DUA puluh lima tahun yang lalu, 1968, di Teheran digelar Konferensi Hak Asasi Manusia Sedunia. Tetapi konferensi itu sepertinya tak meninggalkan bekas. Asosiasi orang tentang hak asasi manusia selalu terpusat pada tahun 1948, saat lahirnya Universal Declaration on Human Rights. Deklarasi itu dianggap sebagai tonggak sejarah hak asasi manusia, karena semua deklarasi dan konvensi hak asasi yang lahir setelah tahun 1948 sampai hari ini berakar dan bertumpu pada deklarasi tersebut. Sementara itu, di kalangan masyarakat hukum internasional deklarasi itu sudah dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional (international customary law) yang mengikat. Deklarasi itu, bersama Piagam PBB, dianggap sebagai dua serangkai dokumen utama yang merupakan pilar utama hukum internasional sesudah Perang Dunia II. Dan ini bukan statemen omong kosong. Buktinya, semua negara di dunia, setidaknya dalam retorika, mengakui terikat pada deklarasi tersebut. Artinya, semua negara sebetulnya menyatakan setia dan hormat pada hak asasi manusia. Sejarah mencatat bahwa retorika sering sekali merupakan dunia yang asing. Lihat saja negara eks-Uni Soviet yang konstitusi dan retorikanya menunjang demokrasi dan hak asasi manusia tetapi kenyataannya malah menunjukkan perilaku antidemokrasi dan hak asasi manusia. Tetapi disparitas antara retorika dan realitas ini bukan hanya monopoli negara eks-Uni Soviet. Hampir semua negara di dunia dihadapkan pada disparitas ini. Amerika, misalnya, menurut Amnesti Internasional adalah negara yang paling banyak menghukum mati anak di bawah umur, sementara retorika cinta pada hak anak begitu kuat. Amerika pulalah yang masih terus secara sistematis menindas hak-hak orang Indian yang merupakan warga asli di benua tersebut. Konferensi Hak Asasi Manusia yang akan digelar 14-25 Juni ini di Wina diharapkan menjawab akar masalah kenapa cerita-cerita duka tentang hak asasi manusia itu tak pernah berhenti. Kenapa sekarang sepertinya ada arus mundur dalam pemikiran hak asasi manusia yang menyuarakan lahirnya konsep lokal (indegenous) hak asasi manusia yang berbeda dari satu komunitas budaya ke komunitas budaya lainnya? Jadi, hak asasi manusia itu tidaklah universal. Sikap ini digarisbawahi oleh Deklarasi Bangkok yang dilahirkan oleh negara-negara Asia yang bersiap-siap untuk berangkat ke Wina. Ini adalah suatu kemunduran serius, dan kita semua mesti hati-hati menghadapi wabah pikiran yang counterproductive ini. Apalagi Deklarasi Bangkok menekankan mutlaknya konsep kedaulatan nasional dalam hak asasi manusia sehingga implementasi hak asasi manusia itu bergantung pada negara yang bersangkutan. Pola pikir ini berbahaya karena akhirnya hanya negara yang berhak menentukan hak asasi mana yang berlaku dan mana yang tidak berlaku. Agenda Konferensi Wina sebetulnya bukanlah melahirkan deklarasi hak asasi manusia yang baru. Dari segi ide hak asasi manusia sudah sangat kaya karena sejak tahun 1948 sudah lahir lebih dari 50 deklarasi yang mencakup aspek sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Hak asasi pun tidak lagi dilihat sebagai kumpulan hak individual. Hak kolektif dan komunal menempati posisi yang terhormat dalam tatanan hak asasi manusia yang dianut oleh PBB, seperti hak akan pembangunan, hak akan perdamaian, dan hak akan lingkungan. Lebih dari itu, hak asasi manusia juga dilihat sebagai kepedulian bersama umat manusia dalam artian tidak lagi ada klaim bahwa urusan itu hanya urusan domestik suatu negara. Apalagi dalam kasus terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang brutal. Alasan inilah yang membuat kita berhak marah dan mengutuk pelanggaran hak asasi manusia di Bosnia, Somalia, Cina, Afrika Selatan, dan di mana saja. Kalau kita membaca Resolusi PBB No. 45/155 dan No. 47/122, akan jelas bahwa Konferensi Wina ini punya target yang tidak muluk, yaitu pengukuhan komitmen (reaffirmation) akan hak asasi manusia dan pendayagunaan mekanisme pelaksanaan hak asasi manusia (enforcement) agar lebih efektif. Jadi, Konferensi Wina itu menawarkan forum untuk kritik-otokritik. Diharapkan agar wakil 180 negara dan ratusan LSM yang akan hadir di Wina nanti bisa mencari arah baru dalam pendayagunaan hak asasi manusia dengan mengidentifikasi hambatan dan tantangan yang dihadapi di masa depan. Secara khusus Konferensi Wina diharapkan bisa mencari upaya memperkuat pembangunan dan demokrasi dalam perspektif hak asasi manusia yang sering berkait atau indivisible. Yang juga penting buat Konferensi Wina adalah meningkatkan bujet hak asasi manusia dalam PBB. Kalau kita ingin meningkatkan efektivitas program hak asasi PBB sementara bujet hak asasi manusia hanya sekitar 1% dari anggaran total PBB, kita hanya mimpi. Minimal anggaran itu 5% dari anggaran total PBB. Tanpa peningkatan anggaran, semua perangkat hak asasi seperti Komisi Hak Asasi Manusia PBB tidak akan bisa berbuat banyak. Jadi, kita tidak perlu berpikir tentang dibentuknya UN High Commissioner of Human Rights seperti yang diusulkan oleh pemerintah Amerika. Selain itu, kita pun perlu menekankan kembali prinsip impartiality dan non-selectivity dalam hak asasi manusia, karena ini yang sering dilanggar. Ada standar ganda di banyak negara. Amerika baru memperpanjang status most favored nation (MFN) bagi Cina padahal pelanggaran hak asasi tetap merajalela. Seharusnya, status MFN Cina ini dicabut, tetapi di sinilah standar ganda itu karena Cina penting buat Amerika secara politik dan ekonomi. Di Dunia Ketiga hal ini pun terjadi dengan penolakan kondisionalitas hak asasi manusia bagi bantuan pembangunan padahal tujuan akhir pembangunan sebetulnya adalah perbaikan hak asasi manusia. Mengapa Dunia Ketiga marah kalau negara pemberi bantuan mengingatkan soal perbaikan hak asasi manusia? Bukankah hak asasi manusia itu merupakan kepedulian setiap bangsa dan manusia karena hak asasi itu sifatnya universal?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini