Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Lakon Anak Senen

Memoar Misbach Yusa Biran merekam jejak dan sejarah film Indonesia. Penuh cemooh kocak.

23 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENANG-KENANGAN ORANG BANDEL
Penulis: Misbach Yusa Biran
Penerbit: Komunitas Bambu Jakarta, 2008
Tebal: xviii + 326 halaman
Harga: Rp 65.000

MINAT Misbach Yusa Biran terhadap film mengalahkan keinginan lulus dari sekolah menengah atas. Ketika teman-temannya di Taman Siswa, Kemayoran, Jakarta Pusat, tegang menempuh ujian akhir, dia malah nglencer dengan sepeda dari studio ke studio film, melamar menjadi kru. Cita-citanya satu: menjadi sutradara.

Meski minat awalnya menulis sajak, Misbach lebih senang dengan teater karena pertunjukannya selalu sukses. Bersama Sjuman Djaja dan S.M. Ardan, ia mementaskan naskah-naskah Utuy Tatang Sontani dan Usmar Ismail.

Tapi tak ada studio yang mau menerima anak SMA pada 1953, meski Misbach mau dijadikan apa saja tanpa gaji. Siswa SMA dianggap terlalu luhur hanya menjadi kru. Pujian menjadi sutradara di sekolah tak menggoyahkan orang studio menerimanya bekerja.

Kesempatan itu datang setahun kemudian, langsung dari Usmar Ismail, sutradara terkenal dari studio Perfini yang semula menolaknya. Usmar terkesan oleh kritik Misbach atas film Mera­tjoen Soekma di majalah Aneka. Perfini menawarinya menjadi pencatat skrip dengan gaji Rp 250 per bulan. Film pertama yang ditanganinya adalah Heboh karya Nyak Abbas Acup. Sejak 1954 itulah karier Misbach sebagai orang film dimulai.

Melalui memoar ini Misbach mencatat hidupnya yang 70 tahun untuk memo­tret sejarah film Indonesia. Karena itu bukan semata dia yang menjadi aktor di buku ini. Nama legenda film bermunculan dengan peran mereka pada hidup Misbach dan dunia film. Pertentangan se­niman film Kiri dan non-Kiri ia singgung dengan antusias. Dari Misbach kita tahu, bukan semata ideo­logi para seni­man 1960-an bentrok. Motif ekonomi, persaingan, gengsi, lebih kental sebagai latar belakang perselisihan.

Tentu saja bagian utama dan terpen­ting dari buku ini adalah episode Misbach membangun Pusat Perfilman Usmar Ismail di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Ia menyebut periode hidupnya itu sebagai era menjadi idealis. Gedung arsip film—ia menyebutnya sinematek, saduran dari kata Prancis çinémathèque—yang berdiri tahun 1975 itulah tonggak dan te­rtinggal Misbach yang paling berharga.

Seorang diri, tanpa gaji memadai dan referensi, Misbach membangun sinematek Indonesia dengan mengumpulkan pelbagai film di tengah cibiran se­sama seniman. Bahkan ketika sudah jadi pun tak ada orang yang mau mene­ngoknya. Waktu itu di Asia baru India yang punya arsip film. Saking asingnya, Gubernur Ali Sadikin selalu melafalkannya ”simeletek”.

Kesibukannya itu menyita waktu Misbach menulis skenario yang honor­nya lebih jelas. Ia sering menolak pembuatan naskah drama dari TVRI. Pemain film Nani Wijaya, istrinya, sampai harus menjajakan buku dan berjualan sirop agar dapurnya tetap ngebul. Sejak menikah dengan Misbach, Nani mandek main film. Misbach sempat diprotes oleh penggemar dan se­sama pemain film karena ”menyuruh Nani hamil terus”. Tiga dari enam anak pertama mereka lahir pada tahun yang berdekatan.

Toh, meski hidup susah begitu, Misbach menjalaninya dengan enteng. Ia pantang mundur jika sudah punya mau. Pergaulannya di Senen—jantung Jakarta pada 1950-an—mengajari­nya gigih tanpa kehilangan selera humor. Maka periode Senen ini ia ceritakan agak panjang dibanding masa kecil dan sekolah. Ia merekam segala kejadian di sana. Seniman dan penjahat berbaur jadi satu dan saling tukar posisi, seperti ia ceritakan dalam kum­pulan cerita pendek Keajaiban di Pasar Senen. Siapa sangka pemimpin copet-gelandangan di sana menulis drama Si Manis Jembatan Ancol pada 1955.

Memoar ini memikat terutama karena cara bertutur Misbach dan lakon hidupnya yang penuh drama: runut, jelas, jernih, jenaka, sesekali mengharukan, meski pada beberapa tema ia mengomel. Yang mengharukan, misalnya, ketika ia dan Nani harus mengangkut properti pameran film ke Taman Ismail Marzuki. Nani waktu itu sedang hamil besar anak ketiga. Atau ketika Misbach bercerita seputar meninggalnya pemain sinetron Sukma Ayu, anak bungsunya, yang disiarkan berhari-hari di televisi.

Tentu saja semua cerita dan sejarah ­dalam memoar ini subyektif dan tak lengkap. Seperti kata Ajip Rosidi dalam ­pe­ngantar, orang-orang yang disebut dalam buku ini harus juga me­nulis se­jarah dari kacamatanya sendiri agar fakta yang disajikan Misbach bisa ter­uji.

Bagja Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus