Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Adu Komentar Berujung Penganiayaan

Seorang siswi sekolah menengah pertama di Pontianak dianiaya siswi SMA hingga terbaring di rumah sakit dan mengalami trauma berat. Polisi terkesan lamban.

13 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Empat dari 12 siswi SMA yang diduga menjadi pelaku dan saksi penganiayaan siswi SMP berinisial ABZ, di Markas Kepolisian Resor Kota Pontianak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tetamu datang silih berganti membesuk gadis empat belas tahun yang tengah terbaring di salah satu kamar di lantai tiga Rumah Sakit ProMedika, Pontianak Selatan, Kalimantan Barat, pada Rabu, 10 April lalu. Mereka yang menjenguk di antaranya Ifan “Seventeen” serta YouTuber Atta Halilintar dan Ria Ricis. Sudah hampir sepekan ABZ dirawat di sana karena menjadi korban penganiayaan belasan siswi sekolah menengah atas teman kakak sepupunya.

Kasus penganiayaan ini ramai di media sosial setelah muncul tanda pagar alias tagar keprihatinan atas nama korban di Twitter, Facebook, dan Instagram. Ada juga petisi yang menyerukan agar para pelaku penganiayaan segera dihukum. Ada tiga orang yang disebut di media sosial sebagai pelaku utama. Sembilan pelajar teman pelaku hanya menonton tanpa menolong korban. Penganiayaan diduga dipicu oleh persoalan asmara antara salah seorang pelaku dan kerabat korban serta saling ejek komentar di media sosial.

Awalnya informasi di media sosial menyebutkan korban dirisak oleh sebelas siswi SMA hingga kemaluannya bengkak. Setelah memvisum korban, menurut Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan Rumah Sakit Bhayangkara Kalimantan Barat Sucipto, pihaknya tak menemukan tanda kekerasan di area tersebut. “Tidak ada penganiayaan di area sensitifnya. Tidak seperti yang disebutkan media sosial,” kata Sucipto pada Rabu, 10 April lalu.

Karena visum dilakukan satu pekan setelah peristiwa pengeroyokan terjadi, menurut Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat Inspektur Jenderal Didi Haryono, pihaknya tidak menemukan tanda kekerasan di sekujur tubuh korban. “Hasil visum tidak ada tanda-tanda kekerasan apa pun,” ujar Didi.

Keluarga korban memang baru melaporkan kasus pengeroyokan ini kepada polisi sepekan setelah peristiwa itu terjadi. Li-liek Meiliani, ibu korban, baru mengetahui anaknya menjadi korban penganiayaan setelah mendapati ABZ kerap terbangun dari tidur sembari berteriak. “Setelah saya tanya, dia baru mengaku menjadi korban penganiayaan teman kakak sepupunya,” ucap Liliek.

Hingga Rabu sore, polisi belum memeriksa korban karena ia masih dirawat di rumah sakit. Penyidik Kepolisian Resor Kota Pontianak baru memeriksa ibu korban dan empat siswi SMA yang mengetahui pengeroyokan tersebut. Pemeriksaan para remaja yang mengeroyok korban ini sempat ramai diperbincangkan di media sosial karena mereka merekam aktivitas sebelum pemeriksaan di kantor polisi sembari bersenda gurau di akun Instagram masing--masing.

Kepada polisi, orang tua korban melaporkan tiga nama sebagai terduga pelaku. Sampai Rabu siang, polisi belum menetapkan tersangka kasus itu. “Tapi kasusnya sudah naik ke penyidikan,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian RI Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo.

Sore harinya, Presiden Joko Widodo memberikan pernyataan atas kasus tersebut. Jokowi meminta Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian menangani kasus pengeroyokan ini secara tegas. “Sudah saya perintahkan Kapolri untuk menangani ini sesuai dengan prosedur hukum, tegas,” kata Jokowi.

Tak sampai tiga jam, Kepala Polres Kota Pontianak Komisaris Besar Anwar Nasir mengumumkan penetapan tiga tersangka kasus tersebut, yakni FZ alias LL, 17 tahun; TR alias AR (17); dan NB alias EC (17). Anwar mengatakan penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik memeriksa sejumlah saksi dan menerima hasil rekam medis dari Rumah Sakit ProMedika, Pontianak. “Mereka juga mengakui perbuatannya menganiaya korban,” ucap Anwar.

Karena tersangka masih anak-anak, polisi menjerat ketiganya dengan Pasal 76C juncto Pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak tentang kekerasan terhadap anak dengan ancaman tiga tahun enam bulan penjara. Sesuai dengan undang-undang ini, penyelesaian di luar pengadilan atau diversi dimungkinkan asalkan sesuai dengan ketentuan dan disepakati kedua belah pihak. Permintaan maaf para pelaku bisa menjadi modal untuk penyelesaian secara damai. Hanya pelaku dengan ancaman hukuman di bawah tujuh tahun penjara yang bisa menempuh penyelesaian di luar pengadilan.

Polisi serta Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah Pontianak sudah dua kali melakukan diversi. Pertama pada 5 April lalu. Salah satu pelaku sempat meminta maaf atas tindakan kekerasan terhadap ABZ. “Saya menyesal atas kelakuan saya ini,” kata anak berkerudung cokelat dengan terisak-isak. Hal yang sama dikatakan remaja yang mengenakan kerudung biru. Dia menyatakan juga sebagai korban. “Saya dituduh pelaku oleh semua, padahal saya tidak ada di lokasi. Saya disebut provokator,” ujarnya.

Mereka menjelaskan bahwa pertikaian bukan dipicu oleh persoalan asmara. Pacar sepupu korban disebut bekas pacar satu remaja yang melakukan pengeroyokan. Tapi mereka mengatakan penganiayaan terjadi lantaran ABZ menyebutkan orang tua LL sering berutang. Mereka juga membantah adanya penusukan area kewanitaan ABZ. “Kami berkelahi, bukan mengeroyok. ABZ juga melawan,” kata salah seorang pelaku.

Diversi berikutnya digelar pada 11 April lalu. Tapi keluarga korban tetap berkukuh kasus ini diproses secara hukum. Sebab, menurut ibunda korban, Liliek Meiliani, penganiayaan ini membuat anaknya menjadi pemurung karena trauma. “Saya tidak mau damai. Saya mau kasus ini selesai hingga pelakunya jera. Saya ingin mereka dihukum,” ujarnya. Menurut Liliek, penganiayaan terhadap anaknya terbilang kejam.

Kepada polisi, ABZ menjelaskan kronologi pengeroyokan yang terjadi kepadanya. ABZ mengaku sedang berboncengan sepeda motor dengan PP, sepupunya. Di tengah perjalanan, ada dua motor yang mengikuti mereka. Sesampai di Jalan Sulawesi, tepi Sungai Kapuas, ABZ dan PP tiba-tiba dicegat dari arah belakang. Pelaku TR kemudian menyiramkan air dan menarik rambut ABZ sehingga ia terjatuh ke jalan. Pelaku lain, EC, lalu menginjak perut dan membenturkan kepala ABZ ke jalan. ABZ lantas melarikan diri bersama PP menggunakan motor, tapi kembali dicegat TR dan LL di Taman Akcaya, tak jauh dari Jalan Sulawesi.

Di lokasi ini, ABZ kembali dipiting TR dan selanjutnya LL menendang bagian perut korban. Sembilan bocah lain menonton dan membiarkan peristiwa itu. Perkelahian ini kemudian dilihat warga. Para pelaku ketakutan dan lari tunggang-langgang.

Ketua Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah Eka Nurhayati mengatakan akar permasalahan berawal dari adu komentar ABZ di media sosial. “Motifnya masalah asmara,” kata Eka.

Kakak sepupu korban berinisial PP mempunyai mantan pacar yang saat ini berhubungan dengan D, salah satu pelaku. ABZ banyak berkomentar di akun media sosial milik D, sehingga memancing emosi pelaku. Pelaku lain, LL, tidak terima atas komentar korban yang menyebutkan utang ibu LL. “Padahal ibu LL sudah meninggal,” ucap Eka. Utangnya senilai Rp 500 ribu kepada teman korban.

ASEANTY PAHLEVI (PONTIANAK)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus