan. ”Komisi hanya bisa menerima dalam konteks gratifikasi. Itu pun batas waktunya 30 hari,” katanya. Selepas jangka waktu tersebut, KPK, katanya, tidak berwenang. Pengusutan dan sanksi terhadap penerima, seperti anggota DPR, menjadi kewenangan Badan Kehormatan DPR. ”Seharusnya demikian pula di organisasi atau lembaga lainnya,” katanya.
Arif A. Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo