RESESI ekonomi dunia belum sepenuhnya pulih. Tapi ekspor
Indonesia selama semester pertama tahun ini masih terus
meningkat dibanding semester yang sama tahun lalu: satu hal yang
cukup bisa bikin iri negara berkembang lainnya. Menurut data
sementara yang dicatat Bank Indonesia dalam lalloran
mingguannya, ekspor selama Januari-Mei tahun ini sudah mencapai
5 4235 juta atau kenaikan sekitar 30% dibanding periode yang
sama tahun lalu. Dari perkembangan ini, ekspor minyak naik
dengan 25%, dan ekspor non-minyak naik dengan 50%.
Sampai Mei kemarin, ekspor minyak sudah mencapai hampir $ 3
milyar. Jepang dan AS merupakan pembeli terbesar dengan jumlah
80% dari seluruh ekspor minyak. Masalah yang timbul dalam ckspor
minyak ini adalah karena dalam waktu dekat ini Indonesia mungkin
harus mengurangi volume ekspornya, karena ternyata bagian yang
dipakai untuk kebutuhan dalam negeri meningkat lebih cepat dari
kenaikan produksi itu sendiri.
Kalau pengurangan volume ini tak disertai dengan kenaikan harga
-- karena OPIC toh tak bisa terus menerus menaikkan harga
minyak maka dari sekarang sebaiknya Indonesia mempersiapkan diri
terhadap kemungkinan penurunan penerimaan devisa dari ekspor
minyak. Ancang-ancang ke arah itu tampaknya sudah dimulai.
Presiden dalam pidato kenegaraan 16 Agustus lalu tak bicara soal
ekspor minyak. Tapi lebih menekankan pada penemuan sumur-sumur
baru dan selesainya proyek penyulingan di Cilacap, yang berarti
memperbesar "kemampuan pengadaan minyak dari minyak pelumas
untuk kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat dari tahun ke
tahun," kata Presiden.
Tahun lalu konsumsi minyak dalam negeri mencapai 14 milyar
liter, dan tahun ini konsumsi minyak diperkirakan naik dengan
27, sedangkan produksi minyak selama ini rata-rata hanya naik
dengan 72 setahun. Tapi kemungkinan turunnya devisa dari ekspor
ini agaknya akan dikompensir dengan ditekannya impor minyak
melalui peningkatan kapasitas penyulingan minyak di dalam
negeri.
Kilang minyak di Cilacap yang sudah beroperasi diperkirakan akan
bisa menekan impor mmyak Indonesia dengan8%, dan akan memenuhi
kebutuhan 68% minyak murni dibanding dengan 44% tahun lalu.
Dramatis
Dari ekspor non-minyak, ekspor kopi masih mengalami kenaikan
yang dramatis dari $ 77 juta antara Januari-Mei tahun kemarin
menjadi $ 267 juta sampai Mei tahun ini. Ini dimungkinkan karena
harga kopi selama periode tersebut ratarata berkisar 3 kali
lipat dari harga ratarata periode yang sama tahun sebelumnya.
Tapi sejak Mei kemarin, harga kopi sudah mulai menurun, dan
kecondongan ini nampaknya masih terus berlangsung, karena akhir
Juli kemarin, harga yang tercatat di Singapura hanya mencapai S$
390 per pikul, dibanding harga rekor S$ 850 per pikul di bulan
Maret yang lalu. Demikian, jika volume ekspor kopi tak bisa
ditingkatkan, maka sulit bagi Indonesia untuk mempertahankan
penerimaan devisa dari kopi ini.
Kenaikan yang cukup besar juga dialami dari ekspor kayu yang
ekspornya dalam periode yang sama seperti di atas naik dengan $
100 juta menjadi $ 350 juta. Dari ekspor tersebut, separoh
merupakan pembelian oleh Jepang. Jepang tadinya merupakan
pembeli terbesar kayu Indonesia dengan 80% dari seluruh ekspor,
tapi kini bagian Jepang sudah turun, dengan adanya peningkatan
ekspor kayu dari Taiwan dan Korea Selatan.
Harga kayu dapat dikatakan mantap sekalipun kecondongannya
sedikit turun. Maka ekspor kayu ini sepenuhnya akan tergantung
dari besarnya permintaan luar negeri. Atau secara khusus
tergantung dari tingkat industri plywood di Jepang.
Ekspor karet hanya naik dari $ 202 juta menjadi 219 juta: satu
perkembangan yang kurang menggembirakan bagi komoditi yang cukup
penting ini. Nampaknya boom karet yang terjadi pada 1976 sudah
mulai berakhir. Kalau keadaan tetap stabil, satu kenaikan yang
cepat bagi ekspor karet sulit diharapkan mengingat selama ini
kemampuan Indonesia dalam meningkatkan produksi masih terbatas.
Tahun lalu produksi karet hanya naik 4% dibanding kenaikan
produksi Malaysia yang mencapai 11%. Satu kebijaksanaan baru
mungkin diperlukan untuk meningkatkan ekspor secara keseluruhan.
Kalangan Departemen Perdagangan sudah mulai menyinggung
kemungkinan diadakannya drawback system, yakni pengembalian bea
masuk yang sudah terlanjur dibayar untuk impor bahanbahan yang
digunakan produksi barang ekspor. Ini satu hal yang pernah
dijanjikan Menteri Perdagangan Radius Prawiro, tapi yang belum
sempat dimasukkan dalam paket 1 April 1976.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini