Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bebas AIDS tenaga asing

Beberapa negara menerapkan peraturan surat bebas aids bagi pendatang asing. Indonesia akan menerapkannya. kendalanya, kemungkinan reaksi dari para investor dan aspek teknis pelaksanaanya

5 Maret 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI awal tahun 1991, seorang profesor asing yang usianya relatif masih muda dan telah mengajar selama dua tahun di Universitas Sultan Qaboos di Muscat, Uni Emirat Arab, meninggal dunia karena AIDS. Ini tentu menghebohkan, lebih-lebih karena salah seorang pembantu rumah tangganya bersaksi bahwa ia melihat profesor itu sering melakukan hubungan seksual dengan beberapa pemuda Oman, dan juga beberapa tokoh terkemuka di negara itu -- termasuk sejumlah diplomat asing. Peristiwa ini tak terungkap di media massa, dan hingga saat ini tak ada keterbukaan tentang jumlah kasus HIV di negara-negara Timur Tengah. Setelah peristiwa itu, ada perintah dari pemerintah Oman yang mengharuskan semua pekerja dan pengajar asing menjalani tes HIV, termasuk mereka yang sudah bertahun-tahun bekerja di sana. Ancaman bagi mereka yang menolak adalah dideportasi dalam waktu 24 jam. Kebijaksanaan ini mengundang banyak protes, di antaranya dari beberapa pengajar di fakultas kedokteran universitas itu. Protes mereka mendapat dukungan dari berbagai pihak di luar negeri, termasuk dari WHO serta pemerintah Irlandia dan Inggris karena pengajar asing kebanyakan datang dari negara-negara itu. Protes dilontarkan lantaran ada keharusan uji HIV yang tak dilandasi oleh aturan hukum yang jelas, dilakukan secara paksa, tanpa informasi yang jelas dan konseling. Padahal, sudah menjadi kesepakatan dunia melalui WHO bahwa uji HIV terhadap seseorang harus dilandasi oleh aturan yang jelas, tanpa paksaan, dengan informasi dan konseling yang memadai. Ketentuan seperti itu diperlukan karena AIDS sudah telanjur diwarnai oleh stigma sosial yang cenderung menyudutkan, mengucilkan, dan memusuhi pengidapnya. Seorang pengidap HIV, meskipun masih tampak sehat, akan menghadapi kemungkinan diskriminasi di tempat bekerja, di sekolah, atau bahkan di kampungnya. Ketidakpahaman tentang sifat penyakit ini dan cara penularannya mengakibatkan stigma sosial itu terjadi. Negara yang memiliki aturan imigrasi yang menolak pendatang atau pekerja asing yang mengidap HIV antara lain Amerika Serikat, Papua Nugini, dan Filipina. Jika Anda memasuki Amerika dan petugas bea cukai menemukan bahwa Anda membawa obat AZT (obat untuk menghambat perjalanan AIDS), Anda tak akan diperbolehkan masuk. Anda harus segera pulang ke negara asal tanpa perlu diuji darahnya. Papua Nugini mempunyai aturan yang menyatakan bahwa izin kerja bagi orang asing hanya diberikan jika orang itu bebas HIV, yang pengujiannya dilakukan oleh negara itu, sebagai bagian dari pemeriksaan kesehatan. Pemerintah Papua Nugini tak menganggap hal ini bertentangan dengan Right to Privacy. Filipina memiliki peraturan keimigrasian yang menyatakan bahwa ACC (AIDS clearance certificate) wajib disertakan bagi mereka yang hendak tinggal di negara itu selama lebih dari enam bulan, bagi pelaut asing, orang asing yang hendak menetap di Filipina, dan bagi pengungsi dari negara lain. Karena diprotes oleh kalangan pengusaha dan investor asing, peraturan itu kini diperlunak dengan menyatakan bahwa "pekerja asing atau orang asing yang hendak tinggal lama di Filipina akan segera dideportasikan jika kemudian terbukti mengidap HIV." Ada rencana untuk melakukan wajib uji HIV bagi pekerja hiburan (hospitality girl, dancing partners for hire, massage parlour attendants, waitresses). Tapi, sebegitu jauh, ketentuan yang baru ini belum keluar. Pada tahun 1986 Thailand pernah mempunyai peraturan yang melarang orang asing yang terbukti mengidap HIV memasuki Thailand. Tetapi kemudian peraturan ini dicabut pada tahun 1991. Meski demikian, kebijaksanaan memulangkan pekerja asing yang mengidap HIV ke negaranya masih dilakukan, antara lain, terhadap pelacur yang datang dari Myanmar, Laos, dan Kamboja. Inggris memang tak secara eksplisit menyatakan bahwa calon imigran harus bebas AIDS. Tapi mereka menggunakan peraturan yang sudah lama ada, yang menyatakan bahwa calon imigran yang dicurigai mengidap penyakit menular dapat dikenai wajib periksa kesehatan. Inggris mempunyai alasan kuat karena biaya perawatan kesehatan penduduk di sana ditanggung oleh asuransi nasional. Tentu mereka tak mau membiayai penyakit yang dibawa dari negara asal imigran dan kemudian menulari rakyat Inggris sendiri. Indonesia kini hendak memberlakukan ketentuan bahwa calon pekerja asing harus bebas HIV. Seandainya ketentuannya keluar, bisa dilihat inilah aturan hukum tentang HIV/AIDS pertama yang kita miliki. Tapi di segi lain kita juga harus mempertimbangkan kesepakatan WHO, kemungkinan reaksi dari para investor, dan aspek teknis pelaksanaannya. Harus jelas siapa yang dimaksud sebagai pekerja asing. Apakah semua peminta visa izin kerja diwajibkan bebas HIV, ataukah kelas tertentu saja, dan bagaimana cara pembuktian bebas HIV yang tak diskriminatif dan yang dilakukan secara manusiawi. Itu semua harus dipikirkan secara matang. Jangan sampai ada heboh internasional seperti di Oman, atau terpaksa ditarik kembali seperti di Thailand dan Filipina. Di sisi lain adalah penjelasan kepada masyarakat Indonesia sendiri bahwa gambaran pekerja asing tak harus selalu orang "bule" dan kelas "atas", tapi juga orang Thailand, Hong Kong, Singapura, Filipina, dan Afrika. Di tengah hutan Kalimantan dan di tambang tembaga Irian Jaya juga banyak pekerja asing "kelas yang lebih bawah". Bagaimana ketentuan ini buat mereka? Apakah mereka harus melakukan uji HIV dengan konsekuensi visa kerjanya dicabut ataukah mereka "diputihkan"? Di antara mereka mungkin ada yang mengidap HIV dan telah berhubungan seks dengan "kelas bawah" Indonesia. Di kota-kota besar banyak pekerja hiburan "impor" -- dianggap lebih bergengsi -- yang digemari kalangan atas. Semua itu kemudian menularkan HIV kepada orang Indonesia sendiri melalui perilaku seksnya yang serampangan. Jadi, baik masyarakat kalangan bawah maupun atas sama-sama mempunyai potensi bisa tertulari HIV karena melakukan hubungan seks dengan pengidap HIV dari mana pun asalnya. Masyarakat perlu waspada agar mereka tak memandang orang asing yang "bule" saja -- sebagai pembawa HIV. Juga kalangan remaja perlu diingatkan agar tak mengira bahwa AIDS hanya akan mengenai "orang lain" dan tidak dirinya. Meningkatkan kewaspadaan ini jauh lebih penting dan akan lebih efektif untuk menghambat penyebaran AIDS di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus