Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepakbola

Dari Kampung Menatap Munich

Tayangan langsung sepak bola Piala Dunia 2006 di Indonesia berharga lebih dari Rp 100 miliar. Kafe-kafe berebut menangguk untung.

29 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERIAKAN dan suara te-rompet membaha-na saat bola sundulan Sol Campbell menembus jala ga-wang- Victor Valdes. Ben-dera Arsenal dikibas-kibaskan-. Di sudut lain, beberapa pria ber-kos-tum Barcelona menatap l-ayar te-levisi besar di salah satu si-si r-uangan seluas seperempat lapang-an sepak bola itu. Mereka tak per-ca-ya dengan momen yang tengah ber-langsung di Stade de France, Paris, Prancis.

Kemuraman hanya sesaat, berganti dengan teriakan pemo-mpa semangat. Bola terus bergulir di Paris, turut mengaduk emosi penonton di Manchester United Ca-fé. Restoran di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, pertengahan Mei lalu itu disesaki ratusan peng-gila bola yang menyaksikan final Liga Champions Eropa, Barcelona versus Arsenal.

Teriakan histeris ditimp-ali te-puk tangan pecah saat sontekan bola Samuel Eto’o menembus gawang Arsenal. Fitra, pria ber-usia 30 tahun, memukul meja de-ngan keras lalu meneguk segelas minuman di hadapannya. ”Akhir-nya bobol juga,” kata pe-gawai per-usahaan farmasi di Jaka-rta itu sambil membakar rokok. B-ersama tiga rekan kerjanya, peng-gemar Barcelona itu larut da-lam kemeriahan acara menonton bareng.

Di belahan kota yang lain pada malam yang sama, Andi dan dua temannya tertunduk lesu di d-epan layar televisi di Front Row Café, kawasan Senayan, Jakar-ta Selatan. ”Arsenal nyaris menang,” kata-nya. Toh, semua kegembira-an atau kesedihan itu cepat lenyap di tengah keramaian, kepul-an asap rokok, dan tegukan mi-numan di berbagai kafe di Jakarta, yang pada malam itu menyiar-kan siaran langsung final Liga Champions.

”Biar nggak ngantuk, maka-nya onton di sini,” kata Fitra, yang tinggal bersama orang tua dan dua adik perempuannya di Depok. ”Kalau nonton di kafe bisa teriak-teriak,” kata Andi. Meski tak sering bertandang ke kafe, dia selalu memilih menonton per-tandingan internasional tim-tim besar di sana. Seperti final Liga Champions tadi, atau Piala Dunia 2006 yang bakal bergulir da-lam hitungan hari nanti.

Sekitar 40-an kafe di Ja-k-art-a siap menampung pengg-ila b-o-la yang ingin menonton ber-sama hajatan sekali dalam empat t-a-hun itu. Semua berniat tampil be-da, menyuguhkan atmosfer per-tan-dingan di bangku-bangku resto. Juru bicara MU Café, Choky, me-ngatakan sudah menyiapkan paket berbeda diban-dingkan a-ca-ra nonton bareng sebelumnya. ”Ka-re-na ini kejadian empat tahun sekali,” katanya.

Choky enggan buka rahasia re-sep dapurnya, tapi dia men-jamin musik menghentak, penari-pe-na-ri seksi, dan permainan-permainan seru tetap ada untuk menambah kemeriahan ac-ara. Bahkan tayangan langsung SCTV (berbeda dengan final Liga Champions yang disiarkan RCTI) sudah siap pula mengudara dari MU Café.

Persiapan sudah dilakukan dua bulan lalu, saat MU Café meng-ikat kontrak dengan koordi-nator acara nonton bareng, PT Yojana Satya Mahakarya. Berbeda dengan piala dunia tahun-tahun sebelumnya, kali ini pengelola kafe, hotel, dan pusat perbelanjaan harus melapor ke PT Yojana jika ingin menggelar acara nonton bareng. ”SCTV menunjuk kami untuk mengelola nonton bareng komersial di seluruh Indonesia,” kata juru bicara PT Yojana, Ganesha Putra.

Batasan komersial yang dimak-sud- Ganesha adalah bila pengelo-la- kafe memberlakukan tarif ma-suk-, atau ada aktivitas sponsor- seper-ti bagi-bagi hadiah dan sele-bar-an, atau ada kegiatan promosi me-dia luar ruang seperti spanduk dan iklan di radio. Bahkan pi-hak res-toran harus melapor kalau i-ngin- mencantumkan na-ma men-u hidangan yang ada ka-i-tan-nya dengan Piala Dunia 2006. Kalau semua pantangan itu tak ada, menyelenggarakan acara- non-ton ba-reng baru boleh dila-ku-kan-.

Ada suara keluhan di sana-sini soal prosedur yang terlalu k-etat itu. ”Saya masih tidak paham atur-annya,” kata Indra, manajer pe-masaran di sebuah perusa-haan- media di Jakarta Selatan. Dia mengatakan, perusahaannya i-ngin- menggelar acara nonton ba-reng- bersama para pelanggan. Tak ada unsur komersial, ha-nya- ingin lebih mendekatkan diri de-ngan pelanggan. ”Berapa harus ba-yar ke mereka?” tanya Indra.

Ganesha enggan buka daftar- ta-rif- yang dipasangnya. Dia ber-ala-san- ada tiga paket yang tersedia de-ngan harga beragam, yaitu: ca-fé on air, café official, dan café part-ner. Ganesha hanya menga-ta-kan- tarifnya berkisar antara nol ru-piah hingga Rp 70 juta.

Menurut Ganesha, pihak kafe yang mengambil paket café on air juga diuntungkan bila tayang-an piala dunia disiarkan langsung dari tempat tersebut. ”Kafe itu bisa promosi selama dua menit di televisi,” katanya. Jadi, tak ada maksud ingin menyulitkan pergelaran acara nonton bareng. Ganesha mengatakan, aturan di-buat untuk melindungi kepen-tingan sponsor utama. ”Agar tak ada yang rugi dan semua bisa ketawa,” katanya.

Kepentingan sponsor memang jadi panglima bagi SCTV. Maklum, dari sanalah pundi-pundi uang mengalir untuk me-nutup pe-ngeluaran operasional dan pem-belian hak siar 64 tayangan langsung pertandingan dari federasi sepak bola internasional (FIFA). Berbeda dibanding empat tahun lalu, semua stasiun televisi di Indonesia diberi kesempatan membeli hak siar piala dunia. Secara otomatis, harga penawaran membubung tinggi.

Bila RCTI membeli hak siar Pia-la Dunia 2002 sebesar US$ 5 ju-ta- (sekitar Rp 45 miliar), ma-ka SCTV memberi ancar-ancar- me-ngeluarkan sekitar Rp 130 mili-ar. Tapi ini hanya perkiraan. ”Pokok-nya jauh lebih besar dari RCTI du-lu,” kata Wakil Direktur- Pe-masa-r-an- SCTV, Stephanus Ha-lim-.

Stephanus buka kartu, sem-ula ada kekhawatiran pemasukan da-ri- sponsor dan iklan tak mampu menutup biaya yang telah dike-luarkan tersebut. ”Kami memang berspekulasi,” katanya.

Dia yakin sponsor bakal berlomba-lomba memasang iklan, ka-rena setengah dari seluruh p-enonton televisi bakal memi-lih me-nyaksikan siaran langsung piala dunia. ”Selama satu bulan SCTV bakal jadi stasiun televisi nomor satu di Indonesia,” kata Stephanus.

Ternyata spekulasi itu berbuah manis. Belum lagi bola bergu-lir di Munich Jerman, SCTV su-dah menangguk untung. ”Semua pe-ngeluaran sudah tertutup,” ka-ta Stephanus. Malah kini pihak-nya tinggal mengejar target keun-tung-an hingga 40 persen. Seba-gi-an besar pendapatan SCTV ber-sumber dari sponsor dan pemasang iklan. Hanya sekitar 10 per-sen pemasukan dari acara off air, seperti nonton bareng dan penjualan pernak-pernik.

Beragam acara digelar di 13 kota di seluruh Indonesia se-lama sebulan penuh. Pusatnya di Mangga Dua Square, Jakarta Barat. Lahan seluas 6.000 meter persegi di sana disulap menjadi tempat siaran langsung SCTV dan arena nonton bareng yang mampu memuat seribu orang. Tempat itu diberi nama Kampung World Cup. Stephanus se-sumbar sedikit promosi, ”Silakan datang, menikmati spectacular world event.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus