Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Terapi plasma konvalesen untuk pasien Covid-19 di Indonesia akan memasuki uji klinis fase 2. Tahap pertama sudah dilalui di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat atau RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, dengan hasil menunjukkan terapi donor plasma darah berisi antibodi dari pasien yang sudah sembuh itu aman dan tidak memberi efek samping untuk pasien yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro mengungkap itu dalam konferensi pers mengenai Pengembangan Vaksin, Terapi dan Inovasi Covid-19, Selasa 20 Oktober 2020. "Aman, tidak ada efek samping dan disimpulkan lebih baik diberikan untuk pasien dengan gejala sedang," katanya dalam konpers yang digelar daring itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Bambang, uji klinis fase dua akan dilakukan melibatkan pasien Covid-19 yang lebih luas, yakni di 29 rumah sakit. Bersama uji klinis lanjutan itu, Bambang mengungkapkan, dikembangkan pula alat ukur kadar antibodi spesifik Covid-19 dalam tubuh oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Bisa digunakan pula di era vaksinasi--saat vaksin Covid-19 sudah tersedia--nanti, Bambang menerangkan, "Alat bisa mengukur apakah muncul immunity yang cukup tinggi pasca terapi dan berapa lama dia akan bertahan."
Dalam kesempatan itu Bambang menerangkan pengembangan lain yang sedang dilakukan di bawah koordinasi Kementerian Ristek/BRIN terkait inovasi Covid-19. Di antaranya adalah uji validasi tahap dua yang dilakukan terhadap GeNose, alat deteksi Covid-19 lewat embusan napas pasien yang dikembangkan tim peneliti di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Ada pula pengembangan rapid swab test berbasis antigen yang dikembangkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Juga modifikasi mobile lab BCL 2 untuk menambah kapasitas testing di daerah-daerah dari bentuk kontainer menjadi bus.
"Pada akhir tahun ini diharapkan GeNose maupun RT-Lamp bisa mulai diproduksi secara luas," kata Menristek sambil menambahkan, "Ini akan meringankan beban biaya karena lebih murah daripada PCR, tak memerlukan laboratorium, namun akurasi tinggi."