Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Tertarik Cendekia Kebun Raya

Reorganisasi di Kebun Raya Bogor memunculkan kontroversi. Penarikan peneliti dikhawatirkan mengubah misi utama sebagai kawasan konservasi menjadi tempat wisata.

13 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengunjung di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, Maret 2017. TEMPO/Frannoto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDENGAR kata “reorganisasi”, pikiran Ibnu Maryanto melayang ke masa sekitar 30 tahun silam. Kala itu, profesor riset bidang zoologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tersebut adalah anggota baru tim peneliti yang ditempatkan di Kebun Raya Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur. “Karena ada reorganisasi dengan terbentuknya Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, saya dan tiga peneliti lain ditarik ke kantor pusat penelitian di Bogor,” kata Ibnu, Senin, 11 Maret lalu.

Ibnu menganggap penarikan peneliti dari Kebun Raya Purwodadi membuat jalan penelitian dan konservasi tumbuhan terhenti. “Di kebun hanya ada teknisi yang melakukan pengamatan. Tapi hasil pengamatan tak diolah atau dianalisis karena itu menjadi keahlian peneliti,” ujarnya. Dampaknya, Ibnu melanjutkan, kebun yang didirikan untuk mengkonservasi tumbuhan tropis dataran rendah kering secara ex situ atau pelestarian di luar habitat asli itu menjadi sekadar taman.

Nasib yang mirip dialami Roemantyo di Kebun Raya Bogor lantaran aturan yang terbit pada 1986. Bedanya, pegawai yang masuk Kebun Raya Bogor pada 1975 itu justru ditinggalkan peneliti yang ditarik ke Lembaga Biologi Nasional. “Banyak orang asing di Kebun Raya Bogor itu rata-rata peneliti, kok, malah peneliti Indonesia-nya tak ada,” tutur pensiunan pegawai LIPI yang kini membantu dinas kehutanan di beberapa provinsi untuk membangun taman keanekaragaman hayati itu.

Menurut Roemantyo, Kebun Raya Bogor tanpa penelitian adalah nol. “Jadinya yang dilakukan hanya mengelola tempat itu jadi rapi, bersih, dan nyaman. Tidak ada yang mengamati pertumbuhan tanaman atau meneliti potensi tumbuhan,” ucap pengurus koleksi polong-polongan di Kebun Raya Bogor itu. Peneliti di Pusat Penelitian Biologi, kata dia, sibuk dengan penugasan sehingga perhatian pada kebun terkesampingkan.

Melihat kondisi yang dianggapnya tidak wajar itu, Roemantyo berniat mengajukan diri menjadi peneliti. Ternyata pemimpin kebun, yang baru menjabat, juga berpikir bahwa perlu ada peneliti yang mengamati kebun. “Permohonan saya dikabulkan. Waktu itu Pak Sampurno Kadarsan kepalanya. Jadilah saya peneliti pertama di Kebun Raya Bogor,” ujarnya, bangga.

Angin perubahan juga bertiup di kebun raya lain, termasuk di Purwodadi. Ibnu mengatakan, setelah tak ada selama empat tahun, pengangkatan peneliti pun berlangsung. Hingga sebelum bergulir reorganisasi tahun ini, jumlah peneliti di sana 20 orang. “Penarikan peneliti itu kebijakan yang salah, buktinya kan dikoreksi,” tutur peneliti spesialis kelelawar dan tikus itu. “Sekarang Kepala LIPI malah mengulanginya.”

Awal tahun ini, Kepala LIPI Laksana Tri Handoko menerbitkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kebun Raya Bogor, yang terkena aturan itu, harus turun kelas dari pusat konservasi tumbuhan di level eselon II menjadi balai konservasi tumbuhan, yang setingkat eselon III. Posisi Kebun Raya Bogor setara dengan Kebun Raya Cibodas, Kebun Raya Purwodadi, dan Kebun Raya Eka Karya Bali.

Profesor riset bidang taksonomi tumbuhan yang pernah menjadi Kepala Kebun Raya Bogor, Dedy Darnaedi, mengatakan turunnya status Kebun Raya Bogor tidak perlu membuat geger. Menurut dia, Kebun Raya Bogor sudah terkenal sebelum ada jabatan eselon. “Zaman profesor Didin Sastrapradja itu eselon IV, tapi sudah melanglang buana. Waktu saya memimpin itu eselon III, sudah bikin pertemuan internasional,” kata Dedy.

Penyetaraan keempat kebun raya itu, menurut Dedy, justru bertujuan baik, yakni menciptakan kompetisi terbuka. Dia menyarankan, dalam reorganisasi, kepala pusat penelitian tidak merangkap jabatan sebagai kepala kebun raya. “Kalau merangkap, memberikan kesan sementara dan tidak efektif,” ucap mantan Kepala Pusat Penelitian Biologi LIPI itu.

Pelaksana tugas Kepala Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya, R. Hendrian, mengatakan, dengan reorganisasi, tugas serta fungsi penelitian dan pengembangan kebun raya diemban pusat penelitian. “Sedangkan tugas lain, yakni pendidikan lingkungan dan pemeliharaan kebun terkait dengan konservasi ex situ, menjadi tugas dan fungsi balai konservasi tumbuhan,” ujarnya.

Menurut Ibnu Maryanto, inilah pangkal masalahnya. Lantaran riset menjadi tugas dan fungsi pusat penelitian, semua peneliti di kebun raya LIPI akan ditarik ke Bogor. “Saya sulit membayangkan seperti apa koordinasi dan pengawasan terhadap mereka di daerah,” tuturnya. “Dampaknya, birokrasi makin panjang, sementara problem biasanya datang mendadak.”

Pensiunan peneliti madya Kebun Raya Bogor, Boeadi, 84 tahun, melihat perubahan besar bila membandingkan kondisi saat ini dengan ketika dia masih bekerja di situ. “Dulu Kebun Raya Bogor ini tempat penelitian, sekarang banyak dipakai untuk pesiar, disediakan bus dan ada penyewaan meja segala macam,” ujarnya. Boeadi juga melihat banyak papan nama pohon yang dipasang pada zaman Belanda hilang. “Jadi ke mana orang yang mau belajar?”

Hendrian menegaskan, tidak ada penarikan peneliti dari kebun raya. Menurut dia, istilah penarikan itu mungkin untuk menjelaskan afiliasi administratif saja. “Peneliti ini dicatat sebagai orang pusat penelitian, tapi secara fisik tetap berada di kebun,” dia menerangkan. “Di Kebun Raya Bogor, para penelitinya tetap di situ, mengamati obyek yang ada di Bogor dan membantu upaya konservasi di situ.”

Ia mengatakan para peneliti berada di bawah kendali Kepala Bidang Pengelolaan Penelitian. Agar koordinasi dan pengawasan lebih efektif, di tiap kebun raya ditunjuk koordinator peneliti yang menjadi kepanjangan tangan kepala bidang.

Menurut Hendrian, bukan hanya peneliti yang tetap berada di kebun raya, semua fasilitas risetnya pun tak akan dipindahkan. Kebun Raya Bogor, misalnya, masih punya herbarium, bank biji, rumah kaca, laboratorium kultur jaringan, dan Laboratorium Treub. “Di lantai dua dan tiga gedung ini (Gedung Utama Kebun Raya) ada ruang-ruang peneliti. Penelitinya sama dengan beberapa tahun lalu,” Hendrian menambahkan.

Sebagai bukti, Kepala Bidang Pengelolaan Penelitian Arief Hidayat memperlihatkan ruang-ruang peneliti dan aktivitas di Laboratorium Treub. Peneliti muda Arief Noer mengatakan ada lima periset di lab itu. Peneliti bidang nutrisi tanaman itu dengan bangga memamerkan spektrometri atom terbaru. “Hanya ada dua di Indonesia, di sini dan di Badan POM,” katanya.

Arief Noer mengaku memulai penelitian untuk pengayaan koleksi Kebun Raya Bogor menggunakan skema pendanaan in-house research. Ia sedang menyelidiki penyebab tumbangnya pohon-pohon di Kebun Raya Bogor. Salah satu sampel penelitiannya adalah pohon leci tertua—berumur 194 tahun—di kebun raya itu yang tumbang pada 2017.

Fokus risetnya adalah kondisi tanah di kebun. “Untuk pohon leci itu, Kami curiga mengapa pohon yang begitu besar tidak memiliki akar ke dalam, melainkan ke samping berupa akar serabut,” ujarnya. “Apakah tanahnya terlalu subur sehingga akar menjadi malas, atau sebaliknya, tanah di bawah itu dangkal dan tidak subur?” tutur Arief Noer, yang menargetkan penelitian tersebut rampung akhir tahun ini.

Riset untuk pengayaan koleksi juga dilakukan para peneliti di laboratorium kultur jaringan. Laboratorium itu menempati bangunan sementara di seberang Garden Shop karena lokasi asalnya sedang direnovasi atas bantuan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Martha Della Rahayu selaku koordinator di laboratorium kultur jaringan mengatakan lab itu mengoleksi 19 spesies dari 44 spesies anggrek kritis yang menjadi prioritas untuk dikonservasi segera. “Contohnya anggrek bulan raksasa Phalaenopsis gigantea dan Dendrobium tobaense,” ucap peneliti yang akrab disapa Eka ini. Laboratorium itu, kata dia, memiliki koleksi 125 jenis. Beberapa jenis sudah bisa diperbanyak dan dikirim untuk diaklimatisasi di rumah kaca. Dari laboratorium kultur jaringan, Eka menjelaskan spesies anggrek yang telah digandakan dan akan diberikan ke bagian koleksi sebagai prioritas pertama, juga ke Orchidarium (rumah anggrek), Griya Anggrek, dan kebun raya daerah, serta dijadikan suvenir untuk acara-acara penting. Selain menumbuhkan anggrek, Eka melanjutkan, laboratorium itu memperbanyak spesies kantong semar dan talas-talasan.

Eka menyatakan isu pemindahan peneliti dari kebun raya tak mempengaruhinya dan tujuh peneliti lain di laboratorium itu. Mereka tetap bekerja seperti biasa. “Penelitian tetap berjalan dan masih ada siswa dan mahasiswa yang magang,” ujarnya. Dia juga mengatakan perihal pemindahan biarlah menjadi urusan pimpinan.

Ibnu Maryanto tetap yakin pemindahan peneliti akan terjadi. “Saat ini dihentikan karena adanya protes dan demo,” tuturnya. Pemindahan pegawai administrasi, kata dia, sudah banyak terjadi. “Pegawai bawahan juga akan dibenturkan dengan hukum bila terjadi pohon tumbang seperti tahun 2015. Ini efek dari pencabutan ISO 9001 dan tidak adanya SOP,” ucapnya.

Pemindahan pegawai administrasi, menurut R. Hendrian, juga hanya bertujuan menjelaskan afiliasi administratif. “Jika pekerjaannya di Kebun Raya Bogor, tentu tak dipindahkan ke Jakarta,” ujarnya. Dia mengungkapkan, muncul kesan negatif akibat pencabutan ISO 9001—akreditasi sistem manajemen mutu dari lembaga QCert. Padahal yang terjadi adalah nomenklatur dan lingkup sertifikasi berubah sehingga harus ada penyesuaian. “Bukan karena kami gagal memenuhi prosedur atau menganggap ISO tak penting lagi.”

Menurut Dedy Darnaedi, kisruh terkait dengan reorganisasi ini meresahkan sebagian pegawai. Ia memberikan contoh ada keluhan dari tenaga honorer yang khawatir diberhentikan karena reorganisasi ini hendak memposisikan Kebun Raya Bogor sebagai satuan kerja yang berorientasi bisnis. “Reorganisasi ini kurang komunikatif. Jika sosialisasi bagus dan dilakukan bertahap, pasti tak ada masalah,” katanya.

Hendrian juga menampik isu kebun raya berubah menjadi tempat wisata. “Saya orang pertama yang sedih kalau Kebun Raya Bogor ini menjadi ‘Taman Mini’,” tuturnya. Menurut dia, khitah kebun raya sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2011, yaitu kawasan konservasi tumbuhan secara ex situ. “Ada tugas dan fungsi wisata, tapi wisata yang sifatnya pendidikan lingkungan,” ucapnya.

Dedy dan Hendrian sepakat soal LIPI sebagai pengelola kebun raya karena mendapat mandat sebagai lembaga keilmuan tingkat nasional. “LIPI pun diakui IUCN (Uni Internasional untuk Konservasi Alam) sebagai institusi ilmiah resmi dalam penetapan status kelangkaan biodiversitas. Apakah ini bisa digantikan pemerintah daerah?” Dedy menegaskan lagi bahwa tanah dan infrastruktur kebun raya Indonesia sudah menjadi aset LIPI.

Jepang dan Cina, Dedy melanjutkan, memiliki model kebun raya beragam. Pengelolanya bisa perguruan tinggi, pemerintah daerah, atau swasta, tapi mereka memiliki asosiasi kebun raya yang menjalankan kaidah perkebunrayaan. “Kalau di Cina, otoritasnya berada di Chinese Academy of Science, sementara di Jepang digilir di antara universitas,” Dedy memberikan contoh.

DODY HIDAYAT, ANWAR SISWADI (BANDUNG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus