Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Seorang pria buta berusia 58 tahun dari Brittany, Prancis, telah memiliki secercah cahaya menembus penglihatannya berkat terapi gen baru yang disebut optogenetik. Terapi melalui rekayasa sel saraf secara genetik sehingga membuatnya bisa merespons cahaya yang datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GenSight Biologics di Prancis telah mempublikasikan apa yang telah dilakukan terhadap seorang relawannya itu dengan terapi optogenetik yang dikembangkannya. "Ini sangat menarik melihat publikasi pertama optogenetik pada manusia," kata Ed Boyden dari Massachusetts Institute of Technology di Boston, Amerika Serikat, dari tim optogenetik GenSight, menunjuk publikasi yang dilakukan di Jurnal Nature, 24 Mei 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Optogenetik telah menjadi perangkat laboratorium yang luas digunakan karena memungkinkan kontrol secara presisi atas sel-sel otak. Teknik ini telah menuntun kepada banyak temuan tentang otak ketika digunakan pada hewan.
Berbeda dengan pada manusia, optogenetik diyakini memiliki potensi medis yang terbatas untuk mengobati kelainan otak. Sebabnya, untuk mendapatkan cahaya di dalam kepala butuh mencangkokkan sebuah kabel serat optik.
Beberapa kelompok ilmuwan lalu mencoba mengembangkannya sebagai terapi kebutaan dengan pertimbangan sel saraf di mata terpapar cahaya dari luar. Satu kondisi yang ditarget adalah retinitis pigmentosa, satu jenis penyakit bawaan di mana kerusakan retina terjadi secara bertahap dan sel-sel yang mendeteksi cahaya menjadi mati.
Oleh GenSight, sel-sel di balik lapisan yang mendeteksi cahaya (sel ganglion) diinjeksikan dengan protein gen yang dipanen dari alga, yang membuat sel-sel itu bisa merespons ke cahaya kekuningan (amber light).
Penerima terapi harus mengenakan kaca mata khusus. Kacamata memiliki kamera dan prosesor yang mengubah gelombang cahaya tampak ke panjang gelombang cahaya kuning, lalu menguatkannya sehingga bisa dideteksi oleh sel-sel yang sudah direkayasa sebelumnya.
Normalnya, ketika cahaya yang masuk ke mata ditangkap oleh sel-sel fotoreseptor yang kemudian meneruskannya dalam bentuk sinyal listrik ke tetangganya, sel-sel ganglion. Sel inilah yang mampu mengidentifikaasi fitur penting seperti gerakan. Mereka pada gilirannya mengirim versi sinyalnya sendiri ke saraf optik, yang mengirimnya ke otak.
Dalam studi-studi sebelumnya, para ilmuwan telah mampu memulihkan kondisi genetik dari kebutaan yang disebut Leber congenital amaurosis. Caranya, memperbaiki gen penyebab degenerasi sel-sel fotoreseptor. Tapi, bentuk kebutaan yang lainnya tak mampu diatasi karena sel-sel fotoreseptor yang telah benar-benar rusak. "Sekali sel-sel itu mati, Anda tidak bisa memperbaiki gen-nya," kata José-Alain Sahel di Vision Institute di Paris, yang juga bekerja dengan tim GenSight.
Terapi gen terbaru terbukti berhasil pada si pria dalam uji oleh GenSight. Dia menemukan dirinya setelah sekitar setahun bisa melihat zebra cross di jalan. Sejak itu, dia telah mampu melihat obyek seperti telepon, furnitur, atau pintu dalam sebuah koridor.
Di laboratorium, pria itu juga mampu menghitung dan mengetahui lokasi obyek-obyek yang ada di hadapannya--meski belum bisa mengenali wajah-wajah. "Penglihatannya mungkin akan bisa lebih baik lagi karena butuh waktu untuk otak belajar memproses sinyal tak biasa dari mata," kata Sahel.
Menurutnya, apa yang terjadi kemungkinan adalah remodelling konektivitas atau bahasa baru antara retina dan otak. Sayang, riset penyesuaian goggle oleh penggunanya di laboratorium masih terhenti karena pandemi Covid-19.
Sebanyak dua orang di Inggris juga telah diinjeksi gen yang sama tapi belum memasuki terapi atau latihan, dan karenanya belum merasakan efek berbeda dalam penglihatannya. "Sebanyak empat orang juga belum lama ini diberikan dosis gen yang lebih tinggi, yang kami harapkan akan memberi benefit yang lebih besar," kata Sahel.
Pada tahap perkembangan yang sekarang, terapi optogenetik diperkirakan belum akan mampu memberi pemulihan penglihatan untuk bisa digunakan membaca atau mengenali wajah-wajah. "Untuk bisa seperti itu Anda perlu resolusi yang tinggi," kata Botond Roska dari Institute of Molecular and Clinical Ophthalmology di Basel, Swiss, juga anggota tim.
Sebuah perusahaan di Amerika Serikat, Bionic Sight, melaporkan pada Maret lalu kalau empat orang yang telah mengalami kebutaan atau hampir buta sudah bisa melihat cahaya dan gerak obyek di hadapannya juga berkat terapi optogenetik. Bedanya dengan GenSight, tim ini belum mempublikasikan keberhasilannya itu dalam jurnal ilmiah.
Perlakuan oleh Bionic Sight menggunakan gen berbeda dari GenSight, tapi sama membutuhkan goggle. Dalam pengumumannya, Bionic Sight menyatakan dua orang yang menerima dosis gen lebih besar memiliki sensitivitas terhadap cahaya lebih tinggi daripada dua lainnya.
"Perbaikan sedikit saja dalam penglihatan akan berdampak besar bagi seseorang yang hampir buta," kata Michel Michaelides dari University College London, yang mengembangkan terapi gen berbeda untuk kebutaan. Tapi, menurutnya, sulit untuk mengembalikan penglihatan secara penuh pada orang-orang dengan kondisi retina rusak. "Tantangannya masih sangat besar," kata dia.
Situasi itu diakui Sahel dkk. Namun, mereka beranggapan publikasi yang sudah dilakukan, buah dari riset 13 tahun GenSight, adalah proof of concept akan datangnya pengobatan yang lebih efektif.
Pernyataan itu diamini oleh Ehud Isacoff, seorang ahli saraf di University of California, Berkeley, yang tidak terlibat dalam tim-tim terapi optogenetik tersebut. "Menyaksikan untuk pertama kalinya terapi ini bisa menyembuhkan kebutaan--bahkan hanya pada satu pasien dan pada satu mata--benar-benar menarik," katanya.
NEW SCIENTIST | NYTIMES