Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Program Studi Astronomi di Institut Teknologi Bandung (ITB) tergolong jurusan langka di Indonesia. Menurut Ketua Program Studi Astronomi ITB Hesti Retno Tri Wulandari, setiap tahun pihaknya menyiapkan 50 kursi bagi mahasiswa baru program sarjana. “Sebanyak 60 persen melalui jalur peminatan,” katanya Rabu, 16 Februari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Hesti, astronomi itu unik sehingga perlu mahasiswa yang punya minat khusus. Mereka tidak cukup hanya menyukai gambar-gambar bagus tentang astronomi. “Untuk menekuninya sebagai ilmu, sekolah, itu beda cerita,” ujarnya. Tujuan para pengajarnya ingin mendidik orang yang minat daripada pintar tapi tidak berminat.
Selain itu, sebagian dosen Astronomi ITB ikut juga membantu program studi Sains Atmosfer dan Keplanetan di Institut Teknologi Sumatera (Itera) Lampung yang dibuka pada 2018. Sementara di universitas lain, kata Hesti, astronomi tidak menjadi jurusan.
Mengutip dari laman resminya, program studi Astronomi didirikan 1951 atau sebelum ITB dibentuk pada 1959. Tonggaknya ketika pendiri Observatorium Bosscha yang tergabung dalam Perhimpunan Astronomi Hindia Belanda atau NISV (Nederlandsch-Indische Sterrekundige Vereeniging) menyerahkan asetnya ke pemerintah Indonesia. Peresmian jurusan itu disertai pengukuhan Gale Bruno van Albada sebagai Guru Besar Astronomi.
Kini untuk dapat masuk ke tahap Program Studi Astronomi, mahasiswa harus dapat menyelesaikan Tahun Persiapan Bersama (TPB) di lingkungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam maksimum selama dua tahun. Total mahasiswa harus menyelesaikan minimal 144 sistem kredit semester (SKS) maksimal dalam 12 semester.
Mata kuliahnya seperti Matematika, Fisika dan Kimia Dasar, Bahasa Inggris, Astrofisika, Mekanika, Statistika dalam Astronomi, Tata Surya, Medan Elektromangnetik. Menurut Hesti, jenjang S1 masih generik atau umum. “Kalau dia mau jadi astronom yang beneran itu harus sampai S3,” kata Hesti.
Dari hasil penelusuran ITB dan program studi, pekerjaan para lulusan kebanyakan masih dekat dengan keilmuan Astronomi seperti menjadi ilmuwan di lembaga riset, pengajar, atau bekerja di bidang teknologi informasi, serta analisis data. “Memecahkan persoalan yang kompleks itu yang kemudian akan terpakai di tempat kerjanya,” kata Hesti.
Ada juga alumni yang membuat eduwisata terkait astronomi seperti Imah Noong di daerah Lembang. Selain itu juga membuat kubah-kubah untuk teleskop di berbagai sekolah untuk pengamatan astronomi. “Orang Astronomi bisa bekerja seperti itu, sangat terbuka untuk mereka yang berinovasi,” ujarnya.
ANWAR SISWADI