Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Yang tertinggal, suka birokrasi

Laporan unesco menggambarkan betapa penguasaan sains dan teknologi di dunia begitu timpang. indonesia sama dengan afrika utara.

5 Maret 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAMPAK penerapan sains memang luar biasa bagi peradaban. Orang dapat melenggang ke angkasa luar. Para ahli dapat mereparasi rantai DNA pada sel kelamin untuk memperbaiki keturunan. Tapi ada soal besar di panggung sains: kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang tak kunjung terjembatani. Kenyataan itulah yang menonjol dalam laporan UNESCO, World Science Report 1993, yang diluncurkan dari Paris, Februari lalu. Dalam laporan yang baru pertama kali diterbitkan itu, UNESCO memang lebih banyak bicara soal kesenjangan. Disebutkan, riset di negara maju luar biasa bila dibandingkan dengan negara- negara Dunia Ketiga. Eropa Barat, misalnya, menurut World Science Report, membelanjakan US$ 300 per kapita per tahun untuk riset. Angka ini masih lebih rendah dibanding dengan negara-negara Skandinavia yang rata-rata mengeluarkan US$ 400, Amerika Serikat US$ 600, apalagi Jepang, yang sudah mencapai US$ 700. Negeri berkembang? Korea Selatan, salah satu dari macan Asia, hanya mengeluarkan dana riset US$ 70 per kapita. Toh itu masih jauh lebih unggul dibanding dengan negeri di Benua Hitam semacam Nigeria yang hanya dapat menyisihkan US$ 22 sen. Negara Amerika Selatan rata-rata membelanjakan US$ 10 per kapita per tahun, sedang Indonesia, hanya US$ 2-3. Ketersediaan dana riset itu agaknya berhubungan dengan kemampuan lembaga penelitian menyangga usaha-usaha komersial. Amerika, yang badan-badan penelitiannya terkenal pandai menghasilkan uang, berani mengalokasikan 2,8% dari nilai produk domestik brutonya (GDP) untuk kegiatan riset. Jepang malah tak tanggung-tanggung: mengeluarkan 3,1% dari GDP. Empat macan Asia (Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, dan Singapura) rata-rata membelanjakan 1%. Indonesia setingkat dengan negara Afrika Utara yang hanya dapat mengalokasikan 0,3% GDP-nya, untuk penelitian. Masalah untuk meningkatkan keunggulan sains dan teknologi, tak hanya bertumpu pada duit. Sumber daya manusia tak kalah penting. Menurut jurnal UNESCO itu, negara petrodolar Arab, misalnya, disebut kurang berhasil mengatrol kemampuan sains dan teknologinya. Masalah di sini adalah manusia. Tenaga ahlinya hanya 0,4 orang per seribu penduduk. Hasil riset mereka tak menonjol. Niat mereka untuk membangun industri terseok-seok. Hanya 10% dari GDP mereka dihasilkan dari proses manufaktur. Di Jepang, terdapat 4,4 orang pintar, yang masuk kategori peneliti atau insinyur, pada setiap 1.000 kepala. Yang dapat menyaingi kekayaan sumber daya manusia Jepang hanya Israel. Di sana ada 4,4 ahli per 1.000 orang. Dari segi sumber daya manusia, Eropa Barat di bawah Jepang dan Amerika. Negara-negara eks Uni Soviet cukup beruntung. Kendati sekarang mereka tak punya uang, mereka punya banyak ahli, yakni 1,6 orang per 1.000 penduduk. Mereka masih punya harapan. Jurnal UNESCO itu juga menyinggung problem khas pada sejumlah negara. Dengan jumlah ahli tak kurang dari 4 juta dan biaya riset yang cukup besar (0,8% dari GDP), Cina mestinya sudah lebih ke depan dari posisinya yang sekarang. Sayang, revolusi kebudayaan 1966-1976 memangsa banyak orang terdidik. Kesinambungan riset di sana terputus karena satu generasi ilmuwan terbuang sia-sia. Hal lain yang dikambinghitamkan dalam kesenjangan penguasaan sains itu adalah angka buta huruf Latin. Pada 1990 tercatat 90 juta orang dewasa di dunia yang buta huruf. Dari jumlah itu, 60 juta ada di wilayah Arab, terutama Mesir. "Padahal pendidikan dasar itu penting untuk menguasai keterampilan rekayasa," ujar Dirjen UNESCO Frederico Mayor. Dalam soal jumlah ahli, dan mungkin kualitas, Indonesia menempati peringkat bawah. Di sini hanya ada 0,2 ahli per 1.000 kepala. Sialnya lagi, banyak orang pintar itu yang lebih suka menduduki posisi di birokrasi. Dalam catatan Bappenas misalnya, di Indonesia ada 3.700 orang yang bergelar doktor. "Tapi hanya 20% di antaranya yang aktif dalam penelitian," ujar Dr. Triono Soendoro, ahli biologi reproduksi lulusan Universitas Yale, AS. Triono kini Kepala Biro di Bappenas yang mengurusi masalah penelitian sains dan teknologi. Di antara ahli yang tak tergoda pada jabatan birokrasi itu adalah Dr. Pratiwi Soedarmono. Ahli rekayasa genetik dari UI ini masih berstatus calon astronaut untuk penerbangan dengan pesawat ulang-alik Amerika. Untuk menarik para ahli itu kembali ke lab, Bappenas telah menganggarkan proyek-proyek riset unggulan terpadu (RUT), sejak dua tahun lalu. Proyek RUT itu, selain menuntut adanya penelitian antardisiplin, juga diseleksi jauh lebih ketat dibanding riset biasa. Uang lelah bagi para penelitinya relatif lebih tinggi. Kini sekitar 250 proyek RUT berjalan dengan biaya sekitar Rp 30 miliar. Membuat betah para peneliti tinggal di negeri sendiri, sebagaimana kini dirintis oleh Bappenas, adalah hal yang ditekankan oleh World Science Report. Frederico Mayor mengingatkan kasus kaburnya Prof. Abdus Salam, pemenang Nobel Fisika tahun 1970-an, dari negerinya, Pakistan, ke Amerika. "Karena kurangnya fasilitas riset, juga rangsangan ilmiah," tambah petinggi badan PBB yang mengurusi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan itu. Dari gambaran ini, tak aneh kalau negeri maju akan tambah maju, yang di belakang akan semakin tertinggal.Putut Trihusodo (Jakarta) dan Asbari N. K. (Hilversum)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum