BURMA di bawah Ne Win mencerminkan suatu usaha dimana tiga
generasi secara bersama menjalankan pemerintahan. Ketiga
generasi tersebut adalah generasi sebelum perang dunia II dari
Jenderal Ne Win dan teman-temannya, generasi pejuang kemerdekaan
pada akhir tahun 1940-an dan generasi setelah kemerdekaan.
Generasi Ne Win pada dasarnya menguasai kepemimpinan politik,
bidan,g-bidang pemerintahan banyak di tangan generasi 1940-an
dan eselon-eselon kedua dalam partai, militer dan birokrasi
sudah banyak di tangan generasi muda setelah kemerdekaan.
Kepemimpinan politik di tangan Jendeal Ne Win sudah berlangsung
sejak kudeta tahun 1962. Tetapi, pada hakekatnya, generasi Ne
Win sudah sejak tahun 1930-an aktif dalam perjuangan kemerdekaan
Burma. Bahkan Ne Win sendiri aktif dalam gerakan kaum Thakin
pada akhir 1930-an serta dalam kegiatan kemerdekaan di kalangan
mahasiswa-mahasiswa Universitas Rangoon sebelumnya. Ide-ide
mereka tentang Burma setelah merdeka banyak digodok pada
masa-masa tersebut.
Ketika Jepang mendidik perwira-perwira militer Burma (sebagai
persiapan untuk pendudukan mereka) di Hainan, yang dipilih
adalah pemuda-pemuda yang sudah aktif dalam politik ini.
Pimpinanmereka adalah Aung San, yang dikenal sehagai Bapak
Burma. Ne Win (ini adalah nama yang dipilihnya waktu di pulau
Hainan) adalah orang kedua setelah Aung San. Mereka semuanya
berjumlah tigapuluh orang, lazim dipanggil "Teman-teman
Tigapuluh". Setelah kembali ke Burma, mereka menjadi inti
pimpinan tentara kemerdekaan Burma, baik di zaman Jepang maupun
setelah Inggeris kembali setelah berakhirnya perang dunia II.
Persatuan Burma waktu itu banyak berpusat pada pribadi Aung San.
Beliau adalah pendiri partai Anti Fasis sekaligus sebagai
pimpinan dari tentara Burma. Dengan begitu, aspirasi politik
dari "grup tigapuluh" dapat diwakilkan pada Aung San, pimpinan
dari grup itu sendiri. Terbunuhnya Aung San pada bulan-bulan
pertama pembentukan Burma benar-benar merupakan kehilangan tanpa
ganti bagi negara baru tersebut. Yang jelas adalah terasingnya
pihak militer dari kegiatan politik, yang setelah itu berada di
tangan politisi-politisi sipil. Walaupun ada politisi sipil yang
berasal dari generasi 1930-an, tapi "grup tigapuluh" samasekali
tidak aktif selama masa demokrasi parlementer tersebut.
Selain dari alienasi pihak militer ini, Burma pada tahun 1950-an
juga bergerak lebih jauh dari cita-cita kemerdekaan generasi
1930-an, di mana Ne Win sendiri pernah ikut menggodoknya.
Datangnya modal asing yang berlebihan, berkuasanya
pengusaha-pengusaha asing dan keturunan asing serta makin
lemahnya modal nasional adalah sebagian dari
kebijaksanaan-kebijaksanaan pada tahun 1950-an di Burma.
NASIONALISASI
Bisa dimaklumi kemudian jika Ne Win segera setelah kudeta
melakukan tindakan-tindakan drastis dalam bidang politik dan
ekonomi. Diciptakannya apa yang kemudian dikenal sebagai "jalan
Burma untuk sosialisme," yang sebenarnya hanyalah pengulangan
dari ide-ide mereka sejak tahun 1930-an. Menyaksikan bahwa
sistim kapitalisme justru makin menguat di Burma, Ne Win dengan
cepat berusaha mengembalikan "sosialisme a la Burma" setelah
kudeta. Perusahaan-perusahaan asing menjadi korban
nasionalisasi, modal dan pengusaha nasional didongkrak,
tanah-tanah dibagikan kepada petani kecil dan
perusahaan-perusahaan negara dikembangkan, terutama untuk
bidang-bidang yang menguasai hajat masyarakat banyak.
Tidak kurang pentingnya adalah pembaharuan politik.
Partai-partai yang banyak dibubarkan, hanya.ada satu partai
tunggal, Partai Sosialis Burma (BSP). Salah satu faktor yang
mempercepat terjadinya kudeta 1962 adalah perpecahan di kalangan
Partai Anti-Fasis yang berkuasa antara grup U Nu dan grup U Ba
Swe. Usaha mencari pengaruh antara kedua partai ini dalam pemilu
membutuhkan begitu banyak uang, yang tidak akan mampu diatasi
oleh ekonomi Burma. Akibatnya, mereka mencari dukungan keuangan
kepada pengusaha-pengusaha asing, tentunya dengan janji-janji
fasilitas kemudian. Ne Win dengan partai tunggalnya lebih
menekankan pada mobilisasi massa dengan bimbingan politik dari
cita-cita generasi 1930-an. Dari sudut ini, dapat dimengerti
sikap berdikari Burma-pada tahun-tahun 1960-an setelah kudeta,
dan juga pada awal 1970-an.
Dengan semakin tuanya generasi 1930-an, pimpinan Burma sekarang
sedikit demi sedikit berada di tangan generasi akhir 1940-an dan
generasi setelah kemerdekaan. Timbul persoalan apakah mereka
juga menghayati cita-cita seperti yang dicanangkan oleh
generasinya Ne Win. Sedikitnya, Ne Win telah meninggalkan dua
hal untuk generasi sesudahnya. Pertama adalah warisan berupa
institusi dengan ideologi yang kuat. Baik partai BSP,.tentara
maupun birokrasi sedikitnya sudah membiasakan diri dengan
ideologi "sosialisme Burma" yang menjadi landasan negara
tersebut selama 15 tahun terakhir. Tantangan yang serius tidak
pernah berhasil, misalnya gerakan separatis.ataupun gerilya
komunis. Kalau pun ada perbedaan, hanyalah dalam nuansa dan
interpretasi bukanlah dalam substansi. Lagipula, adanya
kerjasama antara ketiga generasi selama ini menyebabkan
munculnya persepsi yang serasi, walaupun belum tentu seragam.
Warisan kedua dari generasi Ne Win adalah konsistensi antara
ideologi dengan sikap hidup sehari-hari, seperti dicerminkan
sendiri oleh Ne Win. Memakai lebih dari 40 tahun dari umurnya
yang 66 tahun untuk perjuangan negaranya, Ne Win tetap bersikap
menahan diri dengan kehidupan spartan yang tidak banyak berbeda
dengan kebanyakan teman-temannya. Contoh hidup bersih dari Ne
Win mencerminkan kuatnya kesadaran dan kemauan politik dari
generasi 1930-an umumnya, satu hal yang tentunya sangat
berpengaruh kalau Burma nanti dipimpin oleh generasi-generasi
1940-an dan generasi setelah kemerdekaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini