Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Terancam Sampah Antariksa

Sampah antariksa terus bertambah. Belum ada usaha serius mengurangi benda rongsokan di angkasa. Indonesia paling terancam dihujani benda dari langit.

23 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah peristiwa langka terjadi sekitar 788 kilometer di atas Siberia, Rusia, dua pekan lalu. Dua buah satelit bertabrakan saat melaju dalam kecepatan 24.120 kilometer per jam. Akibatnya, ratusan lempengan logam dalam berbagai ukuran bertebaran. Dari bumi, insiden itu terlihat berupa kilatan putih.

Satelit Rusia Cosmos dan Iridium 33 milik Amerika Serikat, yang bertabrakan itu, hancur lebur. Cosmos, berbobot 900 kilogram dan diluncurkan pada 1993, adalah satelit militer Rusia yang sudah tak aktif. Iridium, 700 kilogram dan diluncurkan pada 1997, merupakan satelit komunikasi yang dimiliki antara lain oleh Motorola.

Tak ada korban jiwa dalam tumbukan spektakuler itu. Namun para ilmuwan dunia khawatir insiden tersebut semakin menambah jumlah sampah kosmos di atas kepala kita. Ini sangat berbahaya karena benda-benda itu dapat jatuh ke bumi kapan pun dan di mana pun. Penerbangan luar angkasa juga menjadi semakin berisiko.

Dalam lima tahun terakhir, jumlah sampah antariksa melonjak lebih dari 60 persen. Pada 2004 jumlah sampah antariksa yang terdeteksi radar (ukuran lebih besar dari 10 sentimeter) sekitar 8.100 keping. Saat ini jumlahnya sudah mencapai 13.000 lebih. Artinya, rata-rata ada penambahan 1.000 serpih­an sampah antariksa setiap tahun.

”Yang ukurannya lebih kecil dan tak terdeteksi oleh radar bisa mencapai ratusan ribu. Sampah-sampah ter­sebut­ berupa badan roket atau pecahan satelit,” kata Thomas Djamaluddin, peneliti utama astronomi-astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) di Bandung.

Meski berukuran kecil, benda anta­riksa ini sangat berbahaya. Mereka bergerak dengan kecepatan sangat fantastis, mencapai ribuan kilometer per jam. Pada 1983, kaca pelindung pesawat ulang-alik Challenger, misalnya, harus diganti gara-gara serpihan cat menghantamnya. Ukuran serpihan itu hanya 0,3 milimeter, namun berjalan dalam kecepatan 14 ribu kilometer per jam, yang mengakibatkan keretakan.

Tabrakan antara dua benda antariksa di orbit bumi kali ini merupakan peristiwa yang kedua. Yang pertama terjadi pada 24 Juli 1996. Ketika itu satelit bu­atan Prancis Cerise dihantam sampah ledakan roket Ariane, yang digunakan untuk membawa satelit Spot 1. Insiden itu menyebabkan penyeimbang gravitasi Cerise rusak parah.

Insiden yang menimpa satelit Rusia dan Amerika di atas Serbia bukan tak terdeteksi sebelumnya. Para ilmuwan Eropa sudah memperkirakan peristiwa itu bakal terjadi, tapi mereka kesulitan memetakan secara pasti titik koordinatnya. ”Banyaknya benda antariksa yang bertebaran membuat kami kesulitan menentukan jalur pasti dari dua satelit tersebut,” ucap Philippe Goudy, Deputi Pusat Pengendali Luar Angkasa Prancis di Toulouse.

Menurut Goudy, sejak wahana ruang angkasa pertama Sputnik 1 buatan Uni Soviet diluncurkan pada 1957, hingga kini belum ada peraturan yang diakui secara global atas lintasan orbit bumi. Ini berbeda dengan jalur pesawat terbang, yang sudah jelas aturan mainnya.

Kolonel T.S. Kelso, mantan Direktur Pusat Analisis Luar Angkasa Amerika Serikat, menyatakan tabrakan seperti itu seharusnya tak terjadi jika negara yang memiliki satelit mau membagi informasi secara terbuka soal lintasan yang digunakan. ”Jika tak mau membagi data serinci mungkin, bukan mustahil tabrakan akan terulang, bahkan lebih sering,” kata Kelso.

Peluang kembali terjadinya benturan antara dua benda antariksa di orbit bumi diperkirakan kian besar. Itu lantaran orbit rendah bumi—200 hingga 2.000 kilometer dari permukaan laut—bertambah sesak. ”Di sana terdapat banyak satelit kecil yang mengorbit,” ucap Djamal.

Secara umum benda antariksa dapat dikelompokkan dalam empat jenis orbit: orbit rendah bumi, orbit geosinkron, orbit menengah bumi, dan orbit transfer. Di antara keempatnya yang paling padat adalah orbit rendah bumi. Untuk satu kali perjalanan mengitari bumi, sebuah satelit membutuhkan waktu 90 menit dengan kecepatan 28.800 kilometer per jam. Satelit eksperimen dan pengindraan jauh pada umumnya berada di orbit ini.

Kepadatan berikutnya terjadi di or­bit geo­sinkron, dengan ketinggian 35.786 kilometer. Dibutuhkan waktu 24 jam untuk satu kali mengitari bumi dengan kecepatan 10.800 kilometer per jam. Satelit telekomunikasi dan peng­amat cuaca berada pada orbit ini, dengan inklinasi (kemiringan terhadap bidang ekuator) 0 derajat dan dikontrol terus agar berada pada titik stasioner. Itu sebabnya orbit ini disebut juga sebagai orbit geostasioner.

Orbit menengah berada pada 2.000 hingga 35.786 kilometer. Satelit navigasi seperti global positioning system (GPS) milik Amerika Serikat dan glo­bal na­vigation satellite system (Glonass) milik Rusia berada di orbit yang juga dikenal sebagai intermediate circular orbit ini. Sedangkan jenis orbit transfer meng­antar satelit dari orbit rendah ke orbit geosinkron.

Sesaat setelah menempati posisi orbit yang ditetapkan, pada umumnya satelit tak lagi dikendalikan dari bumi. Hanya satelit stasioner yang tetap dipantau dan dikendalikan. Iridium termasuk satelit yang tak dikendalikan. Ada sekitar 600 satelit seperti itu. ”Tak mungkin kami terus-menerus memantau semua satelit. Yang diperlukan adalah mengatur inklinasi dan waktu lin­tasnya,” ucap Bryan Whitman, juru bicara Pentagon.

Satelit juga memiliki masa hidup: masa hidup operasional dan masa hidup orbital. Masa hidup operasional terkait dengan fungsi. Biasanya sebuah satelit hanya dirancang untuk berfungsi dalam hitungan belasan tahun, bahkan ada yang beberapa bulan. Masa hidup orbital terkait dengan waktu edar satelit di luar angkasa dan bisa mencapai puluhan hingga ribuan tahun, tergantung ketinggian­nya.

Masa hidup satelit di orbit juga bergantung pada hambatan atmosfer. Semakin rendah satelit mengorbit, semakin besar hambatan atmosfernya. Dengan begitu, semakin lama pula masa hidupnya. Namun, kera­patan atmosfer ini dipengaruhi oleh aktivitas matahari. Semakin tinggi aktiv­itas matahari, semakin rendah kerapat­an atmosfer, yang selanjutnya peluang satelit jatuh ke bumi semakin besar.

Bentuk orbit juga berpengaruh. Benda antariksa yang mengorbit berbentuk lingkaran akan lebih tahan lama dibandingkan dengan yang mengorbit berbentuk elips. ”Satelit dengan masa hidup operasional yang pendek harus ditempatkan di orbit rendah. Sebab, ketika sudah tak berfungsi, diharapkan akan cepat jatuh ke bumi dan bisa mengurangi sampah di antariksa,” ujar Djamal.

Setiap satelit ataupun sampah antariksa yang mengelilingi bumi membutuhkan energi untuk bergerak. Gaya gravitasi bumi menjadi sumber energi penggerak itu. Namun benda-benda di orbit rendah ini juga mengalami gerak jatuh. Akibatnya, setiap bulan ada saja sampah antariksa yang jatuh ke bumi.

Beruntung, hingga kini belum ada benda jatuh dari langit yang dilaporkan menimpa daerah permukiman. Di Indonesia, sampah antariksa pernah jatuh di dekat daerah perumahan di Bengkulu. Sampah bekas satelit Rusia jatuh di perkebunan penduduk.

Usaha untuk mengurangi sampah antariksa pernah dilakukan oleh beberapa negara. Pada 11 Januari 2007, pemerintah Cina mencoba menjatuhkan satelit Feng Yun -1C dengan menembakkan misil balistik antisatelit. Namun hanya sebagian yang jatuh ke bumi. Sisanya masih beterbangan di luar angkasa.

Pada 20 Februari tahun lalu satelit NRO L-21 juga dijatuhkan. Sebuah misil SM-3 dilontarkan dari kapal perang USS Lake Erie dengan peluncur Aegis Ballistic Missile Defense System. Hasilnya juga masih kurang optimal.

Banyaknya sampah antariksa yang bertebaran membuat negara yang belum memiliki kemampuan meluncurkan roket ke luar angkasa sering terimbas getahnya. Lantas, adakah kompensasi bagi negara yang kejatuhan rongsokan satelit milik negara lain?

Menurut Djamal, sudah ada­ hukum internasional yang meng­aturnya. Ini pernah terjadi di Kanada. Sebuah satelit Rusia jatuh di sana. Pemerintah Kanada lalu mengklaim dan mendapat ganti rugi. ”Tapi saat itu ­urusannya sedikit rumit karena satelit Rusia itu bermuatan nuklir,” katanya.

Dilihat dari distribusi, sampah antariksa ini merata di atas semua be­nua. Namun yang terbanyak berada di sekitar daerah ekuator, karena semua satelit melewati garis ini. Jadi, wilayah Indonesia paling berpeluang besar kejatuhan satelit. Mungkin sudah saatnya kita sedia payung sebelum kejatuh­an satelit.

Firman Atmakusuma (berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus