Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Enjang Hidayat tampak serius menyirami hamparan pasir hitam dekat warung makan miliknya. Menggunakan ember dan gayung, tak sejengkal pun timbunan pasir tersebut yang luput dari siramannya. ”Kalau panas seperti ini harus sering disirami,” katanya kepada Tempo dua pekan lalu.
Jika terik menerpa, debu halus dari pasir hitam tersebut membuat napas sesak. Sela kaki, hidung, dan bagian belakang telinga juga terasa panas dan gatal. Enjang hanya bisa pasrah. Sebab, di atas hamparan pasir hitam yang tak lain adalah limbah batu bara itulah ia harus menghidupi keluarganya.
Tak hanya Enjang yang merasakan dampak buruk limbah batu bara. Di sepanjang 16 kilometer ruas jalan Tomo hingga Asem, Kabupaten Sumedang, terdapat sekitar 50 pedagang lain. Hampir enam tahun mereka tinggal di sana. Selama kurun waktu itu pula hidup mereka tak senyaman sebelumnya.
Limbah batu bara itu memang sengaja dipakai para pedagang untuk menimbun tebing di pinggir jalan. Tujuannya agar warung mereka tak terlalu dekat dengan ruas jalan, yang dinilai berbahaya bagi arus lalu lintas. Ketika mereka mencari cara untuk menimbun tebing itu, datang tawaran dari sopir truk untuk menimbunnya dengan limbah batu bara.
Lantaran awalnya tak mengetahui bahaya yang dapat ditimbulkan, mereka pun setuju saja. ”Apalagi kami tak perlu membayar sepeser pun untuk menimbun. Cukup menerima saja,” kata Enjang, 33 tahun. Jika menimbun menggunakan batu dan pasir, kata dia, diperlukan biaya lebih dari Rp 10 juta.
Proyek penimbunan dengan menggunakan limbah batu bara ini tergolong ilegal. Namun, menurut para pedagang, ”ada orang” dari Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Barat yang merestui. Mereka diperbolehkan menimbun areal masing-masing seluas 200 meter persegi.
Kegiatan tersebut hingga kini masih berlangsung. Ada beberapa bagian tebing yang belum ditimbun. Meski begitu, bukan berarti aktivitas ini berlangsung terang-terangan. Sopir truk harus kucing-kucingan dengan petugas Dinas Perhubungan atau kepolisian. Jika tertangkap tangan, mereka pun membayar denda.
Tisna, sopir truk pengangkut batu bara, mengaku bisa mengeluarkan uang hingga Rp 200 ribu untuk aparat keamanan, baik dari Dinas Perhubungan maupun kepolisian. ”Kalau tak ketahuan, uang kami utuh. Tapi, kalau ketahuan, ya, kami harus bayar,” katanya.
Mengangkut batu bara dari pelabuhan Cirebon menuju pabrik tekstil di kawasan Rancaekek, Kabupaten Bandung, adalah pekerjaan rutin yang dilakukan Tisna. ”Biasanya saya membawa 31 ton batu bara,” katanya.
Namun, saat pulang, ia diminta membawa limbah batu bara oleh pemilik pabrik. Imbalannya Rp 500 ribu untuk satu truk. Ia pikir, daripada muatan kosong, lebih baik diterima saja. Yang menjadi persoalan, ke mana limbah batu bara itu dibuang. Pemilik pabrik jelas tak mau tahu.
Beruntung bagi Tisna, sepanjang ruas jalan antara Bandung dan Sumedang banyak permintaan limbah batu bara. Gunanya, ya itu tadi, untuk menimbun tebing. Ia pun mengaku tak pernah kesulitan menemukan tempat untuk membuang limbah tersebut. Lokasinya berbeda-beda. ”Sesuai permintaan saja,” katanya.
Dampak negatif dari limbah batu bara tak hanya dirasakan oleh mereka yang berada di atas tebing. Komara pun merasakan getahnya. Sehari-hari lelaki berusia 45 tahun ini biasa mencari ikan dan udang kecil di Sungai Cipeles, yang terletak hanya 50 meter dari tebing yang ditimbuni limbah batu bara itu.
Namun, sejak tiga tahun lalu, ia mulai kesulitan mendapat ikan atau udang, terutama pada musim hujan. Menurut dia, ketika hujan turun, air Sungai Cipeles berubah warna menjadi kuning kemerahan. ”Ikan dan udang pun dipastikan tak ada,” katanya. Selain itu, ia mengaku kulitnya sering terasa gatal dan panas bila berendam di air sungai.
Limbah batu bara, seperti yang tertuang dalam Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), dikategorikan sebagai bahan beracun berbahaya (B3). Ia bersifat meracuni, mudah terbakar, bereaksi, merusak, mencemari lingkungan, dan membahayakan kesehatan manusia baik secara langsung maupun tak langsung.
Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa batu bara menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbon penyebab kanker tenggorokan dan kanker paru. Limbah juga dapat meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan dan penyakit pernapasan kronis lainnya seperti bronkitis dan emfisema. Zat beracun yang terkandung dalam batu bara antara lain sulfur, merkuri, arsenik, selenium, dan fluorida.
Produksi limbah batu bara dari industri tekstil di Bandung dan sekitarnya diperkirakan mencapai 200 hingga 300 ton per hari. Memang, sudah ada upaya untuk membuat tempat pembuangan akhir (TPA) limbah batu bara di Kabupaten Bandung, namun hingga kini realisasinya masih tersendat.
Proyek pembuatan TPA limbah batu bara sebenarnya sudah disetujui Bupati Bandung, namun Bappeda Kabupaten Bandung belum memberikan lampu hijau. Sebab lokasi pembuangan di Desa Wangisagal, Majalaya, tak sesuai dengan rencana tata ruang Kabupaten Bandung. Akibat belum ada kejelasan ke mana limbah batu bara tersebut harus dibuang, para sopir truk akhirnya tetap membuang limbah tersebut di sepanjang ruas jalan Bandung dan Sumedang.
Riyono, staf Sumber Daya Buatan (SDB) Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sumedang, mengaku telah mengetahui aktivitas penimbunan limbah batu bara itu. Namun ia tak bisa berbuat banyak karena pihaknya tak memiliki sumber daya manusia serta dana yang cukup untuk melakukan pengawasan.
Kepala Polsek Paseh, AKP Nop Subiarto, mengaku sudah mengimbau para pedagang agar tak memakai limbah batu bara. ”Bahkan kami sudah memasang papan pengumuman untuk melarang dan menerima limbah batu bara,” katanya. Namun keesokan harinya papan itu hilang. Nop mengaku tak bisa berbuat banyak. Menurut dia, hingga kini dinas terkait, termasuk Badan Lingkungan Hidup, kecamatan, dan kepala desa belum melakukan tindakan apa pun.
Yogi, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Cirebon, menyatakan selama ini sejumlah pengusaha asal Bandung memang menginginkan agar limbah yang dihasilkan dibawa kembali oleh sopir truk ke Cirebon. ”Mereka mau beli (batu bara) asalkan limbahnya juga dibawa lagi,” katanya.
Menurut Yogi, jika masuk kembali ke Cirebon, kondisi kota akan sangat berbahaya. ”Semua batu bara kan berasal dari Cirebon,” katanya.
Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat Persatuan Rakyat Tani dan Industri (Praktisi) Jawa Barat, Rudhi M. Noor, menyatakan polisi seharusnya segera bertindak mencegah aktivitas penimbunan limbah batu bara yang terus berlanjut itu. ”Ini sudah merupakan kejahatan lingkungan,” katanya.
Firman Atmakusuma, Ivansyah (Cirebon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo