Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAYAT Doorstoot (Butet Kartaredjasa) berbalut jubah putih terbujur kaku di ranjang. Anggota keluarganya menangis dan mengerumuni dia. Arwah koruptor yang berkuasa selama 32 tahun ini bangkit karena jasadnya tak bisa dikuburkan. Rohnya bergentayangan memburu “SKKB” (surat keterangan kematian yang baik) sebagai syarat agar jasadnya bisa dimasukkan ke liang lahad. “Aku ingin mati sebaik-baiknya, seadil-adilnya, sehormat-hormatnya,” kata Doorstoot.
Teater Gandrik naik pentas lagi dengan komedi yang bertolak dari kematian. Berjudul Para Pensiunan: 2049, tontonan ini bercerita tentang bagaimana pensiunan jenderal, politikus, dan hakim pada 2049 tak akan bisa dimakamkan bila tak punya SKKB. Latar pentas di Taman Budaya Yogyakarta pada Senin-Selasa, 8-9 April lalu, itu dibuat mirip sebuah permakaman (di Jakarta, mereka akan tampil di Ciputra Artpreneur Theater pada 25-26 April dengan harga tiket tertinggi Rp 2 juta dan terendah Rp 200 ribu). Adegan dimulai dengan dua penggali kubur yang sedang bekerja menggunakan alat-alat mereka.
Bukan pertama kali kematian menjadi subyek pementasan komedi teater kita. Naskah Putu Wijaya, Gerr, misalnya, berkisah tentang tokoh bernama Bima yang telah meninggal. Ketika peti matinya akan diturunkan ke liang lahad, ia mengetuk-ngetuk peti itu dan hidup kembali. Di pekuburan, ayah, ibu, istri, anak, saudara, tetangga, dan tamu awalnya menangis, sedih. Disaksikan penjaga kubur, mereka bersaksi tentang kebaikan Bima.
Putu menjepret potret kemunafikan masyarakat kita secara kocak saat Bima bangkit. Sebab, tatkala Bima hidup lagi, justru semua anggota keluarga menginginkan dia tetap mati karena ternyata seluruh hartanya telah habis mereka bagi. Bahkan istrinya berencana kawin dengan sahabat terdekat Bima. Bima sadar bahwa orang-orang terdekatnya selama ini tidak sepenuh hati mencintainya.
Lakon Gandrik menyajikan situasi parodi dari pekuburan yang hampir “senada”. Namun, sementara Putu Wijaya murni mengolah parodi kalimat-kalimat dan tingkah laku aktor spontan dari situasi-situasi “absurd” dan “gokil” yang terjadi di pekuburan, Gandrik mengarahkan adegannya secara sadar ke satu hal: banyolan politik. Semua celotehan ungkapan aktor diserempetkan ke situasi aktual .
Para aktor Gandrik tampil mengenakan kostum ala Eropa Abad Pertengahan. Selintas kostum yang mereka gunakan mirip pakaian noni dan menir Belanda. Mulanya memang latar pentas ini akan dibuat sebagai “ruangnya” Belanda, tapi rencana itu batal karena dirasa menghambat ekspresi aktor.
Juru doa, yang dimainkan Gunawan Maryanto, memulai kelucuan. Kepada keluarga Doorstoot, ia menawarkan berbagai tipe doa dengan banderol harga masing-masing untuk mengantarkan arwah. Bila tidak dilengkapi SKKB, mayat koruptor akan dicacah-cacah dijadikan abon. Di panggung, berulang kali melintas seseorang berpakaian bak malaikat pencabut nyawa menyeret jenazah-jenazah yang tak bisa dikubur dan bakal dicincang.
Butet sepanjang pertunjukan tak banyak bergerak ke sana-ke mari seperti lazimnya penampilan dia bersama Gandrik sebelumnya. Butet biasanya banyak berjalan, melompat, bicara dengan dialog yang panjang. Kali ini dia lebih banyak berbaring, duduk, dan hanya sedikit berjalan menggunakan tongkat. Itu karena dia harus ekstra hati-hati. Kondisi fisiknya belum pulih betul setelah dia menjalani operasi jantung dan pemasangan ring. “Semua blocking off sound hilang. Sutradara mengurangi setelah saya operasi,” ujarnya selepas pertunjukan.
Toh, Butet tetap mampu tampil dengan suara yang kuat dan bertenaga saat berdialog. Sutradara Djaduk Ferianto memang telah menyiapkan berbagai skenario agar Butet lancar memainkan perannya. Misalnya Djaduk naik ke panggung bersama para pemain musik di tengah pertunjukan sebagai jeda sejenak untuk memberi Butet waktu beristirahat.
Monolog-monolog panjang Susilo Nugroho sebagai Kerkop (juru kunci) yang tengil sangat membantu memecah dialog Butet. Susilo masih menjadi andalan Gandrik. Dia motor utama Gandrik dalam memproduksi sentilan-sentilan, lelucon, tentang situasi politik terbaru yang bernas. Susilo terampil mengolah aneka gimmick yang memancing penonton tertawa. Dan, malam itu, meluncur dari mulutnya berbagai istilah yang populer dalam khazanah politik mutakhir kita: “dungu”, “fiksi”, “filsafat”, “umur 70 operasi plastik”.
TEMPO/Shinta Maharani
Naskah Para Pensiunan: 2049 ini menyadur karya Heru Kesawa Murti (almarhum) berjudul Pensiunan yang dibuat pada 1986. Agus Noor dan Susilo mengadaptasi naskah Heru. Tapi Susilo kemudian berkali-kali merombak total naskah yang ditulis ulang oleh Agus Noor. Naskah awal dari Agus menggunakan dialog yang sangat Jawa dan islami dalam adegan pemakaman. Susilo merombak naskah menjadi lebih universal. Sebab, dia khawatir akan timbul masalah. Meski begitu, tetap saja terasa unsur seremoni agama dalam pemanggungan. Misalnya doa-doa kematian yang khas dalam tradisi Kristen.
Susilo pun memotong jumlah adegan dari 15 menjadi 7. Selain itu, naskah Agus Noor yang tidak memunculkan orang yang dimakamkan di pengujung adegan ia ubah dengan menampilkan juru kunci yang dikubur. “Pemanggungan seratus persen berubah dari yang sebelumnya sangat filmis,” kata Susilo.
Djaduk tidak memaksudkan panggung Gandrik kali ini sebagai pentas khusus menjelang pemilihan umum. “Kebetulan saja tahun politik. Kami memotret problem korupsi dan kongkalikong penguasa yang terjadi di negara mana pun,” ucapnya. Toh, tetap saja muncul sindiran-sindiran tentang hal-hal hot menjelang Pemilu 2019. Misalnya saat Gunawan Maryanto berdialog dengan Butet dan Susilo. Butet tiba-tiba menyeletuk, “Rukun agawe sentosa.” Gunawan menimpali, “Bersatu kita teguh, bercerai jangan dipilih.” Penonton tertawa.
Saat karya ini dimainkan di Jakarta nanti, tentu dinamika sentilan politik akan berkembang karena pemilu sudah selesai. Dan situasi sosial seusai pemilu pasti akan menjadi materi banyolan kritis lain Gandrik. Di situlah Gandrik sebagai kelompok teater akan menunjukkan kemampuan fleksibilitasnya.
Klimaks pertunjukan terjadi saat Doorstoot tetap tak bisa dikubur karena tak punya SKKB. SKKB malah diperoleh Kerkop si juru kunci. Beramai-ramai semua tokoh lantas berteriak agar Kerkop dikubur. Kerkop, yang masih segar bugar, memprotes karena dipaksa kerumunan. Dia memohon-mohon dan memberontak agar tak dikubur. “Saya ini masih hidup, masih hidup….”
SHINTA MAHARANI, SENO JOKO SUYONO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo