Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM bayangan senja-, le-laki itu memelototi- bola-. Raut muka-nya seri-us-, wa-lau cahaya yang me-ne-robos je-ndela di lantai- du-a itu sudah mulai surut. Entah mag-net apa yang membuat ia terta-rik- pada bola. Ia memutar perla-han-. Sesekali ia memantulkannya di lantai, lalu me-naruhnya di ke-ranjang. Keti-ka hari mulai- gelap, le-laki itu tak beranjak dari ruang-an- yang pe-nuh dengan berkeran-jangkera-n-jang bola. Ia menyala-kan- lampu r-uangan dan kembali me-melototi bola.
Irwan Suryanto, pria itu, sa-nga-t te-liti. Satu saja ada jah-itan yang tak rata pada bolanya, langsung i-a membuangnya ke ke-ran-jang khusus. ”Bola ini harus di-kembalikan ke penjahitnya dan di-jahit u-lang,” ujar pria 56 tahun itu, yang sudah bertahun-tahun men-ja-di pengamat bola (dalam arti yang sebenarnya). Bagi Irwan, bo-la- tidak sekadar bu-ndar. Kualitas bo-la—diukur salah satunya dari pan-tulan dan rapi-nya jahitan ku-lit-—memang sangat di-jaga oleh Ir-wan. Soalnya, bola-bola Irwan itu adalah bola isti-mewa. Bola itu akan dikirim ke ajang Piala Dunia- di- Jerman.
Bola buatan Irwan memang tak akan disepak oleh Ronaldinho di Stadion Muenchen, tidak juga ba-kal disergap Gianluigi Buffon. Tapi bola itu akan dijadikan merchandise resmi dua sponsor ajang empat tahunan itu, Hyundai dan LG. Meskipun begitu, kalau ada satu saja jahitan yang cacat, bisa jadi Irwan kehilangan rezeki Pia-la Dunia. Bolanya tak akan pernah dipesan lagi. Prinsip itu dipegang kuat oleh Irwan dan sekitar 200 karyawan yang bekerja di pabriknya, di Kecamatan Kadipaten, Majalengka, Jawa Barat. Berkat ketelitiannya itu pula, Irwan selalu mendapat pesanan di setiap tahun genap—ketika Piala Dunia dan Eropa berlangsung—sejak 1998.
Menurut Irwan, kualitas bola buatannya harus sama dengan yang dipakai dalam pertanding-an Piala Dunia. Salah satu ukur-annya adalah daya pantul mini-mal harus 60 persen. Artinya, ji-ka bola dilepas dari ketinggian satu meter di lantai, bola akan me-mantul setinggi 60 sentimeter. Untuk mencapai ukuran tersebut, mantan atlet dan pelatih tenis ini memboyong bola dalam (bledder) khusus dari India, Latek Enkay. Itulah bola dalam yang disebut-sebut banyak orang sebagai yang terbaik di dunia, dengan berat ha-nya 70-75 gram.
Demi Piala Dunia kali ini Irwan rela kerja lembur bermalam-malam. Ia juga harus merangkul 2.000 perajin bola di daerah itu. Targetnya adalah menciptakan 600 ribu bola, yang harus diki-rim secara bertahap hingga Juli. Dengan kapasitas produksi normal 100 ribu bola per bulan, Irwan tidak bisa santai, dan harus turun sendiri mengecek bola buat-an karyawannya. Dengan harga Rp 80 ribu per bola, nilai pesanan kedua sponsor itu mencapai Rp 48 miliar
Kisah sukses Irwan dan bola-nya i-tu tidak datang sekejap. Se-telah ga-gal mengadu nasib di Ja-karta dan- tak bisa menghasilkan u-ang se-bagai pelatih tenis tingkat da-e-rah-, Irwan banting setir men-ja-di pem-buat bola. Awalnya ia berte-mu- dengan seorang warga Ko-rea yang ia panggil dengan se-butan ”Mis-ter”, Nam, pada 1992, ke-tika- Ir-wan masih melatih tenis. Ke-ti-ka- itu Nam menyaran-kan Ir-wan- membuat bola, dan ia berjan-ji me-ma-sarkan ke Korea, yang saat itu se-dang dilanda demam Piala Du-ni-a.
Dengan mengantongi mo-dal pinjaman dari bank sebesar Rp 350 juta, Irwan dan 11 murid pilih-annya berangkat ke Jakarta untuk belajar menjahit bola. Ia juga menyusupkan beberapa karya-wannya, dengan bantu-an Mister Nam, ke sebuah per-usahaan bola di Korea. Hasilnya, beberapa bulan kemudian Irwan sudah bisa membuat bola dengan kuali-tas ekspor. Bola ini selanjutnya diterbangkan oleh Mister Nam ke Korea, dengan janji akan dibayar di kemudian hari.
Bulan berganti, uang yang dijanjikan tidak kunjung datang. Juru tagih dari bank berkali-kali menyambangi rumahnya. Irwan pun kehilangan tanah warisan yang ia jadikan jaminan. ”Saya masih terlalu bodoh saat itu,” tutur Irwan mengenang.
Pengalaman pahit itu tak me-rontokkan semangatnya. Ia bela-jar dan belajar terus membuat bola. Sampai akhirnya keberuntungan pun datang. Dia digandeng Yayasan Dharma Bakti Astra, yang punya saluran ekspor. Sedikit demi sedikit, order mulai datang. Pada 1995, ia membuat 5.000 bola. Setahun kemudian jumlahnya naik dua kali lipat. Kini ia bisa membuat 100 ribu bola per bulan. Irwan biasa-nya memakai merek sesuai de-ngan pesanan, misalnya Spalding dari Amerika Serikat. Sesekali ia men-jual dengan merek sendiri, yakni ”Triple S”, alias Sinjaraga Santika Sport, nama perusahaannya.
Salah satu kisah manis dari bisnis bolanya adalah saat ia ber-temu Harry Romies, pemilik salah satu jaringan retail di Ero-pa, pada 1997. Romies saat itu langsung memesan 75 ribu bola untuk merchandise Piala D-unia Prancis 1998. Saat itu bola I-rwan sudah mendapat sertifikat CE Mark Standard International, artinya sudah setara dengan bola yang dipakai dalam pertanding-an Piala Dunia. Sejak itulah, pe-sanan terus mengalir tiap kali berlangsung Piala Dunia dan Pia-la Eropa.
Kini, bukan hanya mutu yang menjadi perhatian Irwan. Ia sedang mengincar pasar Amer-ika Selatan. Menurut Irwan, sudah ada distributor asal kawasan itu yang menjajaki kemungkin-an menggunakan bola buatannya di ajang dua tahunan Piala Copa Amerika. ”Mutu sudah tidak masalah, tapi mereka mempertimbangkan keselamatan kerja,” kata suami Pepen Supartini ini. Karena itulah, sejak beberapa tahun lalu, sebagian keuntungan ia sisihkan untuk memba-ngun pabrik sehingga memenuhi standar keselamatan: seperti alat pemadam kebakaran dan jalan evakuasi darurat.
Lalu, bagaimana dengan pang-sa pa-sar dalam negeri? I-rwan meng-a-ku- justru lebih sulit menjual bola-nya- di negeri sen-diri karena sudah- di-kuasai bola impor. Tapi, ia tak pe-simistis. ”Pang-sa pasar bola du-ni-a adalah 250 ribu biji per hari, a-palagi sepak bola berkembang pe-sat di Amerika Serikat,” kata-nya-.
Irwan memang tidak ped-uli ke mana bolanya menggelin-ding. Yang penting, dolar terus ber-gemerincing di kantong pria yang cuma lulusan SMP itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo