TIBA-TIBA air laut surut di siang hari bolong. Itu terjadi Jumat
19 Agustus lalu, di pantai Awang, Lombok Selatan. Ketika itu
masih ada nelayan yang hanya berdiri bengong. Mereka tak sadar
bahwa gejala itu - yang sudah didahului pula oleh gempa ringan
setengah jam sebelumnya -- justru merupakan tanda awal bahaya
besar yang mengintai di balik katulistiwa: tsunami. Artinya,
gelombang pasang air laut karena gempa dangkal di kerak dasar
laut. (dalam bahasa Jepang, tsu-nami = gelombang pasang).
Hanya 10 menit sesudah air surut, gelombang pasang berkecapatan
700 Km/jam itu serta merta melabrak pantai selatan Lombok,
Sumbawa, Sumba, Bali dan Nusa Penida. Gelombang samudera Hindia
yang bersumber di kerak dasar laut di mana lempeng benua
Indo-Australia menghunjam ke bawah lempeng Eur-sia menyapu
pantai Awang sampai 200 meter. Keadaan lebih buruk di pantai
Lunyuk, Sumbawa Selatan. Gelombang malah lebih jauh ke
pedalaman: 400 meter.
Dan begitu dahsyatnya gempa di kerak dasar laut itu, getarannya
terasa sampai ke Banyuwangi, Surabaya, Ujungpandang, Kupang, dan
tak ketinggalan Perth, Australia Barat. Jarum seismograf
stasiun-stasiun PMG (Pusat Meteorologi & Geofisika) di beberapa
tempat bahkan sampai ke luar dari skalanya - artinya lebih besar
dari 7 skala Richter.
Boleh dikata, penduduk yang masih terkesima di pantai ketika air
laut surut semuanya tersapu nyawanya entah ke mana. Untunglah
ada juga yang langsung terbiritbirit mencari tempat yang lebih
tinggi sehingga nyawanya selamat meslcipun rurnahnya rata dengan
tanah. Misalnya di Lunyuk. Sebab dari episentrumnya di lautan
Hindia pada kordinat 118.6ø B.T. dan 11.8ø L.S. -- atau 320 Km
dari Waingapu dan 500 Km dari Denpasar, gelombang gempa mencapai
pantai barat Sumba dalam 21 menit, pantai Lunyuk dalam 28 menit
dan pantai Sanur, Bali dalam 43 menit.
Memang, bisa dimaklumi kalau para nelayan yang sederhana itu tak
memahami tanda-tanda awal tsunami. "Sebab pada umumnya kita
lebih terbiasa dengan letusan gunung berapi, dan gempa vulkanis
yang ditimbulkannya," ujar Prof. J.A. Katili, ahli geologi yang
juga menjabat sebagai Dirjen Pertambangan. Setelah gempa
vulkanis, gempa teklonis di darat juga jauh lebih sering terjadi
di Indonesia ketimbang tsunami. Juga tidak semua gempa bumi
yang pusat (episentrum)nya berada di laut - misalnya laut Jawa -
akan mencetuskan tsunami. Bak kata Prof. Katili: "Untuk bisa
mengobarkan gelombang pasang raksasa, ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi."
Pertama, sumber gempa (hiposentrum) harus berada di kerak dasar
samudera, di mana sebuah lempeng mulai menghunjam ke bawah
lempeng kerak bumi yang lain. Lokasi itu ditandai oleh adanya
palung laut dalam, sejajar dengan busur kepulauan yang terluar.
Berkedudukan di subduction zone semacam itu, sumber gempa itu
otomatis tergolong dangkal - artinya hanya beberapa puluh
kilometer saja. Sehingga cepat ke luar dari kerak bumi dan
langsung bersentuhan dengan laut - pengantar getaran gempa yang
jauh lebih hebat ketimbang tanah yang padat.
Kedua, kekuatan gempa di dasar laut itu juga harus besar. Kalau
tidak, daya rambatnya juga tak seberapa besar. Dan ketiga,
topografi laut dan struktur pantai.
Pantai barat pulau Sumatera misalnya, cukup berbakat untuk
dilanda tsunami. Sebab puluhan kilometer di bawah tanah, lempeng
benua Eur-asia yang menjadi fundasi kepulauan Indonesia
menggeser ke atas lempeng Indo-Australia - fundasi anak benua
India, Samudera Hindia dan benua Australia. Tapi untunglah,
pantai barat Sumatera itu 'dibentengi' oleh kepulauan Nias dan
Mentawai. Sehingga posisi pelabuhan Sibolga, Sumatera Utara, dan
Teluk Bayur, ,Sumatera Barat, rada terlindung. Pulau Nias baru
sekali tercatat kena tsunami, yakni tahun 1907.
Pantai selatan pulau Jawa, iuga rawan terhadap tsunami. Tapi
kembali di sini ditemui sebentuk tanggul bawah laut, yang tak
sampai mencuat ke permukaan laut menjadi pulau. "ranggul" itu
terbentang sampai ke selatan Bali. Selanjutnya ke timur tak ada
"benteng alam" yang dapat melindungi pantai timur Bali, pantai
selatan pulau-pulau TB, dan pantai barat Sumba. Hamparan pantai
yang landai--yang sangatideal untuk olahraga surfing (meluncur
di atas gelombang dengan menggunakan papan) - juga sangat
menggoda tsunami.
Di samping pantai barat dan selatan kepulauan Nusantara yang
tiap hari dihempas ombak lautan Hindia, ada juga daerah perairan
dalam Indonesia yang pernah berurusan dengan tsunami. Menurut
catatan PMG, itu adalah pulau Banda dan kepulauan Kei, Maluku
Tengah (1938). Di situ gelombang pasang menghancurkan 1000 rumah
diiringi sejumlah besar korban jiwa.
Busur terluar kepulauan Maluku Tengah ini memang rawan bagi
tsunami karena di situ lempeng Indo-Australia menyusup ke bawah
lempeng Eur-sia. Namun Dr Katili - yang teori lempeng benua
(continental plates)nya banyak digunakan, menjelaskan
gejala-gejala vulkanis dan tektonis -- perbatasan Maluku dan
Irian bagian Selatan itu sudah "lebih stabil". Sehingga jarang
terjadi tsunami lagi di pojk tengara kepulauan Nusantara itu.
Daerah lain yang lebih rawan, adalah pantai barat leher Sulawesi
Tengah. Terbukti dengan tsunami yang menghantarn pantai
Donggala, Teluk Mapaga, dan Pulau Tuguan (1968), di mana
gelombang laut setinggi 8 - 10 meter melabrak pantai sampai
sejauh 300 meter. Korbannya 800 rumah rakyat hancur binasa,
diiringi melayangnya 200 nyawa penduduk ke alam baka. Kebanyakan
korban adalah nelayan.
Kerawanan leher Sulawesi Tengah terus sampai ke kepulauan Sangir
Talaud, Sulawesi Utara disebabkan, karena di situ terdapat
banyak lempeng kecil (microplates) yang saling tumpang tindih
ataubaku senggol. Makanya Manado dan Cotabato di Pilipina
Selatan juga pernah mengalarni tsunami tahun 1918. Bahkan tahun
lalu Mindanao pun baru saja kena sabet.
Tutur Prof. Katili lebih lanjut: "Penduduk di kepulauan
terpencil memang belum bisa membedakan tanda-tanda tsunami,
gempa bumi dan letusan gunung berapi." Diceritakannya bahwa di
tahun 1960-an dia pernah terbang dengan pesawat AURI di atas
pulau UnaUna, di Teluk Tomini. Mendengar suara bumi menggelegar,
penduduk Una-Una menyangka bahwa eks-gunung api di pulau itu mau
meletus. Banyak yang berusaha melarikan diri ke daratan
Sulawesi, ke Poso dan Gorontalo. "Padahal itu yang paling
berhahaya yang dapat mereka lakukan. Sebab bahaya yang
mengancarn adalah tsunami, bukan letusan gunung berapi. Jadi
sebaiknya justru naik ke puncak gunung, dan bukan lari ke pantai
yang bakal disapu gelombang," begitu cerita Katili.
Dengan adanya kasus Lombok, Katili menyarankan agar pembangunan
terminal minyak di Lombok dikonsultasikan dengan para ahli gempa
dan tsunami. Juga agar pelabuhan di daerah rawan dibuatkan
tanggul penangkis gelombang. Keikut-sertaan Indonesia dalam
jaringan International Tsunami Information Cener yang bermarkas
di Honolulu, Hawaii, dianjurkannya pula.
Kebetulan pula, mendengar adanya musibah 19 Agustus yang lalu,
Direktur ITIC Dr George Pararas-Carayanis menawarkan bantuannya
untuk meneliti akibat tsunami tersebut. Pemerintah Indonesia
tampaknya juga berminat ikut dalam jaringan ITIC yang bernaung
di bawah Intergovernmental Oceanographic Commission. Tapi
sayangnya, jaringan ITIC baru meliputi kawasan sa.mudera Pasifik
saja. Sedang kawasan samudera Hindia yang relatif "tenang",
berada di luar jangkauan badan internasional itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini