Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bersiap-siap untuk turun

Indonesia mengurangi volume ekspor minyak disebabkan kebutuhan dalam negeri meningkat. ekspor non minyak naik dramatis. penerimaan devisa dari minyak menurun. (eb)

3 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RESESI ekonomi dunia belum sepenuhnya pulih. Tapi ekspor Indonesia selama semester pertama tahun ini masih terus meningkat dibanding semester yang sama tahun lalu: satu hal yang cukup bisa bikin iri negara berkembang lainnya. Menurut data sementara yang dicatat Bank Indonesia dalam lalloran mingguannya, ekspor selama Januari-Mei tahun ini sudah mencapai 5 4235 juta atau kenaikan sekitar 30% dibanding periode yang sama tahun lalu. Dari perkembangan ini, ekspor minyak naik dengan 25%, dan ekspor non-minyak naik dengan 50%. Sampai Mei kemarin, ekspor minyak sudah mencapai hampir $ 3 milyar. Jepang dan AS merupakan pembeli terbesar dengan jumlah 80% dari seluruh ekspor minyak. Masalah yang timbul dalam ckspor minyak ini adalah karena dalam waktu dekat ini Indonesia mungkin harus mengurangi volume ekspornya, karena ternyata bagian yang dipakai untuk kebutuhan dalam negeri meningkat lebih cepat dari kenaikan produksi itu sendiri. Kalau pengurangan volume ini tak disertai dengan kenaikan harga -- karena OPIC toh tak bisa terus menerus menaikkan harga minyak maka dari sekarang sebaiknya Indonesia mempersiapkan diri terhadap kemungkinan penurunan penerimaan devisa dari ekspor minyak. Ancang-ancang ke arah itu tampaknya sudah dimulai. Presiden dalam pidato kenegaraan 16 Agustus lalu tak bicara soal ekspor minyak. Tapi lebih menekankan pada penemuan sumur-sumur baru dan selesainya proyek penyulingan di Cilacap, yang berarti memperbesar "kemampuan pengadaan minyak dari minyak pelumas untuk kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat dari tahun ke tahun," kata Presiden. Tahun lalu konsumsi minyak dalam negeri mencapai 14 milyar liter, dan tahun ini konsumsi minyak diperkirakan naik dengan 27, sedangkan produksi minyak selama ini rata-rata hanya naik dengan 72 setahun. Tapi kemungkinan turunnya devisa dari ekspor ini agaknya akan dikompensir dengan ditekannya impor minyak melalui peningkatan kapasitas penyulingan minyak di dalam negeri. Kilang minyak di Cilacap yang sudah beroperasi diperkirakan akan bisa menekan impor mmyak Indonesia dengan8%, dan akan memenuhi kebutuhan 68% minyak murni dibanding dengan 44% tahun lalu. Dramatis Dari ekspor non-minyak, ekspor kopi masih mengalami kenaikan yang dramatis dari $ 77 juta antara Januari-Mei tahun kemarin menjadi $ 267 juta sampai Mei tahun ini. Ini dimungkinkan karena harga kopi selama periode tersebut ratarata berkisar 3 kali lipat dari harga ratarata periode yang sama tahun sebelumnya. Tapi sejak Mei kemarin, harga kopi sudah mulai menurun, dan kecondongan ini nampaknya masih terus berlangsung, karena akhir Juli kemarin, harga yang tercatat di Singapura hanya mencapai S$ 390 per pikul, dibanding harga rekor S$ 850 per pikul di bulan Maret yang lalu. Demikian, jika volume ekspor kopi tak bisa ditingkatkan, maka sulit bagi Indonesia untuk mempertahankan penerimaan devisa dari kopi ini. Kenaikan yang cukup besar juga dialami dari ekspor kayu yang ekspornya dalam periode yang sama seperti di atas naik dengan $ 100 juta menjadi $ 350 juta. Dari ekspor tersebut, separoh merupakan pembelian oleh Jepang. Jepang tadinya merupakan pembeli terbesar kayu Indonesia dengan 80% dari seluruh ekspor, tapi kini bagian Jepang sudah turun, dengan adanya peningkatan ekspor kayu dari Taiwan dan Korea Selatan. Harga kayu dapat dikatakan mantap sekalipun kecondongannya sedikit turun. Maka ekspor kayu ini sepenuhnya akan tergantung dari besarnya permintaan luar negeri. Atau secara khusus tergantung dari tingkat industri plywood di Jepang. Ekspor karet hanya naik dari $ 202 juta menjadi 219 juta: satu perkembangan yang kurang menggembirakan bagi komoditi yang cukup penting ini. Nampaknya boom karet yang terjadi pada 1976 sudah mulai berakhir. Kalau keadaan tetap stabil, satu kenaikan yang cepat bagi ekspor karet sulit diharapkan mengingat selama ini kemampuan Indonesia dalam meningkatkan produksi masih terbatas. Tahun lalu produksi karet hanya naik 4% dibanding kenaikan produksi Malaysia yang mencapai 11%. Satu kebijaksanaan baru mungkin diperlukan untuk meningkatkan ekspor secara keseluruhan. Kalangan Departemen Perdagangan sudah mulai menyinggung kemungkinan diadakannya drawback system, yakni pengembalian bea masuk yang sudah terlanjur dibayar untuk impor bahanbahan yang digunakan produksi barang ekspor. Ini satu hal yang pernah dijanjikan Menteri Perdagangan Radius Prawiro, tapi yang belum sempat dimasukkan dalam paket 1 April 1976.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus