DENGAN sebotol minyak di tangan, Prof. Djamilus Zainuddin menggelar pameran teknologi di depan mahasiswanya, Sabtu dua pekan silam, di Kampus Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang. Mulut botol minyak itu dihubungkan dengan selang ke karburator sebuah mobil Toyota Kijang. Begitu distarter, mesin Kijang itu menderum, dan para mahasiswa pun bertepuk riuh. Minyak di tangan Djamilus itu memang bukan sembarang minyak. ''Ini minyak dari getah karet,'' ujar guru besar dari Fakultas Teknik Kimia Unsri itu. Minyak jenis itu, kata Djamilus, tak pernah dilirik para pakar kimia untuk diangkat sebagai bahan alternatif pengganti minyak bumi. ''Saya tak pernah mendengar ada orang Indonesia yang mencobanya,'' tuturnya. Sebagai bahan bakar, kata Djamilus, minyak karet itu tak kalah dari premium. Selama test drive di kampus Unsri itu, menurut Djamilus pula, kinerja Kijang yang dipakai sebagai kelinci percobaan itu tak mengecewakan. ''Tarikannya bagus dan knalpotnya bersih,'' ujar alumni Teknik Kimia UGM 1965 itu. Minyak nabati itu, tutur Djamilus, mampu meraih bilangan oktan 84 cuma tiga angka di bawah bensin dan gas buangannya bebas dari polutan belerang serta timah hitam. Minyak karet itu, kata Djamilus, memiliki bentuk yang hampir serupa dengan minyak bumi. Yang diuji coba Djamilus itu, misalnya, adalah minyak yang memiliki rantai C sepanjang 1015 unit karbon dari jenis alkana C10H16 sampai C15H32. Rumus bangun senyawa minyak karet ini mirip minyak tipe alifatik, rantai karbonnya terbuka. Alkana minyak karet itu, menurut Djamilus, diturunkan dari senyawa butadien alias unit isopren yang ''diperas'' dari karet kering (krep). Untuk mendapatkan isopren itu, dosen Unsri itu memanggang potongan-potongan krep lewat proses yang disebut pirolisis pemanasan dalam reaktor kecil yang hampa udara. ''Pirolisis itu akan menghasilkan crude oil, minyak mentah,'' ujar Djamilus, 59 tahun. Ia perlu empat tahun untuk penelitian itu. Dalam proses pirolisis tersebut, karet kering ini mula-mula menghasilkan gas putih. Ketika suhu reaktor naik menjadi 100160 derajat Celsius, muncul cairan bening. Kalau suhu dinaikkan lagi, cairan kuning kecokelatan mulai menetes. Di atas suhu itu, cairan yang muncul berwarna hijau lumut. Dan di akhir proses, suhu reaktor 280350 derajat Celsius, keringat dari potongan karet itu berwarna hijau kehitaman. Semua cairan itu dikumpulkan menjadi satu. Warnanya kehitaman. Djamilus menyebutnya minyak mentah. ''Secara fisik memang persis minyak bumi mentah,'' ujarnya. Dan minyak itu gampang terbakar. Namun, minyak itu belum boleh disebut BBM, tapi masih berupa unit isopren, alias polimer karet dalam fase cair. Untuk menjadikannya lebih siap bakar, Djamilus melakukan distilasi. Pada pemanasan sampai 80 derajat Celsius, diperoleh destilat bening: unit isopren berantai karbon pendek, yang mutunya hampir sebaik avtur. Kalau proses berlanjut sampai 205 derajat, mutu destilatnya mendekati bensin. Dan di suhu yang lebih tinggi lagi, destilatnya selevel solar. ''Makin tinggi titik didihnya, minyak semakin berat, mutunya lebih rendah,'' tambah Djamilus. Tapi proses itu saja belum cukup. Daya bakar isopren itu masih tak sebagus BBM. Sebab, minyak itu tergolong tak jenuh masih banyak ikatan rangkap antara atom C dan H di senyawa itu. Akibatnya, pembakaran tak optimal. Maka, ikatan rangkap itu harus dibongkar lewat proses hidrogenasi. Minyak itu direaksikan dengan gas hidrogen, dengan katalisator nikel, di bawah tekanan 2 atmosfer. Hasilnya, bensin yang diturunkan minyak karet ini beroktan 74. Lo, kok masih rendah? Rupanya, hidrogenasinya kurang mulus. Sesuai dengan teori, proses itu harus berlangsung dengan campur tangan alkohol. Maka, oleh Djamilus dimasukkanlah metanol pada proses hidrogenasi. Bensin minyak karet itu pun melonjak menjadi 84 oktan. Tapi, dalam bensin itu tercampur 50% metanol. Djamilus mengaku mendapatkan ide minyak karet itu dari zaman Jepang. Ketika itu, menjelang remaja, dia sempat melihat serdadu Jepang menggunakan getah karet untuk menjalankan jip dan truk militernya. Kendati batuk-batuk, mesin perang itu toh bisa jalan. Keinginan membuat minyak karet itu makin menggebu saat ia memikirkan bahwa orang Amerika membuat karet sintetis dari minyak bumi. ''La, kalau mau membuat minyak dari karet, kan prosesnya tinggal dibalik,'' ujarnya. Tentu tak sesederhana itu. Ide melakukan pirolisis justru muncul ketika ia membaca laporan riset seorang sarjana Jerman. Pirolisis lateks oleh sarjana Jerman itu ternyata menghasilkan minyak mentah. ''Saya cuma melanjutkannya,'' ujarnya. Dengan bermodal Rp 6,9 juta, Djamilus bisa mewujudkan mimpinya. Namun, Dr. Saswinadji Sasmodjo, Kepala Pusat Penelitian Energi ITB, menanggapi riset Unsri itu dengan skeptis. Ia meragukan efisiensinya, dari segi teknis dan ekonomis. ''Kalau diperlukan satu juta barel minyak sehari, misalnya, berapa puluh juta hektare karet harus ditanam?'' ujarnya. Soal itu pula, katanya, yang membuat ide minyak karet, yang pernah terlontar tahun 1970-an, tak mendapat sambutan dari para peneliti energi alternatif. Efisiensi memang soal penting. Untuk menghasilkan 0,6 kg minyak karet mentah, misalnya, diperlukan 1 kg krep. Harap maklum, harga krep yang bagus Rp 1.200/kg. Putut Trihusodo (Jakarta), Ahmad Taufik (Bandung), dan Hasan Syukur (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini